Manusia Pertama Berasal dari Israel?
Para arkeolog Israel mengklaim telah menemukan bukti
awal eksistensi manusia modern. Jika ini benar, maka akan mengubah
sejarah, juga teori soal asal-usul manusia.
Tim dari Universitas Tel Aviv yang menggali sebuah gua di Israel tengah,
mengaku telah menemukan gigi manusia berusia 400.000 tahun -- cocok
dengan sisa-sisa Homo sapiens lain yang ditemukan di Israel.
"Sangat menarik untuk sampai di kesimpulan ini," kata arkeolog Avi
Gopher, yang timnya meneliti gigi-gigi purba itu menggunakan sinar-X dan
CT Scan.
Namun, tambah dia, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperkuat
klaim, tersebut. Jika memang terbukti, "ini akan mengubah gambaran
evolusi."
Saat ini, teori ilmiah yang diterima adalah bahwa Homo sapiens berasal
dari Afrika dan bermigrasi ke luar dari benua hitam itu. Gopher
mengatakan, jika fosil tersebut terkait dengan nenek moyang manusia
modern, bisa berarti bahwa manusia modern sebenarnya berasal dari
wilayah yang sekarang disebut Israel.
Gua prasejarah Qesem ditemukan pada tahun 2000, dan penggalian dimulai
tahun 2004. Peneliti Israel, Gopher, Ran Barkai dan Hershkowitz
menerbitkan studi mereka di American Journal of Physical Anthropology.
Sementara, ahli prasejarah dari Cambridge University, Sir Paul Mellars
mengatakan temuan yang diperoleh dari Israel bisa dipercaya dan penting
-- apalagi penemuan fosil dari periode tersebut termasuk langka. Namun,
masih prematur untuk mengatakan bahwa apa yang ditemukan di Israel
adalah benar, fosil manusia.
Berdasarkan teori yang berkembang saat ini, manusia modern dan
Neanderthal berasal dari satu nenek moyang yang hidup di Afrika sekitar
700.000 tahun yang lalu.
Satu kelompok turunan dari nenek moyang itu lantas bermigrasi ke Eropa
dan berkembang menjadi jenis Neanderthal yang kemudian punah. Sekelompok
lainnya tetap tinggal di Afrika dan berevolusi menjadi Homo sapiens --
manusia modern.
Dijelaskan Mellars, gigi seringkali menjadi indikator yang diandalkan
dalam bidang arkeologi. Ia yakin tim di Israel akan menemukan tengkorak
dan tulang belulang jika mereka melakukan penggalian lebih dalam. (umi)
Sains & Teknologi
Fosil di Siberia "Kerabat" Orang Papua
Ilmuwan yang meneliti DNA sebuah fosil berusia 30 ribu tahun lebih di Siberia kaget.
Sejumlah ilmuwan yang mencoba memecahkan sandi DNA
sebuah fosil keluarga manusia yang ditemukan di Siberia, Rusia,
terperanjat. Lima persen DNA orang Melanesia yang mendiami Papua dan
Australia itu ditemukan di makhluk yang dijuluki "Denisovans" itu.
"Kami kira ini kesalahan ketika pertama melihatnya," kata David Reich,
peneliti dari Harvard University, yang menulis laporan ilmiah ini.
"Namun ini nyata," katanya dilansir the Associated Press, Rabu 22
Desember 2010.
Lebih aneh lagi, fosil itu justru tak menunjukkan sama sekali kaitan
dengan nenek moyang orang yang sekarang mendiami Siberia. Padahal, lebih
dari 30 ribu tahun lalu, "Denisovans" malang melintang di benua Asia.
Laporan mengenai kaitan "Denisovans" dengan ras Melanesia ini merupakan
laporan kedua setelah laporan yang menyimpulkan terjadi perkawinan
silang manusia (homo sapiens) dengan Neanderthal di Timur Tengah, sesaat
setelah nenek moyang manusia keluar dari Afrika namun sebelum mendiami
Eurasia (kawasan antara Asia dan Eropa).
Sementara untuk "Denisovans" kemungkinannya terjadi kawin campur dengan
nenek moyang orang Papua yang bermigrasi keluar dari Afrika sekitar 45
ribu tahun lalu. Namun para ahli masih melanjutkan penelitian lebih jauh
soal genom "Denisovans" ini. Todd Disotell dari New York University
menyatakan, mereka harus mencari petunjuk jejak warna kulit dan matanya.
"Kami akan merinci gambaran orang ini dalam beberapa tahun ke depan
berdasarkan genom ini," katanya.
Keberadaan sanak manusia ini terungkap sembilan bulan lalu berdasarkan
sampel DNA yang diselamatkan dari sebuah tulang jari yang ditemukan di
Gua Denisova di selatan Siberia. Para peneliti lalu menggunakan
Denisovans untuk genom itu, meski belum diketahui apakah mereka
merupakan spesies terpisah dengan manusia (homo sapiens).
Namun genom yang ditemukan telah membuktikan Denisovans lebih berkerabat
dekat dengan Neanderthals daripada manusia modern. Temun ini
mengindikasikan bahwa keduanya muncul dari sebuah nenek moyang yang
sama.
Ilmuwan belum tahu seperti apa perawakan Denisovans ini. Namun dari
sebuah temuan geraham atas Denisovans di gua itu, ukuran dan bentuknya
berbeda dengan Neanderthals dan manusia modern, yang sama-sama pernah
hidup seperiode dengan mereka.
David Reich menyatakan, jari dan gigi itu belum ditentukan tanggalnya,
namun berdasarkan temuan tulang binatang di sekitarnya, diperkirakan
lebih dari 30 ribu atau bahkan 50 ribu tahun yang lalu. Dan mereka atau
nenek moyang mereka diduga kawin-mawin dengan nenek moyang manusia
modern yang merantau ke Papua pada 45 ribu tahun lalu.
Namun, menurut Reich, aneh jika perjalanan nenek moyang orang Papua
melewati Siberia untuk sampai ke Papua. Kemungkinannya adalah Denisovans
ini yang melanglang Asia termasuk sampai ke selatan.
"Jelas sekali mereka menyebar di Asia," katanya. Dan ini butuh
penelitian DNA warga Asia yang terisolasi lama.
Sementara itu, Rick Potts, Direktur Program Asal-usul Manusia di
Smithsonian Institution, berpendapat, penemuan gen Denisovans ini
memperkuat dugaan mereka berbeda dengan Neanderthals dan manusia modern.
Meski ditemukan DNA Melanesia di Denisovans, Potss berpendapat bukan
karena perkawinan campur namun karena DNA dari nenek moyang itu yang
bertahan pada mereka namun hilang di populasi manusia modern umumnya.
Penemuan ini membuat teori yang dikemukakan ahli genetika dan struktur
DNA manusia dari Oxford University, Inggris, Stephen Oppenheimer,
menemukan basis. Dalam bukunya, Eden in The East, Oppenheimer
mengemukakan teori Sundaland merupakan pusat peradaban.
Menurut dia, nenek moyang dari induk peradaban manusia modern berasal
dari tanah Melayu yang sering disebut dengan sundaland atau Indonesia.
Oppenheimer menceritakan, niatnya meneliti ini dimulai dari komentar
tanpa sengaja oleh seorang pria tua di sebuah desa zaman batu di Papua
Nugini.
Dari situ dia mendapati kisah pengusiran petani dan pelaut di pantai
Asia Tenggara, yang diikuti serangkaian banjir pasca-sungai es hingga
mengarah pada perkembangan budaya di seluruh Eurasia. Oppenheimer
meyakini temuan-temuannya itu, dan menyimpulkan bahwa benih dari budaya
maju, ada di Indonesia.
Buku ini mengubah secara radikal pandangan tentang prasejarah. Pada
akhir Zaman Es, banjir besar yang diceritakan dalam kitab suci berbagai
agama benar-benar terjadi dan menenggelamkan paparan benua Asia Tenggara
untuk selamanya.
Hal itu yang menyebabkan penyebaran populasi dan tumbuh suburnya
berbagai budaya Neolitikum di Cina, India, Mesopotamia, Mesir dan
Mediterania Timur. Akar permasalahan dari pemekaran besar peradaban di
wilayah subur di Timur Dekat Kuno, berada di garis-garis pantai Asia
Tenggara yang terbenam.
"Indonesia telah melakukan aktivitas pelayaran, memancing, menanam jauh
sebelum orang lain melakukannya," ujar dia. Oppenheimer mengungkapkan
bahwa orang-orang Polinesia (penghuni Benua Amerika) tidak datang dari
Cina, tapi dari pulau-pulau Asia Tenggara. Sementara penanaman beras
yang sangat pokok bagi masyarakat tidak berada di Cina atau India, tapi
di Semenanjung Malaya pada 9.000 tahun lalu.
Udang Purba Tertua Dunia Ditemukan di Daratan
Udang ini ditemukan dalam kondisi yang sangat baik.
Udang purba tertua di dunia (Kent University)
Udang tertua di dunia ditemukan bukan di daerah pesisir pantai atau dekat laut. Melainkan di daratan Oklahoma, Amerika Serikat.
Seperti dilansir
FOXnews, 12 November 2010, peneliti telah
mempelajari sedikit potongan dari hewan dari zaman yang dipercaya sudah
terawetkan sejak 360 juta tahun lalu.
Udang itu ditemukan dalam kondisi yang sangat baik, meski beberapa
bagian otot-ototnya sudah diawetkan. Rodney Feldman, profesor dari Kent
State University, Ohio menjelaskan mengapa hewan laut itu bisa berada di
kawasan daratan Oklahoma. Karena pada masanya, kota Oklahoma merupakan
sebuah hamparan laut.
"Udang itu hidup saat Oklahoma dan beberapa daerah di utara Amerika
lainnya masih berupa lautan," kata Feldmann kepada
FOXnews.com.
Posisi Oklahoma saat itu diperkirakan sangat jauh dari permukaan laut.
Bahkan, Oklahoma diprediksi merupakan salah satu bagian dari laut dalam.
Badan Geografi Amerika menyebut jutaan tahun lalu ada sebuah benua kecil
bernama Laramida. Benua ini membanjiri area Amerika Utara dan
mengisolasi kawasan timur dan barat negara itu selama jutaan tahun.
Kondisi ini berlangsung pada masa periode akhir zaman kapur.
"Sebelumnya, udang tertua di dunia yang ditemukan berasal dari
Madigascar," kata Feldmann. Fosil udang ini memiliki panjang sekitar 3
inchi. Ditemukan oleh peneliti dari Ohio University.
Hewan udang memiliki karakter hidup di dasar perairan. Kondisi arus yang
tidak deras membuat kecil kemungkinan tubuhnya akan hancur. (art)
Nasional
Tikus Terbesar di Dunia Hidup di Pulau Timor
Spesies ini hidup di Pulau Timor ribuan tahun yang lalu. Lebih besar dari kucing.
Kerangka tikus raksasa Timor (Live Science - Ken Aplin (CSIRO))
Beberapa ribu tahun lalu, hidup spesies tikus
terbesar di dunia di Pulau Timor -- atau tepatnya di wilayah Timor
Leste saat ini. Ukuran tikus ini lebih besar dan berat dari tubuh
rata-rata kucing rumah.
Sisa-sisa kerangka binatang pengerat ini ditemukan di sebuah gua.
Penggalian yang dilakukan para peneliti juga menemukan 13 spesies hewan
pengerat lainnya, 11 di antaranya adalah spesies baru dalam ilmu
pengetahuan. Sementara, delapan di antaranya, memiliki berat lebih dari 1
kilogram.
Saat hidup spesies tikus terbesar ini diperkirakan memiliki berat 6
kilogram. Sebagai perbandingan, rata-rata tikus rumah saat ini memiliki
berat 150 gram. Sementara, tikus terbesar yang masih hidup saat ini --
yang ada di Filipina ddan Papua Nugini -- memiliki berat 2 kilogram.
Data karbon menunjukkan, tikus terbesar yang pernah ada di Bumi ini
hidup 1.000 hingga 2.000 tahun lalu. Binatang ini hidup bersama dengan
binatang pengerat yang ditemukan dalam penggalian.
"Pulau Timor telah dihuni manusia sekitar 40.000 tahun lalu. Manusia
purba memburu tikus untuk sumber makanan selama periode ini. Namun,
perburuan itu tak menimbulkan kepunahan, spesies tikus terbesar baru
punah akhir-akhir ini," kata peneliti dari Lembaga Penelitian Australia,
CSIRO, Ken Aplin, seperti dimuat laman
Live Science.
Ditegaskan dia, kedatangan manusia ke habitat tikus raksasa tak ada hubungannya dengan kepunahan tikus raksasa.
"Pembukaan hutan untuk lahan pertanian, ini penyebab kepunahan yang paling mungkin --ini terjadi setelah zaman logam."
Peneliti mengungkapkan Indonesia Timur adalah
'hotspot' evolusi
tikus. Ditambahkan Aplin, pulau-pulau di wilayah Indonesia Timur jadi
tempat berkembang beragam spesies yang unik. Aplin mengaku, timmya juga
menemukan enam spesies tikus baru dalam sebuah gua di Pulau Flores.
Meski sebagian besar Pulau Timor saat ini tandus, peneliti
mengungkapkan, wilayah itu di masa itu ditutupi hutan hujan yang rimbun.
Besar kemungkinan, akan ditemukan spesies baru.
"Meski kurang dari 15 persen hutan asli Pulau Timor yang tersisa,
sebagian kecil dari pulau ini masih berupa hutan lebat. Jadi siapa yang
bisa menebak mahluk yang mungkin berada di sana?" tambah Aplin.
Aplin dan Kris Helgen dari Smithsonian Institution menjelaskan secara
detil temuan mereka di Buletin Museum Sejarah Alam Amerika atau The
American Museum of Natural History.(np)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar