Rabu, 04 Juni 2014

skripsi panwaslu




gratis download skripsi

Minggu, 14 Juni 2009
TRAFFICKING DAN PENANGGULANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA
Lima tahun terakhir ini persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) semakin marak di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan semakin meningkatnya tuntutan anggota masyarakat baik individual maupun kolektif terhadap penegakan HAM. Terlepas dari berbagai penilaian yang seringkali subyektif terhadap gerakan-gerakan tersebut, namun secara kelembagaan perhatian bangsa Indonesia terhadap HAM mau tidak mau harus ditingkatkan.
Pergantian kekuasaan dari rejim otoritarian ke rejim demokrasi pada tahun 1998 telah memberikan angin segar terhadap penegakan HAM di Indonesia. Pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menopang usaha penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.
Tahun 1998 menjadi satu catatan penting dalam sejarah Indonesia. Pada masa tersebut, gerakan masyarakat yang dimotori oleh mahasiswa berhasil mendesak presiden Soeharto untuk mundur dari tampuk kepresidenan. Seiring dengan itu pula, jejak kekerasan yang ditinggalkan oleh Rejim orde baru kemudian mulai terkuak. Sebagaian besar masyarakat baru menyadari bahwa selama ini, Indonesia dibangun dengan dasar kekerasan serta pelanggaran terhadap HAM.
Sejak itu pula, upaya penegakan HAM terus dilakukan oleh berbagai pihak. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan salah satu kelompok masyarakat yang terus mengkampanyekan tentang penegakan HAM. Selain itu, LSM yang fokus pada permasalahan HAM mulai melakukan upaya-upaya penegakan HAM serta mendesak pemerintah untuk segera melakukan penyelesaian berbagai kasus palanggaran HAM yang telah terjadi dalam masa orde baru. Dalam upaya tersebut, LSM menjalin kerja sama global dengan jaringan kerja internasional untuk mendapatkan dukungan.
Desakan yang begitu kuat dari berbagai pihak telah membuat pemerintah mau tidak mau memberikan kekuatan lebih kepada Komnas HAM. Pada tahun 1999, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan landasan yang kuat tentang keberadaan, tujuan, fungsi, keanggotan, asas, kelengkapan, serta tugas dan wewenang Komnas HAM.
Guna lebih memberikan landasan hukum pada penegakan HAM, Pemerintah pada akhirnya telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan diterbitkannya kedua peraturan perudang-undangan di atas, penegakan HAM di Indonesia menjadi lebih jelas kepastian hukumnya.
Akhir-akhir ini, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain terjadi peningkatan pelanggaran HAM yang dirasakan sangat serius dan dirasakan sangat mengganggu penegakan HAM. Masalah tersebut adalah adanya atau kian maraknya kasus perdagangan perempuan dan anak atau yang lebih dikenal dengan istilah “Trafficking”.
Trafficking adalah segala tindakan yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, penindaktanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara di tempat tujuan, perempuan dan anak.
Adanya Trafficking yang sering terjadi di dunia ini, khususnya di Indonesia menjadikan penegakan HAM di Indonesia tidak dapat berjalan dengan maksimal dan optimal, sehingga perlu kiranya pemerintah Indonesia mengantisipasinya. Mendasarkan uraian tersebut, maka penulis berkeinginan untuk mengetahui upaya-upaya pemerintah Indonesia dalam penanganan Trafficking ke dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul “TRAFFICKING DAN PENANGGULANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA”.



H. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini permasalahan yang akan di bahas dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimanakah penanggulangan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia?
3. Kendala-kendala apa yang muncul dalam upaya penanggulangan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia ?

I. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Trafficking
Trafficking adalah segala tindakan yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, penindaktanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara di tempat tujuan, perempuan dan anak.
Trafficking dilakukan dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, pendulikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentaan, memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual atau adopsi ilegal.
Definisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya “Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime” tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah: (a) ... the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. (“... rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh”).
Definisi tersebut di atas diperluas dengan ketentuan yang berkaitan dengan anak di bawah umur (di bawah 18 tahun), bahwa: The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of a child for the purpose of exploitation shall be considered “trafficking in persons” even if this does not involve any of the means set forth in subparagraph (a).
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari perdagangan orang adalah:
1. Perbuatan: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima.
2. Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
3. Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh.
Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan adalah unsur tujuan, karena walaupun untuk korban anak-anak tidak dibatasi masalah penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus untuk eksploitasi.

2. Penegakan Hukum
Penegakan hukum terdiri dari kata penegakan dan hukum. Penegakan berasal dari kata penegak yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah yang mendirikan/ menegakkan. Penegak hukum adalah yang menegakkan hukum.
Mardjono Reksodipuro mengatakan bahwa dalam arti sempit penegak hukum hanya berarti polisi dan jaksa. Di Indonesia istilah ini diperluas sehingga mencakup pula hakim dan pengacara. Jadi penegak hukum adalah aparat yang melaksanakan atau menjalankan hukum, yaitu polisi, jaksa, hakim, pengacara termasuk Lembaga Pemasyarakatan.
Pengertian penegakan hukum dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah law enforcement dan diartikan the act of putting something such as a law into effect, the execution of a law, (penegakan hukum adalah suatu tindakan terhadap sesuatu/kejadian sesuai dengan hukum yang berlaku).
Menurut Mantan Jaksa Agung, Hari Suharto, dalam makalahnya yang disampaikan dalam seminar “Menata Materi Undang-Undang Kepolisian” tanggal 10 - 11 Desember 1984 di PTIK Jakarta, bahwa penegakan hukum adalah:
“suatu rangkaian kegiatan dalam rangka usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku baik yang bersifat penindakan maupun penegakan mencakup keseluruhan kegiatan baik teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, sehingga dapat melahirkan suasana aman, damai dan tertib demi untuk pemantapan kepastian hukum dalam masyarakat”.

Sudarto mengatakan bahwa dalam arti luas, hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan ataupun yang dibolehkan dan sebaliknya. Dengan demikian menarik garis antara apa yang sesuai hukum dan apa yang melawan hukum. Hukum dapat mengkualifikasikan sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum atau mendiskualifikasikannya sebagai melawan hukum. Perbuatan yang sesuai dengan hukum tidak merupakan masalah dan tidak perlu dipersoalkan; yang menjadi masalah ialah perbuatan yang melawan hukum. Bahkan yang diperhatikan dan digarap oleh hukum ialah justru perbuatan yang disebut terakhir ini, baik perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie). Perhatian dan penggarapan perbuatan itulah yang merupakan penegakan hukum.
Kalau tata hukum dilihat secara skematis, maka dapat dibedakan adanya tiga sistem penegakan hukum, yaitu sistem penegakan hukum perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem penegakan hukum administrasi. Sejalan dengan itu terdapat berturut-turut sistem sanksi hukum perdata, sistem sanksi hukum pidana dan sistem sanksi hukum administrasi (tata usaha negara).
Ketiga sistem penegakan hukum tersebut masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau biasa disebut aparatur (alat) penegak hukum, yang mempunyai aturan sendiri-sendiri.
Selanjutnya dikatakan bahwa dilihat secara fungsional, maka sistem penegakan hukum itu merupakan suatu sistem aksi. Ada sekian banyak aktivitas yang dilakukan oleh alat perlengkapan negara dalam penegakan hukum. Yang dimaksud dengan “alat penegak hukum” itu biasanya hanyalah kepolisian, setidak-tidaknya badan-badan yang mempunyai wewenang kepolisian atau kejaksaan. Akan tetapi kalau penegakan hukum itu diartikan secara luas, seperti yang dikemukakan di atas, maka penegakan hukum itu menjadi tugas pula dari pembentuk undang-undang, hakim, instansi pemerintahan, aparat eksekusi pidana. Penegakan hukum di bidang pidana ini didukung oleh alat perlengkapan dan peraturan yang relatif lebih lengkap dari penegakan hukum di bidang-bidang lainnya. Aparatur yang dimaksud disini ialah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat eksekusi pidana, sedang peraturan-peraturan yang dikatakan lebih lengkap ialah antara lain ketentuan-ketentuan hukum acara pidana, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang tentang Kepolisian, Undang-Undang tentang Kejaksaan dan lain sebagainya.
Memang aturan-aturan dalam hukum acara pidana memberi petunjuk apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan fihak-fihak atau orang-orang yang terlibat di dalamnya, apabila terjadi atau ada persangkaan terjadi perbuatan yang melawan hukum atau apa yang disebut kejahatan dalam arti yang luas. Hukum acara seperti hakekat hukum pada umumnya, bersifat normatif, jadi mengandung sesuatu yang seharusnya membicarakan masalah penegakan, di sini tidak membicarakan masalah hukumnya, melainkan apa yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam menghadapi masalah-masalah dalam penegakan hukum.
Tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan merupakan tujuan hukum pada umumnya. Begitu pula dalam hukum pidana, untuk menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan diperlukan perangkat perundang-undangan yaitu hukum acara pidana. Tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan sudah merupakan tuntutan manusiawi yang bersifat universal, setiap orang kapanpun dan dimanapun selalu menginginkan ditegakkannya hukum, kebenaran dan keadilan tersebut.
Sehubungan dengan penegakan hukum pidana di atas, Harun M Husein mengatakan :
“Hukum acara pidana berfungsi mengatur bagaimana tata cara yang harus ditempuh agar hukum pidana dapat ditegakkan, penegakan hukum pidana itu dilakukan dengan berusaha untuk mencari dan mendapatkan kebenaran material (kebenaran yang selengkap-lengkapnya) dan di atas kebenaran material yang didapatkan oleh hukum acara pidana itu ditegakkanlah kebenaran keadilan dan kepastian hukum”.

Selanjutnya, mengenai fungsi dari hukum acara pidana dalam penegakan hukum pidana, A. Soetomo berpendapat :
“Hukum acara pidana memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur mekanisme proses sejak terjadinya tindak pidana, yang selanjutnya diketahui sendiri oleh aparatur negara c.q. penyidik ataupun dilaporkan atau diadukan kepada penyidik, baik oleh yang terkena kejadian itu sendiri ataupun oleh orang lain, sampai selanjutnya diambil langkah-langkah oleh penyidik, lalu hasilnya diserahkan kepada penuntut umum, kemudian disidangkan di pengadilan negeri, sehinga mendapat putusan”.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kejelasan bahwa tahap-tahap penegakan hukum pidana sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana, yaitu sebagai berikut :
a. Penyidikan (Opsporing)
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengumpulkan bukti dengan harapan bukti itu dapat membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan menjadi titik tolak dalam usaha menemukan tersangka (Pasal 1 Ayat (2) KUHAP). Jadi penyidik perkara pidana, seperti pencurian, penipuan, pembunuhan dan sebagainya. Terang dalam arti bahwa unsur-unsur yang diperlukan untuk menuntut peristiwa di muka hakim menjadi lengkap. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 KUHAP, penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
b. Penuntutan (Vervolging)
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di pengadilan (Pasal 1 Ayat (7) KUHAP). Penuntutan perkara pidana adalah tugas yang dilakukan oleh Kejaksaan (Pasal 137 KUHAP).
c. Peradilan (Rechspraak)
Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 Ayat (9) KUHAP). Jadi menjalankan pengadilan perkara adalah tugas pengadilan negeri (Pasal 84 KUHAP).
d. Pelaksanaan Putusan (Executie)
Melaksanakan putusan hakim adalah menyelenggarakan supaya segala sesuatu yang tercantum dalam putusan hakim itu dapat segera dilaksanakan, misalnya apabila putusan itu berisi pembebasan terdakwa, maka terdakwa harus segera dikeluarkan dari tahanan. Apabila berisi penjatuhan pidana denda, maka denda itu juga harus segera dibayar. Demikian pula apabila putusan merupakan penjatuhan pidana penjara, maka terpidana menjalani pidananya dalam lembaga pemasyakatan, dan sebagainya. Pelaksanaan putusan hakim disebut pula dengan istilah eksekusi yang merupakan tugas dari Kejaksaan (Pasal 270 KUHAP).
Dilihat sebagai suatu proses kebijakan, penegakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap, yaitu:
a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in absrtacto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif.
b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.
Ketiga tahap tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses nasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang merupakan perwujudan dari kebijakan nasional. Jadi tegasnya kebijakan pembangunan harus diusahakan terwujud pada ketiga tahap kebijakan penegakan hukum tersebut di atas. Inilah makna dan konsekuensi dari pernyataan bahwa penegakan hukum pidana merupakan bagian integral dari kebijakan sosial seperti diuraikan di muka. Jadi tersimpul di dalamnya pengertian social engineering by cryminal law.
Konsekuensi demikian jelas menuntut kemampuan yang lebih atau kemampuan plus dari setiap aparat penegak hukum pidana, yaitu tidak hanya kemampuan di bidang yuridis, tetapi juga kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang memadai di bidang kebijakan pembangunan yang menyeluruh. Tanpa kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang memadai di bidang pembangunan, sulit diharapkan berhasilnya pembangunan masyarakat dengan hukum pidana. Di samping itu, karena pembangunan mengandung berbagai dimensi (multidimensi), maka juga diperlukan berbagai pengetahuan (multidisiplin).
Agar supaya penegakan hukum pidana dapat menunjang program-program pembangunan, maka patut diperhatikan Guiding Principle yang dikemukakan Konggres PBB ke-7, bahwa perlu dilakukan studi dan penelitian mengenai hubungan timbal balik antara kejahatan dan beberapa aspek tertentu dari pembangunan. Ditegaskan dalam Guiding principle tersebut, bahwa studi itu sejauh mungkin dilakukan dari perspektif interdisipliner dan ditujukan untuk perumusan kebijaksanaan dan tindakan praktis. Studi demikian dimaksudkan untuk meningkatkan sifat responsif dari kebijakan pencegahan kejahatan dan peralihan pidana dalam rangka merubah kondisi-kondisi sosial ekonomi, kultural dan politik.
Dengan demikian pengetahuan yang memadai dari para penegak hukum mengenai beberapa aspek dari pembangunan dan hubungan timbal baliknya dengan kejahatan, tidak hanya penting dalam merumuskan kebijakan penegakan hukum pidana pada tahap formulasi, tetapi juga pada tahap aplikasi yang lebih bersifat operasional.
Dalam hubungannya dengan tahap aplikasi ini sangat diharapkan perhatian para penegak hukum terhadap Guiding principle dan Konggres PBB ke-7 yang menyatakan bahwa, kebijakan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus memperhitungkan sebab-sebab sosial ekonomis (policies for crime prevention and criminal justice should take into account the stryctural including socio-economic causes of in justice). Ini berarti, pengetahuan dari penegak hukum mengenai sebab-sebab ketidak adilan atau ketimpangan termasuk sebab-sebab terjadinya kejahatan yang bersifat struktural sebagai dampak dari kebijakan pembangunan, dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor untuk menyatakan suatu perbuatan secara materiil tidak melawan hukum atau sebagai satu alasan untuk memperingan pemidanaan.

J. TUJUAN PENELITIAN
Dengan mendasarkan pada perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.
2. Untuk mengetahui penanggulangan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.
3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang muncul dalam upaya penanggulangan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.

K. KEGUNAAN PENELITIAN
Dalam penelitian ini kegunaan yang diharapkan adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ke arah pengembangan atau kemajuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya.
2. Kegunaan Praktis.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dalam penegakan hukum pidana khususnya dalam hal penanggulangan Trafficking di Indonesia.

L. METODE PENELITIAN
Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode sebagai berikut :
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, yuridis normatif artinya adalah suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, tetapi di samping itu juga berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
2. Spesifikasi Penelitian.
Spesifikasi penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif analisis. Hal ini bertujuan untuk membuat suatu gambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu dekskriptif/situasi. Dalam penelitian ini akan diuraikan atau digambarkan mengenai penanggulangan Trafficking di Indonesia.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat maka diperlukan data data sekunder yang teridir dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder ;
Bahan hukum Primer
a) Berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut Hukum Pidana dan Trafficking.
b) Berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut penanggulangan Trafficking.
Bahan hukum Sekunder, yang terdiri dari :
a) Buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi.
b) Karangan ilmiah atau pendapat para ahli yang berkaitan dengan judul skripsi.
4. Metode Pengolahan dan Penyajian Data
Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data belum memberikan arti apa-apa bagi tujuan penelitian. Penelitian belum dapat ditarik kesimpulan bagi tujuan penelitiannya sebab data itu masih merupakan bahan mentah, sehingga diperlukan usaha untuk mengolahnya.
Proses yang dilakukan adalah dengan memeriksa, meneliti data yang diperoleh untuk menjamin apakah data dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan. Setelah data diolah dan dirasa cukup maka selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian-uraian dan dimungkinkan juga dalam bentuk tabel.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu setelah memperoleh data lengkap, maka selanjutnya diperiksa kembali data yang telah diterima terutama mengenai konsistensi jawaban dari keragaman data yang diterima. Dari data tersebut selanjutnya dilakukan analisis mengenai faktor pendorong maupun penyebab dari timbulnya masalah yang ada.
Diposkan oleh skripsi hukum di 00.42 Tidak ada komentar: Link ke posting ini
PELANGGARAN PEMILU 2009 DAN MEKANISME PENYELESAIANNYA
PELANGGARAN PEMILU 2009
DAN
MEKANISME PENYELESAIANNYA

A. Ancaman Pelanggaran Terhadap Proses Demokratisasi
Secara umum demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Salah satu prinsip demokrasi yang penting adalah adanya Pemilu yang bebas sebagai perwujudan nyata kedaulatan rakyat atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataan menunjukkan bahwa membumikan ide yang mulia tersebut tidaklah semudah mengucapkannya. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan yang demokratis secara substantif dan bukan sekedar prosesi ritual. Prasyarat tersebut antara lain adalah : tersedianya aturan main yang jelas dan adil bagi semua peserta, adanya penyelenggara yang independen dan tidak diskriminatif, pelaksanaan aturan yang konsisten, dan adanya sanksi yang adil kepada semua pihak.
Tahapan penyelenggaraan pemilu 2009 telah diawali dengan permasalahan hukum seperti penyerahan data kependudukan atau Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) oleh Pemerintah kepada KPU yang tidak lengkap dan proses pembentukan struktur KPU di daerah yang tidak sesuai jadwal, keterlambatan pembuatan beberapa aturan, kesalahan pengumuman DCT dan pengumuman DPT yang belum final. Selain itu, sengketa mengenai hasil perolehan suara dalam Pilkada Maluku Utara telah menyeret KPU ke dalam sengketa kewenangan. KPU bersengketa dengan KPU Propinsi Malut dan berlanjut dengan Pemerintah – dalam hal ini Departemen Dalam Negeri. Beberapa pelanggaran tersebut muncul karena peraturan perundang-undangan yang ada masih belum lengkap, multi tafsir, bahkan ada yang tidak sinkron. Adanya persoalan menyangkut aturan ini berkibat pada penanganan pelanggaran yang inkonsisten atau justru mendorong pembiaran atas pelanggaran karena peraturan yang ada tidak cukup menjangkau.
Demi untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dan memiliki integritas tinggi maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap aturan yang telah ada melalui penambahan aturan, penegasan maksud dan sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan yang ada salah satu diantaranya adalah melalui pembuatan instrumen-instrumen komplain atas terjadinya pelanggaran pemilu yang lengkap, mudah diakses, terbuka, dan adil. Lebih penting lagi adalah memastikan bahwa aturan main yang ditetapkan tersebut dijalankan secara konsisten.
Tersedianya aturan yang konkrit dan implementatif penting untuk menjamin kepastian dan keadilan hukum sehingga pemilu memiliki landasan legalitas dan legitimasi yang kuat sehingga pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilu tetap mendapatkan dukungan masyarakat luas. Untuk itu maka segala pelanggaran yang terjadi dalam proses pelaksanaan pemilu harus diselesaikan secara adil, terbuka dan konsisten.

B. Pelanggaran Pemilu 2009
Terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu 2009 sudah tidak terhindarkan. Pelanggaran dapat terjadi karena adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian. Pelanggaran pemilu dapat dilakukan oleh banyak pihak bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi untuk menjadi pelaku pelanggaran pemilu. Sebagai upaya antisipasi, UU 10 Tahun 2008 tentang Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) mengaturnya pada setiap tahapan dalam bentuk kewajiban, dan larangan dengan tambahan ancaman atau sanksi.
Potensi pelaku pelanggaran pemilu dalam UU pemilu antara lain :
1. Penyelenggara Pemilu yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan lainnya;
2. Peserta pemilu yaitu pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD, tim kampanye;
3. Pejabat tertentu seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan badan lain lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
4. Profesi Media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang, distributor;
5. Pemantau dalam negeri maupun asing;
6. Masyarakat Pemilih, pelaksana survey/hitungan cepat, dan umum yang disebut sebagai “setiap orang”.
Meski banyak sekali bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam pemilu, tetapi secara garis besar UU Pemilu membaginya berdasarkan kategori jenis pelanggaran pemilu menjadi: (1) pelanggaran administrasi pemilu; (2) pelanggaran pidana pemilu; dan (3) perselisihan hasil pemilu. 
1. Pelanggaran Administrasi
Pasal 248 UU Pemilu mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi.
Contoh pelanggaran administratif tersebut misalnya ; tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan.
2. Tindak Pidana Pemilu
Pasal 252 UU Pemilu mengatur tentang tindak pidana pemilu sebagai pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dalam UU Pemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana pemilu antara lain adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan merubah hasil suara. Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
3. Perselisihan Hasil Pemilu
Yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu menurut pasal 258 UU Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu.
Sesuai dengan amanat Konstitusi yang dijabarkan dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka perselisihan mengenai hasil perolehan suara diselesaikan melalui peradilan konstitusi di MK.
Satu jenis pelanggaran yang menurut UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu (UU KPU) menjadi salah satu kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menyelesaikannya adalah pelanggaran pemilu yang bersifat sengketa. Sengketa adalah perbenturan dua kepentingan, kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum (konflik) yang dalam konteks pemilu dapat terjadi antara peserta dengan penyelenggara maupun antara peserta dengan peserta. Pada pemilu 2004, tata cara penyelesaian terhadap jenis pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri (pasal 129 UU 12/2003). Terhadap sengketa pemilu ini yaitu perselisihan pemilu selain yang menyangkut perolehan hasil suara, UU 10/2008 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya.
Sengketa juga dapat terjadi antara KPU dengan peserta pemilu atau pihak lain yang timbul akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU. Kebijakan tersebut, karena menyangkut banyak pihak, dapat dinilai merugikan kepentingan pihak lain seperti peserta pemilu (parpol dan perorangan), media/pers, lembaga pemantau, pemilih maupun masyarakat. Berbeda dengan UU 12/2003, yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat, dalam UU KPU dan UU Pemilu tidak ada ketentuan yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Dengan demikian maka Keputusan KPU yang dianggap merugikan terbuka kemungkinan untuk dirubah. Persoalannya, UU Pemilu juga tidak memberikan “ruang khusus” untuk menyelesaikan ketidakpuasan tersebut.
Contoh kasus yang telah nyata ada adalah 1) sengketa antara calon peserta pemilu dengan KPU menyangkut Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap merugikan salah satu atau beberapa calon peserta pemilu. 2) sengketa antara partai politik peserta pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai pendaftaran calon legislatif. Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap tidak sesuai dengan atau tanpa seijin yang bersangkutan.

C. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran
Meski jenis pelanggaran bermacam-macam, tetapi tata cara penyelesaian yang diatur dalam UU hanya mengenai pelanggaran pidana. Pelanggaran administrasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan KPU dan selisih hasil perolehan suara telah diatur dalam UU MK.

ALUR PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU


BATAS WAKTU PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU

1. Mekanisme Pelaporan
Penyelesaian pelanggaran pemilu diatur dalam UU Pemilu BAB XX. Secara umum, pelanggaran diselesaikan melalui Bawaslu dan Panwaslu sesuai dengan tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap setiap tahapan pelaksanaan pemilu. Dalam proses pengawasan tersebut, Bawaslu dapat menerima laporan, melakukan kajian atas laporan dan temuan adanya dugaan pelanggaran, dan meneruskan temuan dan laporan dimaksud kepada institusi yang berwenang.
Selain berdasarkan temuan Bawaslu, pelanggaran dapat dilaporkan oleh anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu dan peserta pemilu kepada Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota paling lambat 3 hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu. Bawaslu memiliki waktu selama 3 hari untuk melakukan kajian atas laporan atau temuan terjadinya pelanggaran.
Apabila Bawaslu menganggap laporan belum cukup lengkap dan memerlukan informasi tambahan, maka Bawaslu dapat meminta keterangan kepada pelapor dengan perpanjangan waktu selama 5 hari.
Berdasarkan kajian tersebut, Bawaslu dapat mengambil kesimpulan apakah temuan dan laporan merupakan tindak pelanggaran pemilu atau bukan. Dalam hal laporan atau temuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran, maka Bawaslu membedakannya menjadi 1) pelanggaran pemilu yang bersifat administratif dan 2) pelanggaran yang mengandung unsur pidana. Bawaslu meneruskan hasil kajian tersebut kepada instansi yang berwenang untuk diselesaikan.
Aturan mengenai tata cara pelaporan pelanggaran pemilu diatur dalam ketentuan pasal 247 UU 10/2008 yang diperkuat dalam Peraturan Bawaslu No.05 /2008.

PENANGANAN LAPORAN DI BAWASLU


2. Mekanisme penyelesaian pelanggaran administrasi
Pelanggaran pemilu yang bersifat administrasi menjadi kewenangan KPU untuk menyelesaikannya. UU membatasi waktu bagi KPU untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi tersebut dalam waktu 7 hari sejak diterimanya dugaan laporan pelanggaran dari Bawaslu. Sesuai dengan sifatnya, maka sanksi terhadap pelanggaran administrasi hendaknya berupa sanksi administrasi. Sanksi tersebut dapat berbentuk teguran, pembatalan kegiatan, penonaktifan dan pemberhentian bagi pelaksana pemilu. Aturan lebih lanjut tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi dibuat dalam peraturan KPU. Peraturan KPU mengenai hal tersebut sampai saat ini belum ada.
Meski kewenangan menyelesaikan pelanggaran administrasi menjadi domain KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Pemilu pasal 248-251, tetapi UU Pemilu juga memberikan tugas dan wewenang kepada Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Propinsi dan Bawaslu untuk menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran terhadap ketentuan kampanye yang tidak mengandung unsur pidana (lihat UU 10/2008 pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2).
Terhadap pelanggaran yang menyangkut masalah perilaku yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu seperti anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan jajaran sekretariatnya, maka Peraturan KPU tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diberlakukan. Hal yang sama juga berlaku bagi anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan jajaran sekretariatnya, yang terikat dengan Kode Etik Pengawas Pemilu.

PENANGANAN PELANGGARAN ADMINISTRASI PEMILU

3. Mekanisme penyelesaian pelanggaran pidana pemilu
3.1 Proses Penyidikan
Sebenarnya penanganan tindak pidana pemilu tidak berbeda dengan penanganan tindak pidana pada umumnya yaitu melalui kepolisian kepada kejaksaan dan bermuara di pengadilan. Secara umum perbuatan tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu juga terdapat dalam KUHP. Tata cara penyelesaian juga mengacu kepada KUHAP. Dengan asas lex specialist derogat lex generali maka aturan dalam UU Pemilu lebih utama. Apabila terdapat aturan yang sama maka ketentuan yang diatur KUHP dan KUHAP menjadi tidak berlaku.
Mengacu kepada pasal 247 angka (9) UU Pemilu, temuan dan laporan tentang dugaan pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana, setelah dilakukan kajian dan didukung dengan data permulaan yang cukup, diteruskan oleh Bawaslu kepada penyidik Kepolisian. Proses penyidikan dilakukan oleh penyidik polri dalam jangka waktu selama-lamanya 14 hari terhitung sejak diterimanya laporan dari Bawaslu. Kepolisian mengartikan 14 hari tersebut termasuk hari libur. Hal ini mengacu kepada KUHAP yang mengartikan hari adalah 1 x 24 jam dan 1 bulan adalah 30 hari. Guna mengatasi kendala waktu dan kesulitan penanganan pada hari libur, pihak kepolisian telah membentuk tim kerja yang akan menangani tindak pidana pemilu. Setiap tim beranggotakan antara 4-5 orang.
TIM PENYIDIK TINDAK PIDANA PEMILU POLRI
BARESKRIM 7 TIM (4 Dalalm Negeri + 3 Luar Negeri)
POLDA 5 TIM
POLWIL 3 TIM
POLRES 10 TIM

Dengan adanya tim kerja tersebut maka penyidikan akan dilakukan bersama-sama. Setelah menerima laporan pelanggaran dari Bawaslu, penyidik segera melakukan penelitian terhadap 1) kelengkapan administrasi laporan yang meliputi : keabsahan laporan (format, stempel, tanggal, penomoran, penanda tangan, cap/stempel), kompetensi Bawaslu terhadap jenis pelanggaran, dan kejelasan penulisan; dan 2) materi/laporan yang natara lain : kejelasan indentitas (nama dan alamat) pelapor, saksi dan tersangka, tempat kejadian perkara, uraian kejadian/pelanggaran, waktu laporan.
Berdasarkan indentitas tersebut, penyidik melakukan pemanggilan terhadap saksi dalam waktu 3 hari dengan kemungkinan untuk memeriksa saksi sebelum 3 hari tersebut yang dapat dilakukan di tempat tinggal saksi. 14 hari sejak diterimanya lapaoran dari Bawaslu, pihak penyidik harus menyampaikan hasil penyidikan beserta berkas perkara kepada penuntut umum (PU).

WAKTU PENYIDIKAN

3.2 Proses Penuntutan
UU Pemilu tidak mengatur secara khusus tentang penuntut umum dalam penanganan pidana pemilu. Melalui Surat Keputusan (September 2008) Jaksa Agung telah menunjuk jaksa khusus pemilu di seluruh Indonesia (31 Kejaksaan Tinggi, 272 kejaksaan Negeri, dan 91 Cabang Kejaksaan Negeri). Masing-masing Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri ditugaskan 2 orang jaksa khusus untuk menangani pidana pemilu tanpa menangani kasus lain di luar pidana pemilu. Di tingkat Kejaksaan Agung ditugaskan 12 orang jaksa yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) untuk menangani perkara pemilu di pusat dan Luar Negeri. Penugasan ini dituangkan dalam Keputusan Jaksa Agung No. 125/2008.
Jika hasil penyidikan dianggap belum lengkap, maka dalam waktu paling lama 3 hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai dengan petunjuk untuk melengkapi berkas bersangkutan. Perbaikan berkas oleh penyidik maksimal 3 hari untuk kemudian dikembalikan kepada PU.
Maksimal 5 hari sejak berkas diterima, PU melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. Karena sejak awal penanganan kasus di kepolisian pihak kejaksaan sudah dilibatkan untuk mengawal proses penyidikan maka duduk perkara sudah dapat diketahui sejak Bawaslu melimpahkan perkara ke penyidik. Dengan demikian maka PU dapat mempersiapkan rencana awal penuntutan/matrik yang memuat unsur-unsur tindak pidana dan fakta-fakta perbuatan. Pada saat tersangka dan barang bukti dikirim/diterima dari kepolisian maka surat dakwaan sudah dapat disusun pada hari itu juga. Karena itu masalah limitasi waktu tidak menjadi kendala.
Untuk memudahkan proses pemeriksaan terhadap adanya dugaan pelanggaran pidana pemilu, Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah membuat kesepahaman bersama dan telah membentuk sentra penegakan hukum terpadu (Gakumdu). Adanya Gakumdu memungkinkan pemeriksaan perkara pendahuluan melalui gelar perkara.
3.3 Proses Persidangan
Tindak lanjut dari penanganan dugaan pelanggaran pidana pemilu oleh Kejaksaan adalah pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum. Mengingat bahwa pemilu berjalan cepat, maka proses penanganan pelanggaran menggunakan proses perkara yang cepat (speed tryal). Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana pemilu menggunakan KUHAP sebagai pedoman beracara kecuali yang diatur secara berbeda dalam UU Pemilu. Perbedaan tersebut terutama menyangkut masalah waktu yang lebih singkat dan upaya hukum yang hanya sampai banding di Pengadilan Tinggi.
7 hari sejak berkas perkara diterima Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana pemilu. Batasan waktu ini akan berimbas kepada beberapa prosedur yang harus dilalui seperti pemanggilan saksi dan pemeriksaan khususnya di daerah yang secara geografis banyak kendala. Untuk itu maka UU memerintahkan agar penanganan pidana pemilu di pengadilan ditangani oleh hakim khusus yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan MA. PERMA No. 03/2008 menegaskan bahwa Hakim khusus sebagaimana dimaksud berjumlah antara 3 – 5 orang hakim dengan kriteria telah bekerja selama 3 tahun. MA juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. 07/A/2008 yang memerintahkan kepada Pengadilan Tinggi untuk segera mempersiapkan/menunjuk hakim khusus yang menangani tindak pidana pemilu.
Dalam hal terjadi penolakan terhadap putusan PN tersebut, para pihak memiliki kesempatan untuk melakukan banding ke Pengadilan Tinggi. Permohonan banding terhadap putusan tersebut diajukan paling lama 3 hari setelah putusan dibacakan. PN melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada PT paling lama 3 hari sejak permohonan banding diterima.
PT memiliki kesempatan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud paling lama 7 hari setelah permohonan banding diterima. Putusan banding tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum lain.
3.4 Proses Pelaksanaan Putusan
3 hari setelah putusan pengadilan dibacakan, PN/PT harus telah menyampaikan putusan tersebut kepada PU. Putusan sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan paling lambat 3 hari setelah putusan diterima jaksa.
Jika perkara pelanggaran pidana pemilu menurut UU Pemilu dipandang dapat mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu maka putusan pengadilan atas perkara tersebut harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional. Khusus terhadap putusan yang berpengaruh terhadap perolehan suara ini, KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan peserta harus sudah menerima salinan putusan pengadilan pada hari putusan dibacakan. KPU berkewajiban untuk menindaklanjuti putusan sebagaimana dimaksud.
Demikian pengecualian hukum beracara untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu menurut UU 10/2008 yang diatur berbeda dengan KUHAP. Sesuai dengan sifatnya yang cepat, maka proses penyelesaian pelanggaran pidana pemilu paling lama 53 hari sejak terjadinya pelanggaran sampai dengan pelaksanaan putusan oleh jaksa. Pengaturan ini jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan UU 12/2003 yang memakan waktu 121 hari.

PROSES PENUNTUTAN & PERSIDANGAN

4. Perselisihan Hasil Perolehan Suara
Sesuai dengan Konstitusi yang dijabarkan dalam ketentuan UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, perselisahan tentang hasil perolehan suara pemilu diselesaikan melalui MK. Tata cara penyelesaian perselisihan perolehan hasil suara pemilu 2009 telah diatur dalam PMK No. 14/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Permohonan diajukan oleh peserta pemilu paling lambat 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Pengajuan permohonan disertai dengan alat bukti pendukung seperti sertifikat hasil penghitungan suara, sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan setiap jenjang, berita acara penghitungan beserta berkas pernyataan keberatan peserta, serta dokumen tertulis lainnya.
Apabila kelengkapan dan syarat permohonan dianggap tidak cukup, panitera MK memberitahukan kepada pemohon untuk diperbaiki dalam tenggat 1 x 24 jam. Apabila dalam waktu tersebut perbaikan kelengkapan dan syarat tidak dilakukan, maka permohonan tidak dapat diregistrasi.
3 hari kerja sejak permohonan tercatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi panitera mengirimkan permohonan kepada KPU. Dalam permohonan tersebut disertakan juga permintaan keterangan tertulis KPU yang dilengkapi dengan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan. Keterangan tertulis tersebut haraus sudah diterima MK paling lambat 1 hari sebelum hari persidangan.
Mahkamah menetapkan hari sidang pertama dala mwaktu 7 hari kerja sejak permohonan diregistrasi. Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada pemohon dan KPU paling lambat 3 hari sebelum hari persidangan.
Pemeriksaan permohonan dibagi menjadi : 1) pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Panel Hakim yang terdiri atas 3 orang hakim konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan paling lambat 1 x 24 jam. 2) pemeriksaan persidangan yang dilakukan untuk memeriksa kewenangan MK, kedudukan pemohon, pokok permohonan, keterangan KPU dan alat bukti oleh Panel Hakim dan/atau Pleno Hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Putusan MK dijatuhkan paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi. Putusan MK bersifat final dan selanjtunya disampaikan kepada pemohon, KPU dan Presiden serta dapat disampaikan kepada pihak terkait. KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti Putusan tersebut.

D. Beberapa Permasalahan

a) Waktu Terjadinya Pelanggaran. Laporan pelanggaran pemilu oleh peserta pemilu, pemantau dan pemilih harus disampaikan kepada Bawaslu paling lama 3 hari sejak terjadinya pelanggaran. Dalam konteks hukum pidana, waktu kejadian perkara (tempos delicti) terhitung sejak suatu tindak pidana atau kejadian dilakukan oleh si pelaku dan bukan pada saat selesainya suatu perbuatan atau timbulnya dampak/akibat hukum. Ketentuan ini secara sengaja telah menutup celah bagi proses hukum terhadap pelanggaran pemilu yang tidak terjadi di ruang terbuka. Sebagai contoh pemberian atau penerimaan dana kampanye yang melebihi jumlah yang telah ditentukan tetapi dilakukan melalui transfer rekening antar bank pada hari jumat malam. Karena membutuhkan proses administrasi dan terkendala hari libur maka dana baru diterima setelah 3 hari. Secara konseptual terjadinya pelanggaran adalah hari jumat sehingga pelanggaran tidak dapat diproses.
b) Penanganan laporan. Peraturan Bawaslu No. 05 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaporan Pelanggaran Pemilu DPR, DPD, dan DPRD tidak memberikan rincian lebih jauh dibandingkan dengan apa yang telah diatur dalam UU Pemilu. Beberapa format laporan sebagai lampiran dari Peraturan dimaksud lebih menunjukkan bahwa Peraturan mengarah kepada petunjuk teknis dan pedoman Bawaslu tentang penerimaan laporan pelanggaran pemilu. Bawaslu perlu mengatur lebih detail tentang tata cara penanganan laporan/temuan pelanggaran terkait dengan dokumen bukti indentitas, informasi/keterangan yang cukup, jenis alat bukti minimal, materi pelanggaran, dan standar laporan dan berkas yang akan diteruskan kepada penyidik.
c) Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi. Sampai saat ini KPU belum menerbitkan Peraturan tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi yang diamanatkan UU 10/2008. Belum adanya aturan mengenai masalah ini akan mengakibatkan penanganan pelanggaran administrasi yang berbeda antara kasus satu dengan yang lain bergantung kepada kemauan KPU sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan dapat mencederai rasa keadilan. Karena itu KPU harus segera membuat aturan tersebut sesegera mungkin sebagai pedoman bagi semua pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilu. Peraturan tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi setidaknya mengatur mengenai kategorisasi tingkat pelanggaran, pemanggilan pelaku, pembuktian, adanya kesempatan pelaku untuk membela diri, jenis sanksi yang dapat dijatuhkan berdasar tingkat pelanggaran atau kesalahan, proses pelaksanaan sanksi, dan ketersediaan waktu yang cukup dan pasti.
d) Penegasan wewenang dan tanggung jawab penyelesaian pelanggaran administrasi. Terjadi kerancuan pengaturan dalam ketentuan UU Pemilu antara pasal 248-251 dengan pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2) serta UU KPU pasal 78 ayat (1) huruf c. Beberapa ketentuan yang bertolak belakang ini menyebabkan ketidakpastian proses penanganan pelanggaran pemilu yang tidak mengandung unsur pidana. Dikuatirkan KPU dan Bawaslu saling melepaskan tanggung jawab untuk menangani pelanggaran tersebut. Perlu ada kesepakatan antara KPU dan Bawaslu mengenai pembagian tugas dan wewenang penyelesaian pelanggaran administrasi. Wewenang Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menangani pelanggaran administrasi pada tahap kampanye apakah merupakan suatu pengecualian, atau disepakati untuk dikesampingkan karena bertentangan dengan asas kepastian dan keadilan. Kalau dianggap pengecualian, maka bagaimana tata cara penyelesaiannya.
e) Pengertian ”hari”. UU Pemilu tidak meberikan definisi dan penjelasan mengenai “hari” untuk menangani pelanggaran pemilu. Yang dimaksud apakah hanya hari kerja atau termasuk hari libur dan yang diliburkan (cuti bersama). Akibatnya terjadi perbedaan pemahaman antar instansi penegak hukum pemilu. Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan hari adalah 1 x 24 jam (termasuk di dalamnya hari libur) tetapi MA dan MK menegaskan bahwa hari adalah hari kerja. KPU, meski beberapa tahapan penyelenggaraan pemilu juga dibatasi dengan hari, tidak mengatur mengenai hal tersebut. Tidak adanya pengertian yang sama mengenai masalah ini akan berpotensi mengganggu proses penanganan pelanggaran khususnya menyangkut batas waktu (daluarsa).
f) Tindakan terhadap TNI. UU 12/2003 pasal 132 dengan tegas menyatakan bahwa tindakan kepolisian terhadap pejabat negara seperti anggota DPR, DPD, DPRD, dan PNS harus dengan ijin khusus sebagaiman diatur dalam UU 13/1970 tidak berlaku. Ketentuan ini tidak terdapat dalam UU 10/2008 sehingga keputusan Kepolisian dan Kejaksaan untuk memeriksa anggota legislatif dan PNS tanpa ijin tersebut memiliki resiko hukum tersendiri. Selain itu, UU Pemilu juga tidak mengatur keterlibatan POM TNI untuk memeriksa kasus yang menyangkut anggota TNI sementara penyidik Kepolisian merasa tidak memiliki wewenang untuk memeriksa anggota TNI.
g) Gakkumdu. Pembuatan nota kesepahaman antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan dan kesepakatan pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) belum menjawab kebutuhan terhadap kecepatan penanganan perkara. Pasal 12 MOU menyangkut proses pengembalian berkas perkara dari PU kepada Penyidik untuk diperbaiki dimungkinkan terjadi 2 kali masing-masing 3 hari. Kesepakatan ini dapat dianggap bertentangan ketentuan pasal 253 UU Pemilu yang memberikan kesempatan pengembalian/perbaikan berkas dari PU ke Penyidik hanya satu kali (3 hari). Pengulangan ini akan mengakibatkan perkara yang sampai ke PU telah melampaui tenggat waktu dari yang telah ditentukan dalam UU Pemilu.
h) Banding. Proses penanganan banding atas putusan PN dilakukan dalam waktu 7 hari yang terhitung “sejak permohonan banding diterima”. Sementara proses pelimpahan berkas perkara banding dari PN ke PT dapat dilakukan paling lama 3 hari yang dihitung sejak “permohonan banding diterima”. Adanya titik hitung yang sama untuk dua persoalan yang berkelanjutan mengakibatkan waktu pemeriksaan di tingkat banding berkurang menjadi 4 hari. Dengan pemeriksaan yang sangat singkat dikhawatirkan PT tidak cukup waktu untuk menangani perkara.
i) Jumlah aparat. Khusus untuk menangani perkara pemilu Kejaksaan telah menugaskan 2 orang jaksa sementara PN dan PT harus menyediakan hakim khusus 3 – 5 orang sebagaimana diatur dalam Perma No. 03 tahun 2008 dan SEMA 07/A/2008. Jumlah aparat tersebut dapat menyebabkan proses penanganan perkara terbengkalai apabila terjadi penumpukan perkara pada tahapan tertentu karena batasan waktu yang singkat dalam penanganannya termasuk apabila pelanggaran terjadi di wilayah yang memiliki kendala geografis.
j) Jenis Pidana dan Hukum Acara Pemeriksaan. KUHP membedakan tindak pidana sebagai pelanggaran (tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari 12 bulan ) dan kejahatan (ancaman hukumannya 12 bulan ke atas). Dalam KUHAP pelanggaran menggunakan hukum acara singkat dan kejahatan dengan hukum acara biasa. tetapi UU 10/2008 tidak membedakannya. Tidak ada penjelasan acara apa yang akan digunakan untuk mengadili, apakah pelimpahan dengan menggunakan acara pemeriksaan singkat atau dengan pemeriksaan biasa. Karena menyangkut tanggung jawab dari perkara inklusif perkara dan barang bukti. Apabila acara pemeriksaan singkat maka meski berkas perkara telah dilimpahkan tetapi tanggungjawab tersangka tetap ada pada jaksa sampai proses persidangan. Tetapi apabila menggunakan acara pemeriksaan biasa, maka sejak pelimpahan berkas tanggung jawab terhadap barang bukti dan tersangka menjadi tanggung jawab pengadilan. Selain itu sanksi pidana pemilu berbentuk komulatif dengan rentang perbedaan yang cukup tinggi sehingga dapat memunculkan disparitas putusan.
k) Pelaksanaan putusan. UU memerintahkan 3 hari sejak putusan PN/PT dijatuhkan maka harus segera dilaksanakan oleh jaksa selaku eksekutor. Permasalahannya untuk melakukan eksekusi mengharuskan jaksa memperoleh salinan putusan dari pegadilan. Kalau dalam waktu 3 hari salinan putusan belum disampaikan apakah eksekusi tetap dapat dilaksanakan? Karena terhadap tersangka jaksa tidak dapat melakukan penahanan seperti pasal 21 KUHAP. Selain itu perlu juga ditegaskan mengenai bentuk salinan putusan dimaksud, apakah salinan putusan yang diketik, kutipan atau petikan putusan?
l) Sengketa Putusan KPU. UU KPU dan UU Pemilu tidak menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Padahal Keputusan KPU berpotensi menimbulkan sengketa. Namun begitu UU juga tidak mengatur mekanisme untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Sementara mekanisme gugatan melalui PTUN sulit dilakukan. Pasal 2 huruf g UU PTUN (UU 5/1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9/2004) menegaskan ”tidak termasuk ke dalam pengertian Keputusuan TUN adalah Keputusan KPU baik di Pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilu”. Sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilu, tetapi SEMA No. 8/2005 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pilkada mengartikan hasil pemilu ”meliputi juga keputusan-keputusan lain yang terkait dengan pemilu”. Selain itu dalam berbagai Yurisprudensi MA, telah digariskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Untuk mengisi kekosongan hukum dan menghindari penafsiran menyimpang tersebut maka SEMA No. 8/2005 sebaiknya dicabut.

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU
Alternatif (I) Alternatif (II) Alternatif (III) Alternatif (IV)
Gugatan, permintaan pihak yang merasa dirugikan kepada PTUN untuk membatalkan suatu Keputusan Konsiliasi, mempertemukan pihak-pihak yg bersengketa untuk mencapai suatu kesepakatan Mediasi, memberi tawaran alternatif kepada pihak-pihak yang bersengketa tetapi tidak mengikat Arbitrase, pembuatan satu keputusan untuk menyelesaikan persengketaan yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang bersengketa

E. Rekomendasi
Secara umum UU Pemilu telah memberikan pedoman untuk menyelesaikan pelanggaran yang terjadi. Pengaturan penyelesaian pelanggaran pemilu dengan batasan waktu yang singkat bertujuan untuk mendorong penyelesaian kasus yang disesuaikan dengan tahapan pelaksanaan pemilu sehingga ada jaminan bahwa pemilu diselenggarakan secara bersih. Persoalannya beberapa ketentuan tidak cukup mampu untuk menindak terjadinya pelanggaran pemilu apalagi mencegahnya. Hal ini karena ketentuan UU Pemilu belum lengkap, multitafsir dan beberapa diantaranya kontradiksi. Upaya mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan tertentu sebagaimana diamanatkan UU Pemilu, kesepakatan bersama antara KPU - Bawaslu dan lembaga penegak hukum mengenai tata cara penanganan pelanggaran, serta meningkatkan kapasitas aparat di masing-masing lembaga mengenai aturan perundang-undangan pemilu.
Penanganan pelanggaran secara jujur dan adil merupakan bukti adanya perlindungan kedaulatan rakyat dari tindakan-tindakan yang dapat mencederai proses dan hasil pemilu. Adalah kewajiban bagi pengawas, penyelenggara dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa semua pelanggaran pemilu yang terjadi dapat diselesaikan secara adil dan konsisten.


PERBANDINGAN
TATA CARA PENYELESAIAN PELANGGARAN PIDANA PEMILU
MENURUT UU 12/2003 DAN UU 10/2008

TAHAPAN UU 10/2008 UU 12/2003
 Pasal Waktu Pasal Waktu
Laporan kepada Bawaslu tentang pelanggaran pemilu 247 ayat (4) 3 hari 127 ayat (4) 7 hari
Tindak lanjut laporan oleh bawaslu 247 ayat (6) 3 hari 128 ayat (2) 7 hari
Bawaslu memerlukan keterangan tambahan 247 ayat (7) 5 hari 128 ayat (3) 14 hari
Penyidikan kepolisian 253 ayat (1) 14 hari 131 ayat (2) 30 hari
Pelimpahan berkas ke JPU 131 ayat (3) 7 hari
Pengembalian berkas kepada penyidik kepolisian 253 ayat (2) 3 hari 138 ayat (1) UU 8/1981 7 hari
Penyampaian kembali berkas perkara ke JPU 253 ayat (3) 3 hari 110 ayat (4) UU 8/ 1981 14 hari
Pelimpahan berkas perkara oleh JPU ke PN 253 ayat (4) 5 hari 131 ayat (4) 14 hari
Pemeriksaan, persidangan dan lahir putusan PN 255 ayat (1) 7 hari 133 ayat (4) 21 hari
Permohonan banding 255 ayat (2) 3 hari 233 ayat (2) UU 8/1981 7 hari
Pelimpahan berkas perkara permohonan banding oleh PN 255 ayat (3) 3 hari 236 ayat (1) UU 8/1981 14 hari
Pemeriksaan, persidangan dan lahir putusan PT 255 ayat (4) 7 hari 133 ayat (4) 14 hari
Penyampaian hasil putusan PN dan PT ke JPU 256 ayat (1) 3 hari - -
Pelaksanaan hasil putusan PN dan PT 256 ayat (2) 3 hari - -
Diposkan oleh skripsi hukum di 00.36 Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Label: Pemilu 2009
            TRAFFICKING DAN PENANGGULANGANNYA MENURUT HUKUM PO...
            PELANGGARAN PEMILU 2009 DAN MEKANISME PENYELES...
               

SKRIPSI

KAJIAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN TATA KERJA ANTARA KPU DAN BAWASLU DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

JURIDICAL STUDY ON STATUS AND RELATIONSHIPS WORKING PROCEDURES BETWEEN ELECTION COMMISION AND MONITORING ELECTION COMMISION ON THE IMPLEMENTATION

OF DEMOCRATIC ELECTION

DANDY HARUNSYAH BERNADY

NIM : 070710101036

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS HUKUM

i

2013

MOTTO

Orang yang bisa berpikir tapi tidak tahu bagaiaman cara mengungkapkan pikirannya, adalah sama saja dengan orang yang tidak bisa berpikir.1

1 Diambil dari Buku â€Å“Jangan Mau Jadi Paku, Jadilah Palu” Karya terbaik Tama Sinulingga Penerbit Harvest Private Publishing, Jakarta2007

ii

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : DANDI HARUNSYAH BERNADY

NIM : 070710101036

Menyatakan bahwa karya ilmiah yang berjudul â€Å“KAJIAN YURIDIS

TENTANG KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN TATA KERJA ANTARA KPU DAN BAWASLU DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMILU YANG DEMOKRATIS” adalah benar-benar karya sendiri kecuali jika disebutkan sumbernya dan belum pernah diajukan pada instansi manapun serta bukan hasil jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, 19 Juni 2013

Yang menyatakan

DANDY HARUNSYAH BERNADY

NIM : 070710101036

iii

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Skripsi ini kepada:

1.Kedua orang tuaku tercinta, H. Tatang Karimullah Bernady dan Hj. Fauziah Agusti Rini yang memberikan kasih sayang tulus, keikhlasan, do̢۪a, serta motivasi dalam menjalani kehidupan ini.

2.Almamater yang kubanggakan Fakultas Hukum Universitas Jember;

3.Bapak/Ibu Guru dan Dosen pengajar yang senantiasa memberikan ilmu denagan tulus, sabar, dan penuh tanggung jawab yang aku hormati;

iv

KAJIAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN TATA KERJA ANTARA KPU DAN BAWASLU DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

JURIDICAL STUDY ON STATUS AND RELATIONSHIPS WORKING PROCEDURES BETWEEN KPU AND BAWASLU ON THE IMPLEMENTATION OF DEMOCRATIC ELECTION

DANDY HARUNSYAH BERNADY

NIM : 070710101036

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS HUKUM 2013

v

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL .... JUNI 2013

Oleh :

Pembimbing

Dr. WIDODO EKATJAHJANA, S.H., M.Hum.

NIP. 197105011993031001

Pembantu Pembimbing

IWAN RACHMAD SOETIJONO, S.H., M.H

NIP. 1970041101998021001

vi

PENGESAHAN

Skripsi dengan judul :

KAJIAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN TATA KERJA ANTARA KPU DAN BAWASLU DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

JURIDICAL STUDY ON STATUS AND RELATIONSHIPS WORKING PROCEDURES BETWEEN KPU AND BAWASLU ON THE IMPLEMENTATIONOF DEMOCRATIC ELECTION

Oleh :

DANDY HARUNSYAH BERNADY

NIM : 070710101036

Mengesahkan :

Kementerian Pendidikan dan Kebudayan

Universitas Jember

Fakultas Hukum

Dekan,

Dr. WIDODO EKATJAHJANA, S.H., M.Hum.

NIP. 197105011993031001

vii


               

PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Dipertahankan dihadapan panitia penguji pada :

Hari
               

: Rabu

Tanggal
               

: 18

Bulan
               

: September

Tahun
               

: 2013

Diterima oleh panitia penguji Fakultas Hukum Universitas Jember

Panitia Penguji

Ketua
               

Sekretaris

ASMARA BUDI DYAH DARMA SUTJI, S.H
               

GAUTAMA BUDHI ARUNDATI, S.H., LLM.

NIP.195007101980022001
               

NIP. 197509302002121006

Anggota Penguji

Dr. WIDODO EKATJAHJANA, S.H., M.Hum.
               

....................................

NIP. 197105011993031001
               



IWAN RACMAT SOETIJONO, S.H., M.H.
               

....................................

NIP. 1970041019980021001
               



viii

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat- syarat untuk menyelesaikan program studi ilmu hukum. Skripsi ini berjudul berjudul â€Å“KAJIAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN TATA KERJA ANTARA KPU DAN BAWASLU DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMILU YANG DEMOKRATIS”

Skripsi ini berhasil diselesaikan berkat bimbingan, petunjuk dan pengarahan dari pembimbing dan pembantu pembimbing, yang dimana skripsi ini adalah sebuah karya dengan hasil kerja keras, semangat, motivasi, keyakinan untuk meraih cita-cita dan harapan, serta segala bantuan berbagai pihak yang dengan tulus ikhlas memberikan bantuan kepada penulis. Oleh karena itu pada kesempatan ini pula penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1.Bapak Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember dan sekaligus pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini;

2.Bapak Iwan Rachmad SoetijonoS.H.,M.H. pembimbing kedua yang telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini pada ujian pendadaran dalam mempertahankan skripsi ini;

3.Ibu Asmara Budi Dyah Darma Sutji, S.H.,M.H. Ketua Panitia Penguji pada ujian pendadaran dalam mempertahankan skripsi ini;

4.Bapak Gautama S.H.,L.LM, Sekretaris Panitia Penguji pada ujian pendadaran dalam mempertahankan skripsi ini;

5.Bapak Firman Floranta Adonara, S.H.,M.H. yang telah memberikan beberapa saran dan sugestinya kepada penulis sehingga penulis dapat mengaplikasikan sugesti dan saran tersebut;

6.Bapak Hardiman, S.H., selaku DPA (Dosen Pembimbing Akademik), yang telah memberikan masukan, bimbingan, konsultasi dan motivasi selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Jember;

ix

7.Bapak Bhim Prakoso, S.H.,M.M.,Sp.N.,M.H. yang telah banyak memberikan penulis ide dan gagasan segar sehingga penulis dapat banyak mendapatkan ide.

8.Staf Karyawan PT IAP, Hani, Hari, Bayu Donata, Nedi Oktaviani, Restu, Idris;

9.Keluarga besar dan saudara-saudara dari penulis: Dodik Setyawan Bernady, S.E., Dewi Rosania, S.E., drg. Kiki Mia Kumalasari, Laksda TNI AL. I Putu Yuli Adiyana, I Putu Suastiana, Ariani;

10.Kawan-kawan seperjuangan di Universitas Jember terutama kawan-kawan semua angkatan di Fakultas Hukum Universitas Jember khususnya angkatan 2007 baik Reguler maupun Non-Reguler, yang telah membagi ilmu pengetahuan, membagi suka duka, inspirasi, dukungan, semangat kekeluargaan dan do̢۪a;

11.Teman-teman Seperjuangan Kampus FH Unej : Prandy Arief, Moch Arief, Rio Prihatnolo, S.H., Sonya Rose Tin, Ferdy Salim, dll;

12.Semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan dalam penulisan skripsi ini; dan,

13.Teman-Teman â€Å“Jibut Community” yang memberi semangat dan membantu proses finshing skripsi ini.

14.Special thank̢۪s to dr. Ni Made Debia Asista yang telah dengan iklas memberikan cinta dan kasih sayangnya yang membuat penulis bersemangat belajar dan menyelesaiakan skripsi ini demi mewujudkan mimpi, cita-cita, dan harapan penulis;

Tiada balas jasa yang dapat penulis berikan kecuali harapan semoga amal kebaaikannya mendapat imbalan dari Tuhan YME dan semoga segala bantuan dan kebaikan yang telah diberikan dapat memberikan arti yang berguna bagi kita semua.

Akhirnya harapan penulis adalah semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua demi menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum.

Jember, 26 Juni 2013

Penulis

x

RINGKASAN

Pemilihan Umum adalah salah satu pranata yang paling representatif atas berjalannya proses demokrasi. Tidak pernah ada demokrasi tanpa pemilihan umum. Oleh sebab itu, di setiapnegara yang menganut demokrasi, pemilihan umum yang lebih dikenal dengan Pemilu menjadi sangat penting dan selalu menentukan proses sejarah politik di negara masing-masing. Berdasarkan hal tersebut diatas, perlu disadari bahwa Pemilu merupakan salah satu peristiwa penting dalam dinamika politik di suatu negara. Arti pentingnya penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan secara berkala untuk merealisasikan hak warga negara dalam mengambil bagian atau berpartisipasi dalam urusan publik. Hak itu sendiri merupakan bagian dari hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Adapun salah satu bentuk dari partisipasi tersebut adalah melaksanakan hak untuk memilih dan dipilih dalam sebuah pemilu yang bebas dan adil (free and fair election). Ada beberapa syarat bagi pemilu yang bebas (free election). Pertama, pemilu harus mencerminkan kehendak rakyat. Kedua, dalam pemilu setiap warga negara mendapatkan jaminan atas kebebasannya. Ketiga, ada jaminan bagi hak- hak lain yang menjadi prasyarat pemilu. Keempat, pemungutan suara harus berlangsung secara rahasia. Kelima, pemilu harus memfasilitasi sepenuhnya ekspresi kehendak politik rakyat. Sedangkan syarat-syarat bagi pemilu yang adil (fair election). Pertama, hak suara setiap orang adalah setara, universal dan non-diskriminatif. Kedua, pemilu yang adil juga memberikan jaminan hukum dan teknis untuk menjaga agar proses pemilu bebas dari bias, penipuan atau manipulasi. Berdasarkan hal tersebut untuk mewujudkan pemilu yang bebas dan adil, perlu diperhatikan tiga pihak yang saling terkait. Salah satu mekanisme penting dalam pelaksanaan pemilu adalah penyelesaian pelanggaran pemilu dan perselisihan hasil pemilu. Mekanisme ini diperlukan untuk mengoreksi jika terjadi pelanggaran atau kesalahan. Mekanisme ini juga memberikan sanksi pada pelaku pelanggaran sehingga proses pemilu benar-benar dilaksanakan secara demokratis, sehingga hasilnya mencerminkan kehendak rakyat.

Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPRD dan DPD, menetukan adanya dua jenis pelanggaran pemilu, yaitu pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana pemilu. Pelanggaran administrasi adalah pelanggaran atas ketentuan undang-undang pemilu yang bukan merupakan ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur oleh KPU. Sedngkan Lembaga Pengawas Pemilu yang melkasnakan Pengawasan Pemilu adalah Bawaslu. Bawaslu sangat berperan penting atas bentuk pengawasan terhadap berbagai kecurangan dalam Pemilu dan sebagai Lembaga Negara Bawaslu tidak bertanggung jawab terhadap KPU sebagai sebuah Lembaga Negara yang menjadi salah satu penyelenggara Pemilu. Adapun permasalahan dalam skripsi ini adalah:

xi

1.Bagaimana Kedudukan dan Kewenangan Bawaslu Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003?

2.Apakah Bawaslu dalam kaitannya sebagai Lembaga Pengawas Pemilu Bertanggung Jawab terhadap KPU?

Tujuan dari penulisan ini terbagi menjadi 2 (dua), yaitu: tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dalam penulisan skripsi ini yaitu: untuk memenuhi syarat yang diperlukan guna meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember, Sedangkan tujuan khususnya yaitu untuk mengetahui dan mengkaji permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.

Tipe penulisan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif sedangkan pendekatan masalah yaitu dengan mengunakan Undang-Undang dan konseptual. Metode pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah sumber bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum serta analisa bahan hukum. Pada bab pembahasan, akan membahas mengenai 2 (dua) hal yang terdapat dalam rumusan masalah.

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, Kedudukan memiliki pengertian keberadaan atau posisi sesuatu dalam sebuah sistem atau mekanisme tertentu. Kedudukan pengawas pemilu mengandung pengertian posisi atau keberadaan pengawas pemilu sebagai bagian dari lembaga penyelenggara pemilu. Kedudukan lembaga pengawas pemilu harus diposisikan sebagaibagian dari lembaga penyelenggara pemilu, sehingga fungsi pengawasan merupakan bagian dari penyelenggaran pemilu. Pengawasan dilakukan agar pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu berjalan sesuai dengan aturan perundang- undangan dan jadwal. Fungsi pengawasan pemilu mestinya melekat atau berjalan seiring dengan pelaksanaan pemilu. Hanya saja, karena banyak pihak yang belum percaya bahwa KPU/KPUD mampu menjalankan pengawasan secara efektif, maka fungsi itu diberikan kepada lembaga tersendiri. Jadi, pengawas pemilu adalah bagian dari penyelenggara pemilu yang secara khusus bertugas mengawasi pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu agar pemilu berjalan sesuai dengan peraturan dan jadwal.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang telah dibentuk melalui proses rekrutmen yang transparan dan independen berdasarkan Undang-Undang jelas memiliki peran besar untuk mengawal Pemilu yang demokratis jujur dan adil. Persoalan utama sekarang ada pada Bawaslu itu sendiri, untuk mengelola kualias diri, baik melalui proses perumusan dan pembuatan regulasi pengawasan, semangat sumber daya insaninya dan kemampuannya untuk menggali sekaligus menggairahkan potensi-potensi yang ada pada rakyat untuk menjadi pemilih yang kritis.Dalam setiap penyelenggaran Pemilu terutama pada Pemilu 2004 dan terulang pula pada Pemilu 2009, Pengawas

xii

Pemilu memiliki lingkup kewenangan yang terbatas. Sejumlah pihak menilai, pengawas Pemilu dikatakan hanya sebagai pelopor dan tukang pos. Betapapun begitu, satu hal yang perlu dicatat disini adalah demikian kuatnya segenap anggota pengawas Pemilu dalam menempatkan dirinya untuk lebih efektif lagi dalam menempatkan dirinya untuk lebih efektif lagi dalam menjalankan tugas, wewenang, dan kewajiban dalam mengawasi tahapan-tahapan Pemilu, sebagaimana kerjasanma yang dibangun dengan kelompok-kelompok masyarakat seperti organisasi masyarakat sipil yang berbasis pada public interest dalam Pemilu. Bawaslu dalam posisi seperti ini merupakan Lembaga sebagai Mitra kerja dari KPU dan tidak bertanggung Jawab terhadap KPU meskipun Bawaslu sebagai perekomendasi pelaporan kepada KPU adanya kecurangan-kecurangan yang terjadi selama Pemilihan Umum berlangsung.

xiii

DAFTAR ISI
               



HALAMAN SAMPUL DEPAN ...................................................................
               

i

HALAMAN SAMPUL DALAM...................................................................
               

ii

HALAMAN MOTO ......................................................................................
               

iii

HALAMAN PERNYATAAN .......................................................................
               

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................
               

v

HALAMAN PERSYARATAN GELAR ......................................................
               

vi

HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................
               

vii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
               

viii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI ......................................
               

ix

HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................
               

x

HALAMAN RINGKASAN ...........................................................................
               

xiii

DAFTAR ISI ..................................................................................................
               

xv

BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................
               

1

1.1. Latar Belakang ................................................................................
               

1

1.2. Rumusan Masalah...........................................................................
               

6

1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................
               

6

1.3.1. Tujuan Umum........................................................................
               

6

1.3.2. Tujuan Khusus.......................................................................
               

7

1.4. Manfaat Penelitian ..........................................................................
               

7

1.5. Metode Penulisan............................................................................
               

7

1.5.1. Tipe Penelitian.......................................................................
               

7

1.5.2. Pendekatan Masalah ..............................................................
               

8

1.5.3. Sumber Bahan Hukum .........................................................
               

9

1.5.3.1. Bahan Hukum Primer ................................................
               

9

1.5.3.2. Bahan Hukum Sekunder.............................................
               

10

1.5.3.3. Bahan Non-Hukum.....................................................
               

10

1.6. Analisis Bahan Hukum ...................................................................
               

10

xiv

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................
               

12

2.1.Komisi Pemilihan Umum.................................................................
               

12

2.1.1 Pengertian Komisi Pemilihan Umum .....................................
               

12

2.1.2 Sejarah Pembentukan dan Kewenangan KPU ........................
               

14

2.2.Pengertian Bawaslu..........................................................................
               

19

2.3.Partai Politik.....................................................................................
               

19

2.3.1. Pengertian Partai Politik........................................................
               

19

2.4.Pengertian Konsep Demokrasi……..................................................
               

22

2.5.Pengertian Pemilu .............................................................................
               

25

2.5.1. Penyelenggaraan Pemilu Yang Demokratis...........................
               

28

BAB 3 PEMBAHASAN .................................................................................
               

30

3.1. Sejarah Pengawasan Pemilu............................................................
               

30

3.2.Hubungan Tata Kerja antara KPU dan Bawaslu..............................
               

33

3.2.1. Bawaslu Sebagai Lembaga Yang Melaksanakan Pengawasan
               



Pemilu ..................................................................................
               

33

3.2.2. Bawaslu Hanya Sebagai Mitra Kerja dari KPU...................
               

37

3.3. Bawaslu Tidak Bertanggung Jawab Kepada KPU ........................
               

39

3.3.1 Bawaslu Sebagai Lembaga Negara Yang Independen ..........
               

39

BAB 4 PENUTUP...........................................................................................
               

45

4.1. Kesimpulan .....................................................................................
               

45

4.2. Saran-saran......................................................................................
               

45

xv

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara yang berbentuk Republik. Republik berasal dari bahasa Latin, disebut Res Publica, artinya kepentingan umum, ialah negara dengan pemerintahan rakyat yang dikepalai oleh seorang Presiden sebagai kepala Negara. Sebagai seorang Kepala Negara maka pengisian jabatan Presiden adalah dengan menggunakan sistem Pemilihan Umum yang demokratis. Pelaksanaan Pemilihan Umum ini menandakan bahwa pesta demokrasi berjalan secara baik di negeri ini. Meknisme ini merupakan sarana rakyat untuk memilih seorang pemimpin dengan menduduki suatu jabatan masa tertentu misalnya dengan masa jabatan 5 tahun. Biasanya Presiden dapat dipilih kembali setelah berakhir masa jabatannya atau pada umumnya hanya diperkenankan menjabat selama dua kali periode berturut-turut. Melalui mekanisme Pemilihan Umum yang lazimnya disebut sebagai Pemilu diselenggarakan secara langsung untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Pemilihan Umum adalah sarana manifesto kedaulatan rakyat dengan kata lain rakyatlah yang yang berdaulat dan mewakilkan kekuasaan kedaulatannya itu yang disebut pemerintah. Sumber kewenangan berada di tangan rakyat. Rakyat mempunyai hak untuk memilih siapa yang akan menjadi pemimpin dari suatu negara. Pemilihan Umum dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dengan sistematika yaitu Pemilihan Presiden beserta wakilnya, Pemilihan Anggota DPR dan DPD yang nantinya mereka akan duduk di parlemen. Dalam pemilihan seringkali kita mendengar adalah asas pemilu yaitu asas Luber dan Jurdil yang artinya Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia serta Jujur dan Adil. Asas ini seringkali mengiringi ketika Pemilihan Umum maupun Pemilihan Umum Kepala Daerah berlangsung akan tetapi apakah kita sudah mengetahui sejauh mana Pemilihan yang kita lakukan itu berkualitas?.

1

2

Pemilihan Umum adalah salah satu pranata yang paling representatif atas berjalannya proses demokrasi. Tidak pernah ada demokrasi tanpa pemilihan umum. Oleh sebab itu, di setiapnegara yang menganut demokrasi, pemilihan umum yang lebih dikenal dengan Pemilu menjadi sangat penting dan selalu menentukan proses sejarah politik di negara masing-masing. Ada beberapa indikator suatu Pemilu memenuhi prinsip-prinsip demokrasi, yaitu:

a.Inclusiveness, artinya setiap orang yang sudah dewasa harus diikutkan dalam Pemilu.

b.Equal Vote, artinya setiap suara mempunyai hak dan nilai yang sama.

c.Effective Participation, artinya setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan pilihannya.

d.Enlightened Understanding, artinya dalam rangka mengekspresikan pilihan politiknya secara akurat, setiap orag mempunyai pemahaman dan kemampuan yang kuat untuk memutuskan pilihannya.

e.Final Control of Agenda, artinya pemilu dianggap demokratis apabila terdapat ruang untuk mengontrol atau mengawasi jalannya pemilu.1

Berdasarkan hal tersebut diatas, perlu disadari bahwa Pemilu merupakan salah satu peristiwa penting dalam dinamika politik di suatu negara. Arti pentingnya penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan secara berkala untuk merealisasikan hak warga negara dalam mengambil bagian atau berpartisipasi dalam urusan publik. Hak itu sendiri merupakan bagian dari hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Adapun salah satu bentuk dari partisipasi tersebut adalah melaksanakan hak untuk memilih dan dipilih dalam sebuah pemilu yang

1 Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia, Fajar Media Press, Yogyakarta, 2011, hlm 34

3

bebas dan adil (free and fair election). Ada beberapa syarat bagi pemilu yang bebas (free election). Pertama, pemilu harus mencerminkan kehendak rakyat. Kedua, dalam pemilu setiap warga negara mendapatkan jaminan atas kebebasannya. Ketiga, ada jaminan bagi hak-hak lain yang menjadi prasyarat pemilu. Keempat, pemungutan suara harus berlangsung secara rahasia. Kelima, pemilu harus memfasilitasi sepenuhnya ekspresi kehendak politik rakyat. Sedangkan syarat-syarat bagi pemilu yang adil (fair election). Pertama, hak suara setiap orang adalah setara, universal dan non-diskriminatif. Kedua, pemilu yang adil juga memberikan jaminan hukum dan teknis untuk menjaga agar proses pemilu bebas dari bias, penipuan atau manipulasi. Berdasarkan hal tersebut untuk mewujudkan pemilu yang bebas dan adil, perlu diperhatikan tiga pihak yang saling terkait. Keterkaitannya satu sama lain turut menentukan bisa tidaknya Pemilu diselenggarakan melalui berbagai tahapan, mulai dari pendataan calon pemilih hingga pelantikan anggota lembaga yang dipilih. Setiap tahapan harus dilaksanakan sesuai dengan asas Langsung, Umum, Bebas, rahasia, Jujur dan Adil. Untuk menjamin pelaksanaan pemilu sesuai dengan asas-asas konstitusional, dibentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur norma dan prosedur pelaksanaan pemilu.

Pemilu yang bebas dan adil diwujudkan. Pihak pertama adalah negara sebagai penyelenggara pemilu yang sekaligus pemegang tanggungjawab dalam pengawasan keseluruhan atas penyelenggara pemilu. Dalam konteks ini, negara diwujudkan melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Pengawas Pemilu yang keduanya mendapatkan dana public untuk melaksanakan tugasnya. Pihak kedua adalah peserta pemilu, yaitu warga negara yang punya hak untuk dipilih dan maju sebagai kandidat, serta partai politik. Sedangkan pihak ketiga adalah pemilih itu sendiri, yaitu warga negara yang mempunyai hak untuk memilih. Dengan demikian pemilu itu sendiri pada dasarnya merupakan proses interaksi antara penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan pemilih.

Khusus mengenai lembaga penyelenggara Pemilu, standar Internasional Pemilu demokratis menegaskan perlu adanya jaminan hukum, bahwa Lembaga

4

tersebut bisa bekerja independen. Independensi penyelenggara Pemilu merupakan persoalan penting karena mesin-mesin penyelenggara Pemilu membuat dan melaksanakan keputusan yang dapat mempengaruhi hasil Pemilu. Oleh karena itu lembaga tersebut harus bekerja dalam kerangka waktu yang cukup, mempunyai sumber daya yang mumpuni, dan tersedia dana yang memadai. Undang-Undang Pemilu harus mengatur ukuran, komposisi dan masa kerja anggota penyelenggara Pemilu. Juga Undang-Undang harus membuat ketentuan tentang mekanisme untuk memproses, memutuskan dan menangani keluhan, masalah dan pelanggaran dalam penyelenggaraan Pemilu secara tepat waktu, efektif dan efisien. Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggara Pemilu dimaksudkan untuk menjawab masalah-masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu 2004 yang berkaitan dengan kedudukan KPU/KPUD serta Pengawas Pemilu selaku penyidik pelanggaran pemilu yang dinilai tidak efektif menjalankan fungsinya, sehingga gagal menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran pemilu. Panwas pemilu 2004 dicap sebagai lembaga â€Å“tidak bergigi”, hal itu terkait dengan banyaknya kasus pelanggaran administrasi yang tidak diselesaikan oleh KPU/KPUD. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, kedudukan pengawas pemilu diperkuat agar dapat memberikan kontrol yang efektif dalam penyelenggaraan pemilu. Lembaga Pengawas Pemilu yang semula bersifat sementara (kepanitiaan) dikembangkan menjadi lembaga tetap (badan), Sehingga Pengawas Pemilu ditingkatkan statusnya menjadi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

Salah satu mekanisme penting dalam pelaksanaan pemilu adalah penyelesaian pelanggaran pemilu dan perselisihan hasil pemilu. Mekanisme ini diperlukan untuk mengoreksi jika terjadi pelanggaran atau kesalahan. Mekanisme ini juga memberikan sanksi pada pelaku pelanggaran sehingga proses pemilu benar-benar dilaksanakan secara demokratis, sehingga hasilnya mencerminkan kehendak rakyat. Undnag-Undnag Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPRD dan DPD, menetukan adanya dua jenis pelanggaran

5

pemilu, yaitu pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana pemilu. Pelanggaran administrasi adalah pelanggaran atas ketentuan undang-undang pemilu yang bukan merupakan ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur oleh KPU.

Bawaslu dan Panwaslu disetiap tingkatan memiliki peran sentral dalam penanganan pelanggaran administrasi dengan melakukan pengawasan dan menerima laporan dari masyarakat. Apabila menemukan terjadinya pelanggaran administrasi, Bawaslu atau Panwaslu melaporkan kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Pelanggaran tersebut harus diputus oleh KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota dalam waktu tujuh hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu atau Panwaslu.

Sedangkan pelanggaran pidana pemilu adalah pelanggaran terhadap keentuan pidana pemilu yang diatur dalam undang-undang pemilu. Apabila sebagai pengawas, Bawaslu atau Panwaslu menemukan atau menerima laporan adanya dugaan pelanggaran pemilu, temuan itu disampaikan kepada penyidik kepolisian. Selanjutnya, penyidik melakukan proses penyidikan dan melimpahkan kepada penuntut. Penuntut umum akan melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan negeri. Disanalah tersebut diadili dan diputuskan oleh hakim khusus. Undang-undang menentukan, proses pengadilan pidana pemilu hanya terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat pertama di pengadilan negeri dan tingkat banding di pengadilan tinggi. Putusan pengadilan tinggi merupakan putusan terakhir dan mengikat. Karena itu kesiapan dan kerjasama dari lembaga-lembaga terkait, yaitu KPU, Bawaslu/Panwaslu, Kepolisian, Kejakasaan, dan Pengadilan, sangat dibutuhkan demikian pula halnya dengan kerjasama dari peserta pemilu dan seluruh masyarakat.

Adapun berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengkaji status dan kedudukan Bawaslu dan KPU dalam sebuah skripsi dengan judul

â€Å“KAJIAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN TATA

6

KERJA ANTARA KPU DAN BAWASLU DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMILU YANG DEMOKRATIS”

1.2Rumusan Masalah

Ada 2 (dua) Permasalahan yang akan dibagi dalam skripsi ini yaitu:

1.Bagaimana Kedudukan dan Kewenangan Bawaslu Menurut undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, Undang-Undang 22 Tahun 2007, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003?

2.Apakah Bawaslu dalam kaitannya sebagai Lembaga Pengawas Pemilu Bertanggung Jawab terhadap KPU?

1.3. Tujuan Penelitian

Agar dalam penulisan skripsi ini dapat memperoleh suatu sasaran yang jelas dan tepat, maka perlu ditetapkan suatu tujuan penulisan. Adapun tujuan penulisan disini dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus.

1.3.1Tujuan Umum

Tujuan umum yang ingin dicapai adalah :

1.Untuk memenuhi serta melengkapi salah satu pokok persyaratan akademis gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember.

2.Sebagai upaya untuk menerapkan ilmu penegetahuan yang penulis peroleh selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Jember.

3.Sebagai sumbangan pemikiran ilmiah di bidang ilmu hukum yang diaharapkan dapat berguna bagi almamater, mahasiswa Fakultas Hukum dan Masyarakat umum.

7

1.3.2Tujuan Khusus

Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah :

1.Untuk mengetahui dan memahami bagaimana kedudukan dan Kewenangan Bawaslu menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, Undang-Undang 22 Tahun 2007, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003?

2.Untuk mengkaji apakah Bawaslu itu bertnggung jawab terhadap KPU?

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dalam skripsi ini adalah :

1.Sebagai referensi bagi para penstudi atau peminat kajian Ilmu Hukum, Hukum Pemilu, Serta bagaimana Penyelenggaran Pemilu secara Demokratis.

2.Sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan untuk merumuskan, menyusun, dan merevisi berbagai kebijakan tentang Sistem Pemilihan Umum sehingga dapat menyelenggarakan Pemilihan Umum yang demokratis dan berkualitas.

1.5.Metode Penulisan

1.5.1 Tipe Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum maupun prinsip-prinsip hukum guna menjawab permasalahan- permasalahan hukum yang dihadapi. Dalam penelitian ini, tipe tipe penelitian yang dipergunakan adalah yuridis normativ (legal research). Tipe penulisan ini merupakan penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berlaku. Tipe penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkaji berbagai aturan hukum yang bersifat formil seperti undang-undang, peraturan-peraturan serta literature yang berisi

8

konsep teoretis yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.2

Karena penulis menggunakan penelitian normatif maka penulis juga menggunakan penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap kaidah- kaidah hukum, yang merupakan patokan-patokan berperilaku atau bersikap pantas.3

1.5.2. Pendekatan Masalah

Penulisan skripsi ini utamanya menggunakan pendekatan Undang-Undang (Statute Approach), yaitu dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Dalam kegiatan praktis pendekatan ini membuka kesempatan untuk mempelajari konsisten dan kesesuaian antara Undang-Undang dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 atau antar regulasi. Disamping itu juga menggunakan pendekatan konseptual (Conseptual Approach), yang beranjak dari pandangan- pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu huku.

Dengan pendekatan demikian penelitian akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi.4 Disamping kedua pendekatan itu, dalam penelitian ini digunakan pendekatan asas-asas hukum (Legal Principle Approach). Legal pendekatan ini digunakan untuk menggali asas-asas hukum yang berkembang dalam masyarakat atau praktek penyelenggaraan ketatanegaraan. Disamping itu pula penulisan skripsi ini menggunakan juga pendekatan sejarah (Historical Approach). Karena mengingat bahwa Komisi Pemilihan Umum itu pada mulanya tidak ada.

2 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm l29

3Soerjono Soekanto, dkk., Penelitian Hukum Normatif; Suatu tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta,1985, hlm 70

4Ibid, hlm.93-95

9

1.5.3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum merupakan sarana untuk menganalisa atau memecahkan suatu masalah yang ada dalam suatu penelitian. Bahan hukum yang diperoleh diharapkan dapat menunjang penulisan skripsi. Sumber bahan hukum dalam penulisan skripsi ini ada dua macam:, yaitu:

1.5.3.1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoriatif artinya mempunyai otoritas seperti perundang-undangan, catatan-catatan atau risalah-risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.5

Menurut Soetandyo Wigjosubroto yang dimaksud dengan bahan hukum primer adalah semua aturan hukum yang dibentuk dan atau badan-badan pemerintahan, yang demi tegaknya akan diupayakan akan berdasarkan daya paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat negara.6 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini terdiri dari:

1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum;

3.Undang-Undang Nomor 15 tahun 2012 Tentang Penyelanggara Pemilihan Umum;

4.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2008.

5Ibid, 141

6Soetandyo Wigjosubroto, Metode Penelitian Hukum: Apa dan Bagaimana, tth, hlm.26

10

1.5.3.2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder menurut Soetandyo Wigjosubroto adalah juga seluruh informasi tentang hukum yang berlaku atau yang pernah berlaku di suatu Negara.7

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.8 Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah buku-buku literatur, jurnal-jurnal hukum dan tulisan-tulisan tentang hukum.

1.5.3.3. Bahan Non Hukum

Bahan non hukum merupakan sumber hukum non hukum yang digunakan untuk melengkapi sumber-sumber bahan hukum primer dan sekunder yang masih dirasa kurang oleh penulis dalam menjawab rumusan masalah yang ada dalam penulisan skripsi tersebut.9

1.6. Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh, dianalisis dan Ratio Legis dari Undang- Undang yang berhubungan dengan isu hukum yang dihadapi. Ratio Legis dapat diartikan sebagai alasan mengapa ada ketentuan.10

Selanjutnya hasil analisis tersebut diinterpretasikan dengan menggunakan cara berfikir deduktif yaitu suatu cara mengambil kesimpulan yang berangkat dari pembahasan yang bersifat umum menuju pembahasan yang bersifat khusus.

Langkah-langkah yang digunakan dalam melakukan penelitian hukum sebagai berikut:

7Ibid, hlm. 27

8Peter Mahmud Marzuki, Penelitian..op cit, hlm 141

9Ibid, hlm.163

10Ibid, hlm..140

11

1.Mengidentifikasi fakta dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan.

2.Pengumpulan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan non hukum yang sekiranya dipandang mempunyai relevansi dengan permasalahan.

3.Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan- bahan hukum yang telah dikumpulkan.

4.Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab hukum.

5.Memberikan preskripsi atau hal yang sebenarnya harus dilakukan berdasarkan argument yang telah dibangin dalam kesimpulan.11

11 Ibid, hlm.171

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komisi Pemilihan Umum

2.1.1 Pengertian Komisi Pemilihan Umum

Komisi Pemilihan Umum atau KPU tidak dapat disejajarkan kedudukannya dengan Lembaga-Lembaga (tinggi) negara lain yang kewenangannya ditentukan dan diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan, nama Komisi Pemilihan Umum itu sendiri tidaklah ditentukan oleh Undnag-Undang Dasar 1945, melainkan oleh Undang-Undang tentang Pemilu. Kedudukan KPU sebagai lembaga negara dapat dianggap sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain yang dibentuk oleh atau dengan Undang-Undang.

Akan tetapi, karena keberadaan lembaga penyelenggara pemilihan umum disebut tegas dalam pasal 22 E Undang-Undang Dasar 1945, kedudukannya sebagai penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, mau tidak mau menjadi sangat penting artinya, dan keberadaanya dijamin dan dilindungi secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar 1945. Inilah salah satu contoh lembaga negara yang dikatakan penting secara konsitusional atau lembaga negara yang memiliki apa yang disebut secara constitutional importance, terlepas dari apakah ia diatur eksplisit atau tidak dalam Undang-Undang Dasar.

Jika lembaga penyelenggara pemilu itu tidak bersifat nasional, tetap, dan mandiri, maka lembaga tersebut bukanlah lembaga sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Dasar 1945. Atau jika, disamping lembaga penyelenggara pemilu yang memnuhi syarat-syarat konstitusi itu diadakan lagi lembaga lain yang bersifat tandingan, hanya karena para politisi yang mengendalikan proses pembentukan Undang-Undang (misalnya) tidak menyukai independensi lembaga penyelenggara yang sudah ada, maka kedudukan konstituisonal lembaga penyelenggara pemilu itu jelas dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu, meskipun derajat kelembagaannya sama dengan lembaga-lembaga

12

13

negara lainnya yang dibentuk oleh Undang-Undang, pembahasan mengenai lembaga KPU ini juga perlu disinggung dalam bab ini.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah nama yang diberikan oleh Undang-Undang tentang pemilihan umum untuk lembaga penyelenggara pemilihan umum (Pemilu). Dalam Pasal 22 E Undang-Undang Dasar 1945 sendiri, nama lembaga penyelenggara Pemilu itu tidak diharuskan bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Itu sebabnya dalam rumusan Pasal 22 E Undang-Undang Dasar 1945 itu, perkataan Komisi Pemilihan Umum ditulis huruf kecil. Artinya, komisi pemilihan umum yang disebut dalam Pasal 22 E itu bukanlah nama, melainkan perkataan umum untuk menyebut lembaga penyelenggara pemilu itu. Dengan demikian, sebenarnya, Undang-Undang dapat saja memberi nama kepada lembaga penyelenggara pemilu itu, misalnya, dengan sebutan Badan Pemilihan Umum atau Komisi Pemilihan Pusat dan Komisi Pemilihan Daerah, dan sebagainya.

Namun demikian, oleh karena itu sejak sebelum Perubahan Undang- Undang Dasar 1945, lembaga penyelenggara pemilu itu sendiri sejak dulu sudah dikenal dengan nama Komisi Pemilihan Umum, lembaga ini juga tetap dipertahnkan dengan nama yang sama yaitu Komisi Pemilihan Umum. Karena itulah lembaga penyelenggara pemilu yang sekarang bernama Komisi Pemilihan Umum sebagai Komisi yang bersifat nasional, tetap dan mandiri sesuai dengan ketentuan Pasal 22 E ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945.

Di masa yang akan datang, seperti yang telah dikemukakan diatas dapat saja dikembangkan gagasan bahwa komisi penyelenggara di tingkat pusat dan daerah. Misalnya, ada Komisi Pemilihan Pusat untuk menyelenggarakan pemilihan umum nasional, dan komisi pemilihan daerah untuk meyelenggarakan pemilihan umum di daerah. Akan tetapi sejauh menyangkut ketentuan mengenai pemilihan umum dan komisi penyelenggara pemilihan umum menurut Pasal 22 E Undang-Undang Dasar 1945, jelas ditegaskan bahwa komisi penyelenggara itu harus bersifat nasional. KPU menurut Undang-Undnag No. 12 Tahun 2003

14

tentang Pemilu adalah pelaksana dan sekaligus pengawas pelaksanaan pemilu. Seharusnya, KPU adalah penyelenggara. Dalam konsep penyelenggaraan itu tercakup pengertian pelaksanaan dan pengawasan. Oleh karena itu, KPU sebagai penyelenggara cukup menjalankan fungsi sebagai policy maker dan regulator. Sedangkan untuk pelaksanaan Pemilu, KPU membentuk Panitia Pelaksana Pemilu, dan untuk pengawasan oleh KPU dapat dibentuk Panitia Pengawas Pemilu. Baik Panitia Pelaksana maupun Panitia Pengawas bersifat ad hoc. Dalam menjalankan tugasnya itu, Komisi Pemilihan Umum menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

2.1.2 Sejarah Pembentukan dan Kewenangan KPU

Ketentuan mengenai Pemilu diatur dalam Pasal 22 E Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi sebagai berikut:

1.Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, Umum, Bebas, rahasia, Jujur dan Adil setiap lima tahun sekali.

2.Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

3.Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik;

4.Peserta Pemilihan Umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan;

5.Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat Nasional, Tetap dan Mandiri.

6.Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang.

Ketentuan lebih lanjut dari amanat Pasal 22 E Undang-Undang Dasar 1945 diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD.

15

Menurut ketentuan umum Pasal I angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 ditegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umu yang selanjutnya disebut KPU adalah lembaga yang bersifat Nasional, Tetap, dan Mandiri, untuk menyelenggarakan Pemilu. Dalam Pasal 15 ditegaskan Pemilu diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bersifat Nasional, Tetap dan Mandiri. KPU bertanggungjawab atas penyelenggaraan Pemilu. Dalam melaksanakan tugasnya, KPU menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan Pemilu pada Presiden dan DPR.

Tugas dan Wewenang Komisi Pemilihan Umum adalah:

1.Merencanakan penyelenggaran pemilu;

2.Menetapakan organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan pemilu;

3.Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilu;

4.Menetapkan peserta pemilu;

5.Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;

6.Menetapkan waktu, tanggal, tata cara, pelaksanaan kampanyedan pemungutan suara;

7.Menetapkan hasil pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota;

8.Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilu;

9.Melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diatur Undang-Undang.

Secara Rahasia mungkin, KPU yang ada sekarang merupakan KPU keempat yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak reformasi 1945. KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus

16

Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik Presiden karena masalah hukum.

Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU harus diubah sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu yang jujur dan adil tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai anggota KPU, integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena didukung oleh personal yang jujur dan adil.

Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan non-partisan.

Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah mensyahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri

17

menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun.

Perubahan penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kemudian disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif. Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan Umum yang bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal terwujudnya Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.

Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan diundangkannya

18

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidak mengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah. Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji. Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas : mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib penyelenggara Pemilu; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi dan efektivitas.

Cara pemilihan calon anggota KPU-menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu-adalah Presiden membentuk Panitia Tim Seleksi calon anggota KPU tanggal 25 Mei 2007 yang terdiri dari lima orang yang membantu Presiden menetapkan calon anggota KPU yang kemudian diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengikuti fit and proper test. Sesuai dengan bunyi Pasal 13 ayat (3) Undang-undang N0 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, Tim Seleksi Calon Anggota KPU pada tanggal 9 Juli 2007 telah menerima 545 orang pendaftar yang berminat menjadi calon anggota KPU. Dari 545 orang pendaftar, 270 orang lolos seleksi administratif untuk mengikuti tes tertulis. Dari 270 orang calon yang lolos tes administratif, 45 orang bakal calon anggota KPU lolos tes tertulis dan rekam jejak yang diumumkan tanggal 31 Juli 2007.11

11 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5673 daikses tanggal 13 Mei 2013 Pukul 18. 30 WIb

19

2.2 Pengertian Bawaslu

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) adalah badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bawaslu ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Pasal 70 tentang Pemilihan Umum. Jumlah anggota Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang. Keanggotaan Bawaslu terdiri atas kalangan professional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan tidak menjadi anggota partai politik. Dalam melaksanakan tugasnya anggota Bawaslu didukung oleh Sekretariat Bawaslu. Sekretariat Bawaslu dipimpin oleh Kepala Sekretariat. Sekretariat Bawaslu dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2008.

2.3 Partai Politik

2.3.1 Pengertian Partai Politik

Partai Politik (parpol) sebagai kekuatan politik adalah suatu gejala baru bagi semua negara di dunia, dalam arti, umurnya tidak setua umur masyarakat manusia.12 Usianya tidak lebih dari 100 tahun. Istilah partai politik baru muncul pada abad kesembilan belas ketika semakin berkembangnya lembaga-lembaga perwakilan, meningkatnya frekuensi pemilihan umum, dan meluasnya hak rakyat dalam mengambil begian dalam pemilihan umum. Partai Politik pertama lahir di negara-negara Eropa Barat. Semakin meluasnya gagasan yang menyatakan rakyat merupakan faktor penting yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik lahir sebagai Katalisator politik dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat dan pemerintah. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik

12 Abdilla Fauzi Achmad, Tata Kelola Bernegara dalam Perspektif Politik, Golden Terayon Press, Jakarta, 2012, hlm 371

20

Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.13

Partai politik adalah institusi inti rezim demokratik. Banyak studi diarahkan kepada perilaku partai politik. Sejauh mana partai dapat berfungsi secara demokratis dan memenuhi impian publik dalam menuju demokrasi dan kesejahteraan. Studi mengagumkan dilakukan Scully dan Mainwaring pada tahun 1995 yang berusaha mengukur kinerja partai politik di negara-negara Amerika Latin dalam periode transisi pasca-rezim otoritarian. Ketika pengamatan kepada perilaku dan kinerja partai politik menunjukkan hasil beragam, maka upaya menukik langsung ke tubuh internal partai dan mengurai pernak-pernik politik internal untuk dapat memahami mengapa suatu partai berperilaku politik tertentu menjadi objek kajian amat populer dalam ilmu politik.14

Menurut Sri Soemantri M, partai politik sebagai infra struktur politik dapat dikatakan sebagai pilar demokrasi, karena ia memainkan peranan yang penting sebagai penghubung antara the state (pemerintahan negara) dengan the citizens (warga negaranya). Partai politik, dalam pandangan positif merupakan pilar atau tiang yang perlu dan bahkan sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Derajat pelembagaan partai politik itu sangat menentukan kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara. Akan tetapi dalam pandangan negatif (skeptis), menyatakan bahwa partai politik tidak lebih daripada sekedar kendaraan politik bagi sekelompok elit politik yang berkuasa dan sekedar sebagai sarana bagi mereka untuk memuaskan â€Å“birahi kekuasannya” sendiri.15

Carl J Friedrich, mendefinisikan partai politik merupakan a pollitical party is a group of human beings, stably organized with the objective of giving to members of party through such control ideal and benefits and advantages

(sekelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan merebut dan mempertahankan kekuasaaan partainya, berdasarkan pengawasan terhadap

13Makalah Suko, Sistem Multi Partai...op. cit., hlm. 2

14Bima Arya Sugiarto, Anti Partai, Gramata Publishing, Depok, 2010, hlm. 9

15Ibid

21

pemerintahan bagi pimpinan partainya dan pengawasan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaat yang bersifat idiil maupun materiil). 16

Raymond Garfield dalam Political Scince dalam Abdilla Fauzi memberikan batasan bahwa partai politik terdiri dari sekelompok warganegara yang sedikit banyak terorganisasi, yang bertindak sebagai suatu kesatuanpolitik dan dengan kekuasaan untuk memilih bertujuan mengawasi pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum. (A Political party consists of a group of citizens, more or less organized, who act a political uni and who, bye the useof their voting power, aim to control the gonvernment and carry out their general policees)17

Batasan Partai Politik menurut George B. De Huszar dan Thomas H Stevanson, adalah sekelompok orang yang terorganisasi untuk ikut serta mengendalikan pemerintahan, agar dapat melaksanakan programnya dan menempatkan anggotanya dalam jabatan. 18

Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.19

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002, disahkan di Jakarta tanggal 27 Desember 2002 yang dimaksud dengan Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum.

16Soelisyati, Ismail Gani, Pengntar Ilmu Politik , Gahlia Indonesia, Jakarta, 1987, hlm 111-112

17Ibid

18Ibid

19Makalah Suko Wiyono, Sistem Multi Partai dengan Sistem Presidensiil di Indonesia, Disampaikan pada Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur pada tanggal 27-29 Desember 2009 di Hotel Panorama Jember, hlm. 1

22

Dari berbagai definisi partai politik, secara umum dapat disimpulkan bahwa partai politik adalah institusi (kelembagaan) sosial yang terorganisasi, tempat keberadaan orang-orang atau golongan-golongan yang sepandangan (sealiran politik), berusaha untuk memperoleh serta menggunakan dan mempertahankan kekuasaan politik supaya dapat mempengaruhi kebijakan umum (mengikat masyarakat) dalam kehidupan kenegaraan.

2.4 Pengertian Konsep Demokrasi

Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan negara dan hukum di Yunani Kuno dan dipraktikkan dalam hidup bernegara antara abad ke-4 Sebelum Masehi sampai abad ke-6 Masehi. Pada waktu itu dilihat dari pelaksanaannya demokrasi yang dipraktekan bersifat langsung (direct democracy), yang artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. dari pengertian istilah demokrasi berasal dari bahasa yunani (demos = rakyat; kratos = pemerintahan) adalah suatu sistem pemerintahan: rakyat diikutsertakan dalam pemerintahan negara. Menurut perkembangan sekarang, demokrasi tidak hanya meliputi bidang pemerintahan/politik saja, tetapi juga bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan.

Prinsip dasar Demokrasi merupakan gagasan mengandaikan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang lebih partisipatif demokrasi itu bahkan disebut kekuasaan dari, oleh, untuk dan bersama rakyat. Artinya kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan untuk rakyat itu sendiri bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan barsama-sama dengan rakyat dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.20

20 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi pers, Jakarta, 2005 hlm 241

23

Meskipun suatu negara mempunyai suatu kepala Negara maupun kepala pemerintahan atau apa saja, sebagai suatu simbol dari negarnya akan tetapi peran serta rakyat merupakan sesuatu kekuatan kedaulatan yang menyebabkan rakyat mempunyai pengaruh besar ikut andil dalam menentukan sistem ketatanegaraan bangsanya.

Demokrasi memberikan pemahaman bahwa sumber dari kekuasaan adalah rakyat. Dengan pemahaman seperti itu, rakyat akan melahirkan sebuah aturan yang akan menguntungkan dan melindungi hak-haknya. Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi dijamin oleh negara. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak sama. Sekedar untuk menunjukkan betapa rakyat diletakkan pada posisi penting dalam prinsip demokrasi.

Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan negara, oleh karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat21. Jadi negara demokarsi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat, atau jika ditinjau dari sudut organisasi ia berarti suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau asas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.22

Dalam kaitan itu patut pula dikemukakan bahwa Henry B. Mayo memberikan pengertian sebagai berikut.

â€Å“A democratic political system is one in which public are made on a majority basis, by representatives subject to effective popular control at

21 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik dan

Kehidupan, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm 19

22Ibid

24

periodic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom. 23

Kendati dari berbagai pengertian itu terlihat bahwa rakyat diletakkan pada posisi sentral â€Å“rakyat berkuasa” (government or role by the people) tetapi di praktikkan oleh UNESCO disimpulkan bahwa ide demokrasi itu dianggap ambigu atau mempunyai arti ganda, sekurang-kurangnya ada ambiguity atau ketidak tentuan mengenai keadaan kultural serta historik yang mempengaruhi istilah, ide dan praktek demokrasi.

Para ahli berpendapat bahwa prinsip-prinsip hidup bernegara seperti terumuskan di dalam Pancasila (termasuk prinsip kerakyatan/demokrasinya) telah lama dipraktikan dalam kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia. 24

Matulada mengemukakan bahwa dalam kehidupan masyarakat Nusantara dikenal adanya kelompok-kelompok masyarakat yang disebut â€Å“kaum” atau Anang (Bugis) atau Marga (Batak) yang anggota-anggotanya terikat satu sama lain oleh hubungan kekerabatan yang ketat. Dalam masyarakat kaum ini tidak terdapat tingkatan-tingkatan yang berdasarkan asal keturunan yang membedakan seseorang dari orang lainnya, dan ini menjadi corak kerakyatan dalam kehidupan masyarakat kaum zaman purba nusantara. Berkaitan dengan itu, Mattulada menuliskan :

â€Å“Kalau demokrasi itu adalah bentuk pemerintahan sesuatu persekutuan yang berpemerintahan sendiri dalam hal mana sebagian besar warganya turut mengambil bagian, maka dalam persekutuan kaum ini, walaupun masih sederhana, ciri tersebut sudah ditemukan.”

Tabiat demokrasi masyarakat nusantara seperti dikemukakan di atas adalah tabiat atau corak hidup masyarakat tradisional dari berbagai kelompok sebelum adanya konsep â€Å“bangsa” Indonesia. Konsep tentang bangsa Indonesia baru lahir pada awal abad 20 ketika pergerakan kemerdekaan bangsa dan tuntutan mendirikan Negara Indonesia di atas wilayah jajahan Hindia Belanda bergelora. Awal abad 20 inilah konsep bangsa dalam Indonesia modern mulai muncul yang

23Ibid

24Ibid

25

secara resmi (versi formal) ditandai dengan berdirinya Budi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908. Dalam konsep bangsa Indonesia inilah dicakup suku bangsa-suku bangsa yang sebelumnya berjuang secara lokal dengan identitas bangsa yang masih terikat dengan suku atau wilayah masing-masing. Puncak pernyataan identitas bangsa Indonesia terjadi pada tahun 1928 ketika pada tanggal 28 Oktober terjadi Sumpah Pemuda yang berikrar untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu: Indonesia.25

2.5. Pengertian Pemilu

Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diekspresikan melalui pemilihan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil oleh rakyat terhadap wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat baik di tingkat pusat maupun daerah. Pemilu juga merupakan salah satu indikator terselenggaranya sebuah pemerintahan negara yang demokratis. Pemilu sekaligus dipakai oleh pemilih sebagai sarana untuk melakukan penilaian terhadap calon-calon wakil rakyat yang mencalonkan diri untuk duduk dalam lembaga perwakilan akyat. Sebagaimana lazimnya kegiatan pemilu ini dilakukan sekali dalam rentang waktu lima tahun sekali.26

Pemilihan umum adalah suatu proses yang para pemilihnya memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut dalam bentukannya beraneka macam, mulai dari jabatan Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota di berbagai tingkat pemerintahan, sampai Kepala Desa, dan wakil rakyat untuk para anggota legislatif. Dalam pemilihan umum, para pemilih juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta pemilihan umum menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Apalagi pemilihan umum 2009 yang memilih secara langsung, baik anggota legislatif, yang terdiri atas anggota DPR, DPRD dan DPD

25Ibid, hlm 33

26Supriyadi, Korelasi Sistem Pemilu Dengan Kinerja Dewan, disampaikan pada Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur pada tanggal 27-29 Desember 2009 di Hotel Panorama Jember, hlm. 1

26

serta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dinilai banyak pihak sebagai terobosan baru dalam iklim berdemokrasi sepanjang sejarah politik di Indonesia setelah pemilu 2004 yang dikenal demokratis dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.27

Salah satu ciri negara demokrasi adalah melaksanakan pemilihan umum (pemilu) untuk membentuk pemerintahan atau mengisi jabatan-jabatan kenegaraan atau pemerintahan. A.S.S. Tambunan mengemukakan, pemilihan umum merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang pada hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan daripada hak-hak politik rakyat sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada rakyat wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan.28

Pemilu adalah sarana demokrasi yang daripadanya dapat ditentukan siapa berhak menduduki kursi di lembaga politik negara, legislatif dan atau eksekutif. Melalui Pemilu rakyat memilih figur yang dipercaya untuk duduk di lembaga eksekutif dan atau legislatif. Dalam pemilu rakyat yang telah memenuhi persyaratan memilih secara bebas dan rahasia dengan aspirasinya. Tentu tidaklah mungkin seluruh aspirasi dapat ditampung. Dari sekian banyak pilihan aspirasi maka suara terbanyak pemilih dinyatakan sebagai pemenang karena ia mewakili kehendak rakyat yang terbanyak pula. Aspek terpenting dalam demokrasi adalah mengakui dan menghormati suara mayoritas. Namun demikian teramat penting untuk dipahami bahwa arti mayoritas, dalam demokrasi bukan lahir dari asumsi atau sekedar klaim kuantitas yang bersifat konstanta. Klaim mayoritas tanpa pemilu atas nama suku, agama, ras atau golongan (buruh, tani, nelayan dll) jelas bukan demokrasi melainkan tirani.

Setiap kontestan pemilu (baik partai maupun perseorangan atau independen) sudah memiliki ideologi yang didalamnya mengandung visi/atau

27Sukamto Satoto, Sistem Pemilu umum, Jurnal Konstitusi (P3KP) Fakultas Hukum Universitas Jambi Volume II Nomor 1, Juni 2009, Membangun Konstitusionalitas Indonesia, Membangun Budaya Sadar Berkonstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jakarta, 2009, hlm. 18-19.

28Widodo Ekatjahjana, Bunga Rampai Masalah Hukum Pemilu Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember. hlm 2

27

program dasar pemerintahan. Aspirasi apapun yang yang dipertarungkan kesemuanya bermuara pada satu cita-cita yakni untuk menuju dan mencapai masyarakat yang sejahtera. Kendati sama dalam tujuan dan namun belum tentu sama dengan pendekatan. Masing-masing kontestan memiliki sudut pandang yang berbeda yang karenanya menjadi menarik. Kendati sama dalam hal tujuan tetapi belum sama dengan hal pendekatan. Pemilu adalah arena uji publik atas visi dan program yang ditawarkan oleh siapapun baik partai maupun individu. Dengan sistm semacam itu maka tidak bisa tidak harus diakui bahwa demokrasi adalah satu-satunya sistem yang membuka ruang bagi lahir dan tumbuhnya aneka ragam visi dan misi maupun ideologi, kesemuanya memiliki kemungkinan yang sama untuk berkembang dengan bebas, sejauh ideologi tersebut bukan merupakan paham yang bercita-cita untuk membungkam atau melenyapkan paham lainnya. Dalam demokrasi, paham atau ideologi yang berlandaskan keyakinan agama, kesukuan, ras, agama memiliki hak berdiri dan sah berkompetisi dalam pemilu. Pemilu merupakan wujud implementasi kedaulatan rakyat.

Pemilihan umum sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi, paling tidak mesti didasari oleh beberapa hal, yaitu:

(1)adanya peraturan perundang-undangan yang memadai sebagai landasan bagi penyelenggaraan pemilihan umum yang demokrasi, fair, jujur dan adil;

(2)pemilu diselenggarakan dengan prinsip-prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil;

(3)pemilu diselenggarakan oleh lembaga penyelenggara pemilihan umum yang berwenang, bersifat independen, tidak memihak atau netral, transparan, adil dan bertanggungjawab;

(4)adanya lembaga pengawas dan/atau lembaga pemantau yang dibentuk secara independen, yang berfungsi untuk melakukan pengawasan atau kontrol terhadap penyelenggaraan pemilihan umum agar dapat berlangsung secara demokratis, jujur dan legal (sah) berdasarkan hukum dan keadilan;

28

(5)adanya lembaga peradilan yang independen dan tidak memihak, yang khusus dibentuk untuk mengenai masalah pelanggaran, kecurangan dan tindakan-tindakan lainnya yang melanggar nilai-nilai demokrasi, kejujuran, norma-norma hukum dan keadilan, termasuk memutuskan keabsahan hasil pemilihan umum yang diselenggarakan;

(6)adanya lembaga penegak hukum yang khusus bertugas untuk mengawal dan menegakkan norma-norma hukum pemilu agar ditaati oleh peserta, penyelenggara pemilu, pengawas atau pemantau pemilu

dan masyarakat luas lainnya.29

Arbi Sanit mengemukakan, bahwa pemilu pada dasarnya memiliki 4 (empat) fungsi utama, yaitu: (1) pembentukan legitimasi penguasa dan pemerintah; (2) pembentukan perwakilan politik rakyat; (3) sirkulasi elit penguasa; (4) pendidikan politik. Dilandasi dari keempat fungsi utama pemilu tersebut, maka sudah semestinya penyelenggaraan pemilu itu agar berlangsung secara baik, teratur adil, dan tertib harus bertumpu pada aturan hukum yang menjadi landasannya. Aturan hukum yang menjdi landasan bagi seluruh rangkaian penyelenggaraan pemilu inilah yang disebut dengan hukum pemilu.30

2.5.1 Penyelenggaran Pemilu yang Demokratis

Pemilu yang demokratis dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi proses dan sisi hasilnya. Dari proses, pemilu dapat dikatakan berkualitas apabila pemilu tersebut berlangsung demokratis, jujur dan adil, serta aman, tertib dan lancar. Dari sisi proses pemilu 2004, baik pemilu legislatif maupun pemilu Presiden/Wakil Presiden, dapat dikatakan berkualitas, karena telah berlangsung secara demokratis, jujur dan adil, serta aman, tertib dan lancar. Hal ini hanya mendapatkan pengakuan secara nasional, malahan pengakuan masyarakat Internasional.

Jimmy Carter, Direktur The Carter Center, menyatakan:

â€Å“Kami mengucapkan selamat kepada rakyat dan para pemimpn Indonesia atas pelaksanaan Pemilu 2004 Hingga saat ini delegasi kami memberikan

29Ibid, hlm. 5

30Ibid, hlm. 50

29

penilaian yang positif atas Pemilu tersebut. Kami sangat senang suasana damai yang terjadi selama pemilu legislative Indonesia pada April, hingga berlanjut pada pemilu Presiden”31

Demikian juga Glynn Ford, Ketua Pemantau Uni Eropa, menyatakan:

â€Å“Pemilu Indonesia adalah yang terkompleks di dunia, dimana ada tiga kali pemilihan. Sebagai Negara Muslim terbesar di dunia dan Negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia mempunyai peran penting bagi masyarakat Uni Eropa dan dunia.”32

Dasar penyelenggaraan pemilu yang ideal bagi suatu negara paling tidak bertumpu pada 3 (tiga) nilai dasar, yaitu : (1) Negara Hukum; (2) Demokrasi; dan

(3) Nasionalisme. Dasar negara hukum menurunkan beberapa prinsip yang dapat dipakai dalam menyelenggarakan pemilu, diantaranya:

(1)peraturan perundang-undangan yang baik, adil dan demokrasi;

(2)perlindungan hukum yang memadai atas terlaksananya hak memilih dan dipilih berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(3)pengawasan dan penerapan sanksi hukum yang memadai;

(4)peradilan pemilu yang independen dan tidak memihak;

(5)legitimasi dan keabsahan hasil pemilu.

31Makalah Rozali Abdullah, Sistem Pemilu Legislatif Dan Pemilu Presiden Ditinjau Dari Sudut Pandang Demokrasi, Jurnal Knstitusi (P3KP) Fakultas Hukum Universitas Jambi Volume II Nomor 1, Juni 2009 : Membangun Konstitusionalitas Indonesia, Membangun Budaya hlm. 13

32Ibid

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Sejarah Pengawasan Pemilu

Dilihat dari perjalanan sejarah, posisi dan fungsi pengawas pemilu berkembang dari lembaga pengawas pemilu yang dimunculkan pada pemilu 1982 hingga pemilu 2004.

1. Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu di Masa Orde Baru.

Pada awalnya terbentuknya Pengawas Pemilu pada Pemilu Orde Baru, atau yang dinamakan Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) dikarenakan banyaknya terjadi pelanggaran dan kecurangan Pemilu yang terjadi pada tahun 1977, kemudian pemerintah dan DPR yang didominasi oleh Golkar dan ABRI memiliki gagasan memperbaiki undang- undang Pemilu yang bertujuan meningkatkan kualitas pemilu berikutnya, yaitu Pemilu 1982.

Panwaslak Pemilu diposisikan sebagai bagian dari Lembaga Pemilihan Umum (zaman orde baru) atau KPU (zaman pasca orde baru). Pada zaman orde baru. Panwaslak bekerja dalam kerangka Lembaga Pemilihan Umum sehingga harus tunduk kepada kebijakan-kebijakan Lembaga Pemilihan Umum. Dari hal keanggotaan Panwaslak Pemilu, pemerintah melibatkan partai dalam hal kepanitiaan Pemilu dan pembentukan Panwaslak Pemilu tersebut diterima oleh DPR yang diformat ke dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum, Anggota-Anggota Badan permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 dan Undang-Undang No.2 Tahun 1980.

Ketentuan-ketentuan Tentang Panwaslak Pemilu dalam UU No.2 Tahun 1980 tidak menjelaskan ruang lingkup tugas Pengawasan Pemilu, tugas dan kewenangan Pengawas Pemilu, mekanisme dan prosedur penanganan dan pelanggaran, serta pengisian anggota dan penentuan pimpinan Panwaslak Pemilu.

30

31

Soal-soal seperti ini diserahkan kepada Peraturan Pemerintah. Namun Peraturan Pemerintah pun tidak mengatur secara rinci hal-hal tersebut, kecuali dalam soal pengisian anggota Panwaslak Pemilu dan Penentuan pimpinannya. Kemudian pada 7 januari 1985, dilakukan perubahan kembali dengan diberlakukannya Undang-Undang No.1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.

Perubahan itu sifatnya hanya redaksional, sebatas penyesuaian dengan perkembangan hukum. Secara subtansial tidak ada yang berubah dengan posisi, fungsi, susunan dan struktur organisasi LPU maupun Struktur Panwaslak Pemilu dan jajarannya. Dua â€Å“Mesin” pemenangan Golkar itu terus dipertahankan hingga Pemilu 1997. Pemilu terakhir Orde Baru. Karena keterlibatan anggota partai yang didominasi oleh aparat pemerintah, yang tidak lain adalah para pendukung Golkar. Yang terjadi adalah sebaliknya, fungsi Pengawasan Panwaslak Pemilu dilakukan untuk mengatur dan mengendalikan kepentingan pemenangan Golkar. Sebagai bagian dari â€Å“mesin” pemenangan Golkar.33

2. Panitia Pengawas Pemilu di Tahun 1999.

Meskipun pembentukan Panwaslak Pemilu pada zaman Orde Baru ditujukan untuk mendukung â€Å“mesin” pemenangan Golkar , namun keberadaan Pengawas Pemilu tetap dipertahankan pada Pemilu 1999. Sebab, tujuan pembentukan Pengawas Pemilu sebetulnya sangat strategis, yakni menjaga agar proses pemilu berlangsung sesuai dengan prinsip Pemilu yang Luber dan Jurdil. Oleh karena itu, dengan struktur, fungsi dan mekanisme kerja yang baru, Pengawas Pemilu tetap diaktifkan untuk Pemilu 1999. Namanya pun diubah dari Panitia pengawas Pelaksana Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu).

Undang-Undang No.3 Tahun 1999 mengatur bahwa Panwaslu dibentuk di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Sedangkan hubungan

33 Didik Supriyanto, 2007, Menjaga Independensi Penyelenggaraan Pemilu, Jakarta, Perludem, hlm 175

32

antara Panwaslu diberbagai tingkatan itu bersifat koordinatif dan informatif, bukan hirarkis dan subordinatif. Undang-undang juga mengatur anggota Panwaslu pusat, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota terdiri atas unsur hakim, perguruan tinggi, dan masyarakat. Sedangkan anggota Panwaslu Kecamatan terdiri dari unsur perguruan tinggi dan masyarakat. Selanjutnya disebutkan, susunan Panwaslu ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) untuk pusat, Ketua Pengadilan Tinggi (PT) untuk Provinsi, Ketua Pengadilan Negeri (PN) untuk Kabupaten/Kota dan Kecamatan.

Adapun tugas dan kewajiban Panwaslu adalah:

1.Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pemilu.

2.Menyelesaikan sengketa atas perselisihan yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu.

3.Menindaklanjuti temuan, sengketa dan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan untuk dilaporkan kepada instansi penegak hukum.

Dalam laporan pertanggungjawabannya, Panwaslu untuk Pemilu 1999 menyimpulkan bahwa lembaga tersebut tidak efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum peraturan Pemilu. Setidaknya ada 4 faktor yang menyebabkan ketidakefektifan Panwas Pemilu 1999 dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum peraturan Pemilu: pertama, tugas dan wewenang Pemilu tidak memadai, kedua, sumber daya manusia (SDM) kurang siap, ketiga, software dan hardware kurang memadai, keempat, terbatasnya akses informasi. Dari keempat faktor ini yang menyebabkan ketidak efektifan Panwas Pemilu 1999 tersebut menjadi bahan masukan untuk memperkuat posisi dan fungsi Panwas Pemilu sebagaimana dituangkan kedalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 dan Undang-Undang No.23 Tahun 2003 yang mengatur Pemilu Legislatif 2004 dan Pemilu Presiden 2004. 34

34 Didik Supriyanto, Ibid, hlm 49

33

3. Panitia Pengawas Pemilu di Tahun 2004

Undang-Undang No.12 Tahun 2003 menegaskan, â€Å“untuk melakukan pengawasan Pemilu, dibentuk Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.” Adapun mekanisme pembentukannya: Panitia Pengawas (Panwas) Pemilu dibentuk oleh KPU; Panwas Pemilu Provinsi dibentuk oleh Panwas Pemilu; Panwas Pemilu Kabupaten/Kota dibentuk oleh Panwas Pemilu Provinsi; Panwas Pemilu Kecamatan dibentuk oleh Panwas Pemilu Kabupaten/Kota.

Tugas dan wewenang Pengawas Pemilu menurut Undang-Undang No.12 Tahun 2003, yaitu:

a)Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pemilu.

b)Menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan Pemilu.

c)Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu.

d)Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang.

Susunan organisasi Panwas Pemilu, Panwas Pemilu Provinsi, Panwas Pemilu Kabupaten/Kota dan Panwas Pemilu Kecamatan terdiri dari seorang ketua dan merangkap anggota, dan dibantu seorang wakil ketua merangkap anggota. Selanjutnya UU No.12 Tahun 2003 mengatur: anggota Panwas Pemilu sebanyak- banyaknya 9 orang, Panwas Pemilu Provinsi sebanyak-banyaknya 7 orang, Panwas Pemilu Kabupaten/Kota sebanyak-banyaknya 7 orang, Panwas Pemilu Kecamatan sebanyak-banyaknya 5 orang. Para panitia pengawas ini berasal dari unsur kepolisian negara, kejaksaan, perguruan tinggi tokoh masyarakat dan pers.

3.2.Hubungan Tata Kerja antara KPU dan Bawaslu

3.2.1 Bawaslu sebagai Lembaga yang Melaksanakan Pengawasan Pemilu

Menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) tanpa melibatkan peran Pengawas Pemilu sama saja membiarkan terjadinya penyelundupan pelanggaran dan kesalahan dalam sistem demokrasi. Bila kita lihat dalam proses pelaksanaan pemilu sebelumnya, Pemilu 1955, tidak mengenal pengawas pemil. Baru pada

34

Pemilu 1982, kita baru mengenal lembaga pengawasan. Pembentukan lembaga pengawas Pemilu tahun 1982 lebih banyak dilatarbelakangi oleh banyaknya protes atas kecurangan yang dilakukan oleh Pemilu 1971. Masyarakat sudah jenuh dengan bentuk kecurangan dan pelanggaran yang secara masif dilakukan pada setiat tahap pelaksanaan Pemilu. Protes masyarakat atas berbagai kecurangan dan pelanggaran pun direspon positif oleh DPR, yang manakala pada waktu didominasi oleh Golkar dan militer. DPR pun berinisiatif untuk membuat Undang-Undang yang bertujuan memperbaiki kualitas Pemilu, sehingga Pemilu dapat diakui integritas proses dan hasil-hasilnya.

Pemilu tahun 2009 telah berlangsung secara aman dan damai, dengan segala kekurangan yang menyertainya. Aman dan damainya Pemilu adalah salah satu aspek penilaian dari sisi non-elektorasi Pemilu, namun dari sisi elektorasi maka menjadi tugas pokok dan fungsi dari Pengawas Pemilu. Situasi aman dan damai tidaklah cukup karena yang demikian itu tugas dan pokok dan fungsi dari lembaga non-elektorasi seperti perangkat keamanan negara. Namun sebagaimana tugas, wewenang dan kewajiban pengawas Pemilu, peran dan fungsinya adalah untuk menjamin kualitas (quality assurance) dari Penyelenggaraan Pemilu. Dengan kata lain boleh saja Lembaga lain menyatakan Pemilu sukses, sudah barang pasti dari kepentingan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilu.

Sekurang-kurangnya kualitas penyelenggaraan Pemilu dapat diukur dari sejumlah indikator dibawah ini, sehingga kita bisa menilai apakah pelaksanaan Pemilu 2009 telah berlangsung secara lebih berkualitas. Indikator tersebut dipetik dari tujuan Pemilu itu sendiri. Pertama, tujuan dari Pemilu itu sendiri adalah membentuk pemerintahan yang demokratis kuat dan memiliki dan mendapat dukungan yang sebesar-besarnya dari rakyat (legitimate). Kedua, kualitasnya suatu Pemilu diukur dari derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, keterwakilan yang tinggi antara pemilih dengan yang dipilih dan dengan mekanisme akuntabilitas yang jelas. Ketiga, Pemilu dapat diukur secara berkualitas bila jadwal dan tahapan Pemilu berlangsung secara tepat waktusebagaimana yang

35

telah direncanakan sebelumnya. Keempat, apabila Pemilu dilaksanakan sesuai dengan asas Langsung, Umum Bebas dan Rahasia serta Jujur dan Adil (Luber dan Jurdil) serta dipatuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu.35 Menurut penilaian Freedom House (1996), suatu negara demokratis apabila memenuhi kriteria antara lain dari terselenggaranya Pemilu yang kurang lebih Luber dan Jurdil.

Dalam rangka mewujudkan sistem Pemilu yang berkualitas demokratis, maka diperlukan instrumen demokrasi lain sebagai penopang berjalannya proses demokratisasi kepemimpinan bangsa. Pada Undang-Undang No. 22 tahun 2007 dikatakan, Bawaslu dibentuk guna mendampingi lembaga Penyelenggara Pemilu yaitu KPU agar berlaku sesuai dengan yang diharapkan dan dapat berjalan secara efektif.

Pada Pemilu 2004, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang No. 23 tahun 2003, pengawas Pemilu mempunyai tiga fungsi (tugas dan wewenang), yaitu: Pertama, mengawasi pelakasanaan setiap tahapan pemilu; Kedua, mengenai kasus-kasus pelanggaran administrasi Pemilu dan tindak Pidana Pemilu; dan Ketiga, menyelesaikan sengketa dalam penyelenggaraan Pemilu atau sengketa nonhasil Pemilu.

Dalam menjalankan tugas dan wewenang mengawasi setiap tahapan Pemilu, apa yang dilakukan pengawas Pemilu sebetulnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan pemantau Pemilu atau pengamat Pemilu, yakni sama- sama mengkritik, mengimbau dan memprotes apabila terdapat hal-hal yang menyimpang dari undang-undang namun terkait dengan dengan penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran Pemilu, maka pengawas Pemilu menjadi satu- satunya lembaga yang berhak menerima laporan dari masyarakat. Pengawas Pemilu kemudian melakukan kajian terhadap laporan atau temuan dugaan pelanggaran Pemilu untuk memastikan apakah hal tersebut benar-benar

35 Ukuran demokratisnya sebuah negara, Freedom House (1996) menyusun empat indikator penting: (1) Free and fair elections; (2) Open, Accountable and responsive gonvernment; (3) To promote and sustainability of Human Civil Rights; dan (4) A Society of self confident citizens.

36

mengandung pelanggaran administrasi, pengawas Pemilu merekomendasikannya kepada KPU/KPUD agar diselesaikan; sedangkan bila laporan tersebut mengandung unsur pelanggaran pidana pengawas Pemilu meneruskannya ke penyidik kepolisian. 36

Dengan struktur, fungsi dan mekanisme kerja yang baru, pengawas Pemilu tetap diaktifkan untuk Pemilu 1999. Namanya pun diubah dari panitia Pengawas Pelaksana Pemilu (Panwaslak Pemilu) menjadi panitia Pengawas Pemilu baru dilaksanakan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2003. Dalam undang-undang ini menegaskan bahwa, untuk melaksanakan pengawasan Pemilu dibentuk Panitia Pengawas Pemilu, panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kaupaten/Kota dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.

Peran dan kedudukan lembaga pengawas dalam sejarah Pemilu di Indonesia baru mengalami perubahan signifikan pasca-Pemilu 2004. Posisi lembaga pengawas yang sebelumnya tidak permanen pada pelaksanaan pemilu 2009. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat lembaga ini dalam melakukan pengawasan secara berkelanjutan. Pengawasan yang efektif dan permanen pada setiap tahapan pelaksanaan Pemilu dengan sendirinya akan mewujudkan tujuan Pemilu yang berkualitas. Tujuan Pemilu itu sendiri adalah untuk memilih para wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat, juga dalam rangka membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan yang sebesar-besarnya (legitimasi) dari rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Keberdaan lembaga Pengawas Pemilu harus diposisikan sebagai bagian dari lembaga Penyelenggara Pemilu. Lembaga Penyelenggara Pemilu bertanggung jawab atas semua proses dan hasil Pemilu, sehingga fungsi pengawasan sebetulnya merupakan bagian dari penyelenggaraan Pemilu. Pengawasan dilakukan agar pelaksanaan tahapan-tahapan Pemilu berjalan sesuai

36 Ramlan Surbakti dkk, Perekayasaan Sistem Pemilihan Umum: Untuk Pembangunan Tata politik Demokratis, Penerbit, Kemitraan bagi Pembaruan Tata pemerintahan di Indonesia, Jakarta, 2008 hlm 266.

37

dengan aturan perundang-undangan dan jadwal yang semestinya sudah direncanakan.

Fungsi pengawasan pemilu mestinya melekat atau berjalan seiring dengan pelaksanaan Pemilu. Hanya saja, karena banyak pihak yang belum percaya bahwa KPU/KPUD mampu menjalankan fungsi pengawasan secara efektif, maka fungsi pengawasan itu diberikan kepada lembaga itu sendiri. Jadi, pengawas Pemilu adalah bagian dari penyelenggara Pemilu yang secara khusus bertugas mengawasi pelaksanaan tahapan-tahapan Pemilu agar pemilu berjalan sesuai dengan peraturan dan jadwal.

3.2.2 Bawaslu Hanya Sebagai Mitra Kerja dari KPU

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang telah dibentuk melalui proses rekrutmen yang transparan dan independen berdasarkan Undang-Undang jelas memiliki peran besar untuk mengawal Pemilu yang demokratis jujur dan adil. Persoalan utama sekarang ada pada Bawaslu itu sendiri, untuk mengelola kualias diri, baik melalui proses perumusan dan pembuatan regulasi pengawasan, semangat sumber daya insaninya dan kemampuannya untuk menggali sekaligus menggairahkan potensi-potensi yang ada pada rakyat untuk menjadi pemilih yang kritis.

Dalam setiap penyelenggaran Pemilu terutama pada Pemilu 2004 dan terulang pula pada Pemilu 2009, Pengawas Pemilu memiliki lingkuo kewenangan yang terbatas. Sejumlah pihak menilai, pengawas Pemilu dikatakan hanya sebagai pelopor dan tukang pos. Betapapun begitu, satu hal yang perlu dicatat disini adalah demikian kuatnya segenap anggota pengawas Pemilu dalam menempatkan dirinya untuk lebih efektif lagi dalam menempatkan dirinya untuk lebih efektif lagi dalam menjalankan tugas, wewenang, dan kewajiban dalam mengawasi tahapan-tahapan Pemilu, sebagaimana kerjasanma yang dibangun dengan kelompok-kelompok masyarakat seperti organisasi masyarakat sipil yang berbasis pada public interest dalam Pemilu.

38

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat ini sudah jauh lebh baik, bak kewenangan, kemandirian dan jumlahnya yang lebih luas, karena sudah memiliki Pengawas Lapangan di tiap-tiap desa. Harapan rakyat sudah sangat jelas melalui peningkatkan kerja dan karenanya tidaklah salah jika semua pihak memiliki beberapa asas yang memungkinkan lembaga ini bisa diharapkan untuk mewujudkan Pemilu yang berkualitas dan bermartabat. Beberapa asas tersebut diantaranya: asas kemitraan, dan asas legalitas. Tentu saja, kedua asas ini merupakan bukti eksistensi dan argumentasi lembaga dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Asas kemitraan sangat penting untuk menjadi perhatian bersama, baik Bawaslu maupun interset grup Pemilu, yakni lembaga-lembaga pemantau merupakan bagian dari masyarakat pemilih yang memiliki kesadaran kritis, dan dengan kapasitas keswadayaannya, dapat membangun semangat kritis di tengah- tengah masyarakat. Dalam konteks ini, batasan-batasan terhadap lembaga- lembaga pemantau, terutama kriteria bagi suatu akreditasi, mesti secara jujur jernih dan adil dirumuskan. Persoalan utamanya sering berkait dengan kehendak untuk pengamanan para penyelenggara pemilu. Oleh sebab itu akreditasi terhadap lembaga-lembaga pemantau harus diperlonggar, terutama keharusan untuk terlebih dahulu melaporkan pemantauannya kepada penyelenggara. Kebebasan merupakan suatu substansi yang tidak dapat dihilangkan, jika masyarakat diharapkan jadi pengawas dalam Pemilu.

Dengan posisinya yang strategis dalam tujuan mewujudkan Pemilu yang bersih, jujur dan adil, keberadaan lembaga pengawas Pemilu ini merupakan sebuah institusi yang meiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan selama berlangsungnya proses Pemilu. Pengawasan sendiri dilakukan oleh panwaslu tidak hanya kepada kontestan, dalam hal ini partai politik peserta Pemilu, tetapi juga pada penyelenggara Pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), jika sampai institusi ini tidak ada, tentunya fungsi pengawasan tidak akan berjalan dengan maksimal. Selain itu, tidak adanya Panwaslu juga akan berdampak pada hasil Pemilu yang nantinya kurang memenuhi unsur legitimasi.

39

3.3. Bawaslu tidak Bertanggung Jawab kepada KPU

3.3.1 Bawaslu Sebagai Lembaga Negara yang Independen

Bawaslu dibentuk melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Selanjutnya undang-undang ini dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. 37 adapun hasil analisis menunjukkan bahwa:

1.Independensi Bawaslu â€Å“tidak” dinyatakan oleh Pembentuk Undang- Undang No. 15 Tahun 2011. Satu-satunya legitimasi yuridis yang secara tidak langsung menjamin independensi Bawaslu adalah Pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa: â€Å“Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Dengan demikian, Bawaslu untuk kategori ini tidak terpenuhi.

2.Bawaslu independen, dalam artian bebas dari pengaruh kehendak, ataupun kontrol dari cabang kekuasaan eksekutif, dan tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan tersebut. Hal ini, meskipun tidak diatur dalam Undang- Undang No. 15 Tahun 2011, namun nampak dari pola pengisian jabatannya, dan original intent dari pembentuk undang-undang.

3.Pemberhentian dan pengangkatan anggota Bawaslu menggunakan mekanisme yang diatur khusus, bukan semata-mata berdasarkan kehendak presiden (poliical appointee).

4.Kepemimpinan bawaslu bersifat kolektif kolegial, jumlah anggotaatau

komisioner bersifat ganjil (5) dan keputusan diambil secara mayoritas

37 Tidak banyak perubahan berarti tentang Bawaslu yang diatur dalam UU ini. Perubahan yang patut dicatat adalah proses pengangkatan anggota Bawaslu yang tidak lagi melinatkan KPU. Yang Pasti, Bawaslu merupakan â€Å“Lembaga penyelenggara Pemilu” dengan tugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu diseluruh wilayah NKRI.

40

suara. Hal ini tercermin dalam Pasal 72 ayat (2) huruf a yang menentukan bahwa, â€Å“jumlah anggota Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang.”

5.Kepemimpinan Bawaslu tidak dikuasai atau tidak mayoritas berasal dari partai politik tertentu. Pasal 85 huruf (i) tidak memberikan empat bagi anggota partai politik untuk menjabat sebagai anggota Bawaslu.

6.Masa jabatan Anggota Bawaslu definitif, dan habis secara bersamaan. Hal ini tercermin dalam Pasal 72 ayat (9) yang menyatakan: â€Å“Masa keanggotaan Bawaslu dan Bawaslu Provinsi adalah lima (5) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah atau janji. Dengan demikian untuk kategori ini Bawaslu hanya memnuhi karakteristik masa jabatan pimpinan definitif, namun tidak menggunakan penggantian secara bertahap (staggered terms).

7.Keanggotaan Bawaslu tidak ditujukan untuk menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat nonpartisan. Pasal 85 tidak menentukan keanggotaan Bawaslu untuk menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat nonpartisan.

Adapun tugas dan fungsi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 entang penyelenggaraan Pemilihan Umum mulai dari Pasal 70-84 secara jelas yaitu:

1.Mengawasi setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu yang meliputi:

a)Pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap;

b)Penetapan peserta pemilu;

c)Pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan anggota DPR/DPD/DPRD, pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,

41

d)Proses penetapan calon anggota DPR/DPD/DPRD, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pasangan calon Kepala Daerah;

e)Pelaksanaan kampanye;

f)Perlengkapan Pemilu dan Pendistribusiannya;

g)Pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara, berita acara penghitungan suara hasil di TPS;

h)Pergerakan surat suara, berita acara perhitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara dari tingkat TPS ampai ke PPK;

i)Proses rekapitulasi suara di PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi dan KPU;

j)Pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu susulan;

k)Proses penetapan hasil Pemilu.

2.Menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu;

3.Menyampaikan hasil temuan dan laporan kepada KPU untuk ditindak lanjuti;

4.Meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;

5.Menetapkan standar pengawasan tahapan penyelenggaraan Pemilu sebagai pedoman kerja bagi pengawas Pemilu di setiap tingkatan;

6.Mengawasi pelaksanaan penetapan daerah pemilihan dan jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan berdasarkan peraturan perundnag-undangan;

42

7.Mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi pengenaan sanksi kepada anggota KPU, KPU Provinsi, Sekretariat Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, Sekretaris KPU kabupaten/Kota dan pegawai Sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan pelanggaran Pemilu yang sedang berlangsung;

8.Mengawasi Pelaksanaan sosialisasi penyelanggara Pemilu;

9.Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang ditetapkan oleh undang- undang.

Tugas dan Wewenang Bawaslu ini menjadi lebih luas bila dibandingkan dengan Pengawas Pemilu sebelumnya yang diatur dalam ketentuan Pasal 120 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Dalam peraturan tersebut, tugas dan wewenangnya hanya dirangkum menjadi empat poin diantaranya:

a.Mengawasi semua tahapan penyelenggaran Pemilu;

b.Menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan Pemilu;

c.Menyelesaikan sengketa yang timbul dari dalam Penyelenggaran Pemilu;

d.Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenag.

Selain itu, perbedaan yang spesifik antara Bawaslu dengan Panwaslu, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 terdapat dalam soal kewenangan. Dalam undang-undang ini, Bawaslu diberikan kewenangan untuk memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menonaktifkan sementara atau memberikan sanksi administratif kepada pesera Pemilu yang melakukan pelanggaran. Rekomendasi Bawaslu yang diajukan kepada KPU mengenai adanya sejumlah anggota DPD dan Calon legislatif yang tidak menyerahkan daftar laporan dana awal kampanye, sehingga Bawaslu memutuskan agar KPU mencoret

43

anggota tersebut dari daftar kepesertaan Pemilu. KPU pun sebagai pihak penyelenggara melakukan pencoretan terhadap nama-nama yang direkomendasikan oleh Bawaslu karena adanya tindak pelanggaran yang telah dilakukannya.

Selain itu di dalam Undnag-Undang Nomor 22 Tahun 2007 juga memberikan rekomendasi kepada bawaslu untuk menyerahkan dan melaporkan unsur pelanggaran tindak pidana kepada pihak yang berwenang, yaitu pihak kepolisian. Salah satu kasus yang yang mengindikasikan adanya pelimpahan wewenang ini dari Bawaslu kepada pihak kepolisian adalah ketika Bawaslu banyak menerima laporan dari berbagai panwas Pemilu, baik di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota yang menemukan adanya indikasi politik uang (money politics). Melakukan politik uang dalam Pemilu merupakan salah satu pelanggaran tindak pidana, dan Bawaslu tidak berhak mengusut tuntas permasalahan tersebut. Oleh sebab itu, Bawaslu pun harus bekerja sama dengan pihak-pihak yang berwenang seperti kepolisian dan kejaksaan.

Selain memberikan tugas dan wewenang, undang-undang ini juga mengisyaratkan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi oleh Bawaslu sebagai salah satu Penyelenggara Pemilu yang diatur dalam Pasal 75. Beberapa kewajiban tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

1.Bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya;

2.Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pengawas Pemilu pada semua tingkatan;

3.Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu;

4.Menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan KPU sesuai dengan tahapan Pemilu secara periodik atau berdasarkan kebutuhan;

44

5.Melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan Perundang- Undangan.

Berdasarkan analisis diatas, tampak jelas bahwa Bawaslu hanya memenuhi karakteristik syarat teoritis (2,3,4,5,6 dengan catatan tidak menggunakan staggered terms). Kendati independensi Bawaslu tidak secara eksplisit diatur dalam undang-undang, dan nampaknya dibentuk sebagai supporting organ terhadap Komisi Pemilihan Umum, Bawaslu merupakan komisi negara independen. Hal ini dikarenakan, Bawaslu tidak secara struktural dikendalikan oleh KPU, dan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak bertanggung jawab kepada KPU, melainkan memberikan laporan pengawasan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. 38Bawaslu merupakan komisi negara independen yang unik, dikarenakan satu-satunya mempunyai fungsi monitoring atau pengawasan dan menunjang komisi negara independen yang lainnya (KPU).

38 Hal ini tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstiusi Nomor 11/PUU-VII/2010, tanggal 7 Maret 2010 terkait uji materi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilu, menguatkan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menyeleksi dan menetapkan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Dengan demikian, perekrutan calon Panwas tidak lagi melibatkan KPU seperti sebelumnya, dan Bawaslu memiliki kewenangan penuh menyeleksi dan menetapkan calon panwaslu provinsi dan kabupaten kota. Sedangkan di tingkat kecamatan, Panwaslu kabupaten/kota memiliki kewenangan menetapkan panwaslu kecamatan. Menurut Mahkamah Konstitusi, sistem rekrutmen sebelumnya di mana calon panwaslu diusulkan oleh KPU, merupakan mekanisme rekrutmen yang akan mengakibatkan anggota-anggota pengawas pemilu menjadi tergantung pada KPU, sehingga kemadiriannya terganggu dan mengakibatkan saling hambat antara Bawaslu dan KPU.

BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:

a.Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, Kedudukan Lembaga Pengawas Pemilu yang semula bersifat sementara (kepanitiaan) dikembangkan menjadi Lembaga tetap, yaitu: Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum). Dalam hal ini kedudukan Bawaslu tidak lagi subordinat KPU, tetapi di sejajarkan dengan KPU. Selanjutnya Undang-Undang No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu juga memperluas wewenang Bawaslu. Dimana Berdasarkan Undang-Undang No.12 Tahun 2003 dan Undang-Undang No.23 Tahun 2003, Panwas Pemilu hanya memiliki wewenang mengawasi pelaksanaan setiap tahapan pemilu, menangani pelanggaran pemilu dan menyelesaikan sengketa pemilu. Sedangkan dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2007, Bawaslu mempunyai satu wewenang lagi, yakni merekomendasikan pemberhentian anggota KPU/KPUD dan panitia pemilihan yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dan Undang-undang Pemilu.

b.Bawaslu sebagai Lembaga Negara Independen adalah suatu Badan dalam hal ini sebagai Pengawas Pemilu sebagai salah satu Pemyelenggara Pemilu hanya sebagai Mitra Kerja dari KPU dan bukan sebagai Lambaga yang menjadi lembaga dibawah KPU. Oleh sebab itu Bawaslu tidak bertanggung jawab Kepada KPU meskipun dia sebagai perekomendasi kepada KPU apabila terjadi kecurangan selama mulai awal hingga akhir proses penghitungan suara Pemilihan Umum.

45

46

2. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan oleh Penulis hanya satu yaitu:

Di dalam Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum maka harus dibentuk lagi Undnag-undang yang baru. Kaitannya dengan Lembaga Pengawas Pemilu atau Bawaslu yang didalamnya memuat Tugas dan Fungsi Bawaslu sebagai Komisi Negara Independen sehingga tidak terjadi tumpang tindih fungsi dan ugas dengan lembaga yang lain dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum. Sehingga Praktek tarik ulur kepentingan yang seringkali terjadi dalam kecurangan- kecurangan sewaktu Pemilihan Umum berlangsung dapat segera teratasi guna mewujudkan Pemilihan Umum yang demokratis.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdilla Fauzi Achmad, 2012, Tata Kelola Bernegara dalam Perspektif Politik, Golden Terayon Press, Jakarta

Bima Arya Sugiarto, 2010, Anti Partai, Gramata Publishing, Depok.

Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Didik Supriyanto, 2007, Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu, Perludem,

Jakarta.

Gunawan A Tauda, 2012, Komisi Negara Independen, Genta Press, Yogyakarta

Janedri M. Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta

Jimly Asshiddiqie, 2010, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara, Sinar Grafika, Jakarta

Nur Hidayat Sardini, 2011, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia, Fajar Media Press, Yogyakarta

Ni̢۪matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara, Rajawali Press, Jakarta

Soerjono Soekanto, 1985 dkk., Penelitian Hukum Normatif; Suatu tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta,

Universitas Jember, 2011, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Jember University Press, Jember.

Widodo Ekatjahjana, 2009, Bunga Rampai Masalah Hukum Pemilu Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember.

47

JURNAL

Rozali Abdullah, 2009, Sistem Pemilu Legislatif Dan Pemilu Presiden Ditinjau Dari Sudut Pandang Demokrasi, Jurnal Knstitusi (P3KP) Fakultas Hukum Universitas Jambi Volume II Nomor 1, Juni 2009 : Membangun Konstitusionalitas Indonesia, Membangun Budaya

Suko Wiyono, Pemilu Multi Partai Dan Stabilitas Pemerintahan Presidensiil di Indonesia, disampaikan pada Acara Seminar Ketatanegaraan Dan Refleksi Akhir Tahun 2009 Asosiasi Pengajar HTN Dan HAN Jawa Timur, tanggal 27 s/d 29 Desember Di Hotel Panorama Jember.

Supriyadi, Korelasi Sistem Pemilu Dengan Kinerja Dewan, Disampaikan Pada Acara Seminar Ketatanegaraan Dan Refleksi Akhir Tahun 2009 Asosiasi Pengajar HTN Dan HAN Jawa Timur, tanggal 27 s/d 29 Desember Di Hotel Panorama Jember.

PERATURAN dan UNDANG-UNDANG

1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum;

3.Undang-Undang Nomor 15 tahun 2012 Tentang Penyelanggara Pemilihan Umum;

4.Peraturan Bawaslu Nomor 10 Tahun 2004;

5.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2008;

INTERNET http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5673

48
LaporanteksdeskripsiTentangwisataancol
BAB.1
1.1:LatarBelakang
merupakan inindustriterbesarataubisajaditercepatpembangunannya di dunia. Sektorpariwisatatelahmenjadiindustri yang sangatprospektifdankompetitifwaktu di masakini. Haltersebutdidasarkanataskenyataanbahwakemajuanteknologisertasemakintingginyatingkat
kesejahteraanmasyarakatsehinggamendorongpertumbuhanmobilitaswisatawaninternasionaldaritahunketahunmenjadisangatpesatataumeningkat.
pariwisatasebagaisektor yang tidakdapatdipisahkandarikehidupanmanusia
terutamamenyangkutkegiatansosialdanekonomi. Berdasarkan data WTO tahun 2001, pariwisatatelahmemberikankonteribusisesbesar 11% bagi Gross Domestic Productdiduniadenganmemperkerjakan 200 juta orang sejaktahun1950 hingga 1998. WTO jugamengungkapkan (2000) bahwawisatawaancoladalahwahanawisataterbesar di indonesia.

1.2: Tujuan
Tujuanwaktuitusayabersamakeluargasayauntukmenenangkanpikirandansebagaibeerlibur di tananancolwaktusayamasihberada di kelas 2 smp,sayamelakukanrekreasipadawaktuitubesamakeluargabesarsaya
BAB.2

I.SatuSisiLaporan

Kegiatankaryawisatadilaksanakanpadawaktulibursekolah, yaitupadatanggal20Oktober 2012 – 28Oktober 2012 (7 hari7malam) dengan menggunakan2 armada transportasiyaitu bus dankapallaut., Selamakaryawisatalibursekolahtahun 2012ini, keluargabersama, pemanduwisata, danlainnyaakanmengunjungidaerah di ancol,

2.1tabel

NO
waktu
kegiatan

13-13.30
Makansiang

13.30-15
Jajal-jalankelilingancol

15-15.30
Renang di kolam

15.30-16
Masihberada di dalamwahana air

BAB 3

PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan

Secaraumumpelaksanaanbauranpemasaranpariwisata yang dilakukanoleh Taman Impian Jaya Ancol yang terdiridariproduk promotion,
danpricecukupefektif. saranpariwisata yang diuji, yang memilikikontribusi paling tinggiadalahprogramminghaltersebutdikarenakan Taman Ancolselalumembuat
programacara yang menariksepertimenyajikanpertunjukaninternasionalseperti Police Academdll.
3.2 Salam

Selamattingaltamanimpianancolsuatusaatpastiakuakandatangkembalikehadapanmuwahaitamanrekreasiacol.
By :REGA HARDIYANTO
Kamis, 28 Maret 2013
LAPORAN AKHIR PANWASLU PILGUB JABAR 2013

BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Amanat amandemen Undang-undang Dasar Negara RI tahun 1945 mengisyaratkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat diwilayah propinsi atau Kabupaten berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat merupakan proses politik bagi bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis dan bertanggungjawab, sedangkan Pengawasan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu yang dibentuk secara berjenjang ( Panwas Provinsi, Panwas Kabupaten , Panwas Tingkat Kecamatan, dan Pengawas Pemilu Lapangan ). Panitia Pengawas Pemilihan Umum melakukan Pengawasan atas seluruh tahapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Panitia Pengawas Pemilihan Umum menerima Laporan pelanggaran perundang-undangan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan mengkajinya dalam waktu sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.
Panitia Pengawas pemilihan Umum meneruskan temuan dan laporan yang merupakan pelanggaran Administratif kepada KPUD serta meneruskan temuan dan laporan yang mengandung unsur pidana kepada penyidik.Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menyelesaikan sengketa sesuai tahapan yang ditentukan undang – undang.
Laporan Akhir hasil pengawasan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 di wilayah kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya ini diharapkan bisa memberikan gambaran terhadap pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013  yang dilaksanakan pada tanggal 24 Februari2013.
Secara umum dari hasil Pengawasan Panwaslukada Kecamatan Leuwisari terhadap pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 khususnya di Kecamatan Leuwisari telah berjalan sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dapat dilihat dari hasil yang dicapai pada Pelaksanaan Pemilu tersebut, serta suasana yang kondusif pasca Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 yang berjalan dengan aman dan tentram.
           
1.2              Maksud dan Tujuan
1.2.1        Maksud
Berdasarkan latar belakang diatas, Kami Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 menyusun Laporan Akhir hasil pengawasan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 di wilayah kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya. sehingga kita bisa memberikan penilaian terhadap pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 yang dilaksanakan pada tanggal 24Februari 2013.
1.2.2        Tujuan
Penyusunan laporan akhir hasil pangawasan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 ini bertujuan :
a.    Sebagai bahan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas sebagai Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 atas keseluruhan pelaksanaan tugas selama masa bakti.
b.    Memberikan gambaran umum hasil pengawasan pada setiap tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 di wilayah kecamatan Leuwisari.
c.    Sebagai bahan analisis dan evaluasi terhadap proses pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013.
d.   Sebagai tuntunan normatif peraturan perundang-undangan tentang Pengawasan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 mengenai laporan pertanggungjawaban.
e.    Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pelaksanaan tugas Panitia Pengawas Pemilihan di masa yang akan datang.

1.3  Sistem Penulisan Laporan
BAB I : PENDAHULUAN
Berisikan latar belakang penyusunan laporan akhir, maksud dan tujuan, dan sitematika isi laporan sebagai kerangka pemikiran tiap-tiap bab.
BAB II            : GAMBARAN UMUM PANITIA PENGAWAS
Berisikan keberadaan Panwas Pemilihan berdasakan Perundang-undangan, Tugas dan Wewenang Panwas, Struktur Organisasi, Program Kerja, Pembinaan dan Kerja Sama serta Fasilitas dan Pendanaan yang dimiliki oleh Panwas.
BAB III          : TAHAPAN PILGUB DAN WAGUB JABAR 2013
Berisikan tahapan-tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 diantaranya Tahap Pemutakhiran Data Pemilih, Tahap Pendaftaran dan Penetapan Pasangan Calon, Tahap Kampanye dan masa Tenang dan Tahap Pemungutan dan Penghitungan Suara serta Penetapan Hasil.


BAB IV          : PENGAWASAN TAHAPAN PILGUB DAN WAGUB JABAR 2013.
Berisikan pengawasan pada tahap Pemutakhiran Data Pemilih, Pendaftaran dan Penetapan Calon, Kampanye dan Masa Tenang serta pengawasan terhadap Pemungutan dan Penghitungan Suara serta Penetapan Hasil.
BAB V     : PELANGGARAN DAN SENGKETA
Berisikan pelanggaran-pelanggran yang terjadi pada seluruh tahapan pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 berikut penaganannya.Selain itu juga berisikan sengketa yang timbul pada tahapan pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 berikut penyelesainnya.
BAB VI          : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berisikan kesimpulan dari laporan akhir hasil Pengawasan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 disertai dengan rekomendasi.

                       











BAB II
GAMBARAN UMUM PANITIA PENGAWAS

2.1         Panwas Berdasarkan Perundangan
Bahwa dalam rangka mewujudkan penyelenggara pemilihan umum yang berintegritas dan berkredibilitas serta penyelenggaraan pemilihan umum yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan demokratis, diperlukan pengawasan terhadap pelaksanaan Pemilihan Umum.
Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 menyatakan bahwa  Pengawasan penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
Sedangkan pasal 70 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 menyatakan bahwa Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan Pemilu dimulai dan berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu selesai.

2.2         Tugas dan Wewenang
Adapun tugas dan wewenang Panwaslu menurut undang-undang, sesuai tingkatannya adalah sebagai berikut :
2.2.1 Tugas dan Wewenang Panwaslu Kecamatan
Dasar   :
Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 pasal 79 bahwa Panwaslu Kecamatan mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
a.    mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan yang meliputi:

                   
1.    pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap.
2.    pelaksanaan kampanye.
3.    logistik Pemilu dan pendistribusiannya.
4.    pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara hasil Pemilu.
5.    pergerakan surat suara dari TPS sampai ke PPK.
6.    proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh PPK dari seluruh TPS, dan
7.    pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu susulan dan Pemilu Lanjutan.
b.    menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu sebagaimana dimaksud pada huruf a.
c.    menyampaikan temuan dan laporan kepada PPK untuk ditindaklanjuti.
d.   meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang..
e.    mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu.
f.     memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporanmengenai tindakan yang mengandung unsur tindak pidana Pemilu; dan
g.    melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.
2.2.2 Tugas dan Wewenang Pengawas Pemilu Lapangan (PPL)
Dasar   :
Pasal 81 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 menyatakan bahwa “Tugas dan wewenang Pengawas Pemilu Lapangan adalah:
a.    mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat desa/kelurahan yang meliputi:
1.    pelaksanaan pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap.
2.    pelaksanaan kampanye.
3.    logistik Pemilu dan pendistribusiannya.
4.    pelaksanaan pemungutan suara dan proses penghitungan suara di setiap TPS.
5.    pengumuman hasil penghitungan suara di setiap TPS.
6.    pengumuman hasil penghitungan suara dari TPS yang ditempelkan di sekretariat PPS.
7.    pergerakan surat suara dari TPS sampai ke PPK; dan
8.    pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu lanjutan, dan Pemilu susulan.
b.    menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu sebagaimana dimaksud pada huruf a
c.    meneruskan temuan dan laporan dugaan pelanggaran terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilu sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada instansi yang berwenang
d.   menyampaikan temuan dan laporan kepada PPS dan KPPS untuk ditindaklanjuti
e.    memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan tentang adanya tindakan yang mengandung unsur tindak pidana Pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan
f.              mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu; dan
g.    melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh Panwaslu Kecamatan.





2.3         Struktur Organisasi


























 










Gambar.2.1 Struktur Organisasi Panwaslu Kecamatan

·         Ketua        : 1 orang
·         Anggota    : 2 orang
·         Kepala Sekretariat                                                   : 1 orang
·         Bendahara : 1 orang
·          Pegawai Sekretariat                                                : 2 orang
·         Pengawas Pemilu Lapangan ( PPL )                        : 7 orang
Sedangkan mempermudah kelancaran dalam melaksanakan tugas, Panwaslukada kecamatan Leuwisari melakukan pembagian tugas  diatur sebagai berikut :
F  Ketua          :  Divisi Umum
F  Anggota                 : Divisi Pengawasan
F  Anggota                 : Divisi Pelaporan dan Penanganan Pelanggaran
F  Kesekretariatan Panwaslu Kecamatan bertugas membantu kelancaran tugas dan wewenang Panwaslu Kecamatan. Kepala Sekretariat Panwaslu kecamatan bertanggungjawab kepada Panwaslu Kecamatan.

2.4         Program Kerja Panwas Pilgub dan Wagub Jabar Tahun 2013
Untuk mempermudah dan memperlancar dalam melaksanakan pengawasan, Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 kecamatan Leuwisari menyusun program kerja yang disesuaikan dengan tahapan-tahapan  dalam pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 yang telah ditetapkan oleh KPUD Provinsi Jawa Barat.
2.4.1 Visi dan Misi
Visi dan Misi  : “Terselenggaranya pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 yang demokratis dan dapat dipertanggungjawabkan “
2.4.2 Tugas dan Wewenang
Tugas dan wewenang Panwaslu Kecamatan adalah sebagai berikut :
a.       mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan
b.      menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu sebagaimana dimaksud pada huruf a.
c.       menyampaikan temuan dan laporan kepada PPK untuk ditindaklanjuti.
d.      meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang..
e.       mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu.
f.       memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporanmengenai tindakan yang mengandung unsur tindak pidana Pemilu; dan
g.      melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.
2.4.3 Strategi Pengawasan
Pengawasan pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 menggunakan strategi :
a.    pencegahan terhadap potensi pelanggaran dengan melakukan tindakan, langkah-langkah, dan upaya optimal mencegah secara dini terhadap potensi pelanggaran dan/atau indikasi awal pelanggaran.
b.    Penindakan terhadap dugaan pelanggaran dengan melakukan tindakan penanganan secara cepat dan tepat terhadap Temuan/Laporan dugaan pelanggaran.
2.4.4 Program Pengawasan
Sebelum melaksanakan pengawasan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013, Panwaslu Kecamatan Leuwisari melakukan :
a.    Identifikasi dan pemetaan pada setiap tahapan Pemilukada
b.    Identifikasi dan pemetaan titik rawan pda aspek lainnya misalnya pengadaan dan pendistribusian perlengkapan Pemilukada dan sosialisasinya.
c.    Menyusun kegiatan pengawasan berdasarkan fokus pengawasan yang telah ditentukan.

2.5         Pembinaan dan Kerjasama
2.5.1 Program Intern
Dalam melaksanakan tugas pengawasan Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013, Panwas kecamatan Leuwisari  selalu mendapat bimbingan dan pengarahan dari Panwas Kabupaten Tasikmalaya yang dilakukan melalui kunjungan, pertemuan rutin, rapat kerja, pemberian informasi dan kegiatan lainnya sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi.
2.5.2 Program Ekstern
Disamping itu untuk menunjang kelancaran dalam pelaksanaan tugas pengawasan, Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 kecamatan Leuwisari selalu melakukan koordinasi yang baik diantaranya dengan :
a.       Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kec.Leuwisari.
b.      Unsur Muspika Kecamatan Leuwisari.
c.       Tim Kampanye pasangan calon, Tokoh masyarakat
Gambar 2.2 Rakor dengan Muspika Kecamatan Leuwisari

2.7  Fasilitas dan Pendanaan
Untuk menujang kelancaran tugas dan wewenang Panwaslukada kecamatan, kami menyewa kantor sekretariat panwas yang berlokasi di Jalan Raya Arjasari No.25, lokasi tersebut berdekatan dengan Kantor Polsek Leuwisari dan berdekatan pula dengan Kantor Kecamatan dan kantor Sekretariat PPK Leuwisari. Hal ini bertujuan untuk lebih memudahkan koordinasi, baik dengan Penyelenggara Pemilu (PPK) maupun dengan Pemerintah Daerah (Kecamatan).
Fasilitas yang dimiliki oleh Panwaslukada kecamatan Leuwisari pada Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 sebagian  menggunakan fasilitas/inventaris barang Panwas Pilgub Jabar tahun 2008. disamping itu dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang merupakan hasil dari dana/anggaran  Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 , diantaranya :
a.       Kantor sekretariat.
b.      1 (satu) unit Laptop
c.       1 (satu) unit Komputer.
d.      7 (tujuh) buah meja staf.
e.       7 (tujuh) buah kursi staf.
f.       7 (tujuh) buah kursi lipat.
g.      Sarana lainnya ( papan data dll )
Sementara dana/anggaran yang diperoleh oleh Panwaslu kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2013 bersumber dari APBD Provinsi Jawa Barat.


























BAB III
TAHAPAN PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR
JAWA BARAT TAHUN 2013


3.1         Tahapan Pemutakhiran Data Pemilih

            Dasar hukum Pelaksanaan Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, serta Undang-undang Nomor 15 Tahun 2008 tentang Penyelengaraan Pemilu.
Daftar pemilih yang digunakan pada saat pelaksanaan Pemilihan Umum terakhir di daerah dan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat , digunakan sebagai data awal daftar pemilih untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013.. Daftar pemilih tersebut dimutakhirkan dan divalidasi oleh PPS dengan dibantu oleh Petugas Pemutakhiran Daftar Pemilih (PPDP) untuk digunakan sebagai bahan penyusunan Daftar Pemilih Sementara (DPS),
Hasil pemutakhiran DP4 tersebut  disusun menjadi Daftar Pemilih Sementara (DPS), kemudian DPS  tersebut diumumkan oleh PPS pada tempat yang mudah terjangkau oleh masyarakat untuk mendapat tanggapan dari masyarakat sehingga dapat memberikan kesempatan kepada hak pilih yang belum terdaftar sebagai pemilih.
Daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tambahan yang telah diperbaiki disahkan dan diumumkan oleh PPS untuk menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dari hasil pemutakhiran data pemilih di wilayah kecamatan Leuwisari diketahui bahwa jumlah hak pilih berdasarkan DPT pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 adalah sebanyak 29487 hak pilih yang terdiri dari 14819 laki-laki dan 14668 perempuan.
3.2         Tahapan Pendaftaran dan Penetapan Calon

3.2.1 Tahapan Pendaftaran Pasangan Calon

Bahwa untuk mewujudkan kepemimpinan daerah yang demokratis yang memperhatikan prinsip persamaan dan keadilan, penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara yang memenuhi persyaratan.
Pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berasal dari Partai Politik/ gabungan Partai Politik didaftarkan oleh Partai Politik / gabungan Partai Politik kepada KPUD selama masa pendaftaran dengan menyerahkan surat pencalonan yang ditanda tangani oleh pimpinan Parpol atau gabungan Parpol sekaligus mendaftarkan Tim Kampanye, sedangkan untuk calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berasal dari Calon Perseorangan/Independen dapat secara langsung mendaftar ke KPUD.
3.2.2 Penetapan Pasangan Calon

KPUD melakukan penelitian terhadap surat pencalonan serta melakukan klarifikasi pada instansi yang berwenang memberikan surat keterangan. Apabila dari hasil penelitian telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan KPUD, selanjutnya KPUD menetapkan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan mengumumkannya.
Pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 KPUD Provinsi Jawa Barat menetapkan 5 (lima) pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 yang memenuhi persyaratan. 1(satu) pasang Calon dari Perseorangan dan 4 (empat) pasang calon yang diusung oleh Partai Politik/Gabungan Partai Politik.

3.3         Kampanye dan Masa Tenang

3.3.1 Tahapan Kampanye
Kampanye merupakan bagian dari penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 yang diselenggarakan oleh Tim Kampanye masing-masing pasangan calon. Kampanye merupakan salah satu upaya dari pasangan calon untuk meyakinkan para pemilih dengan cara menyampaikan visi, misi dan program msing-masing pasangan calon yang dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara (masa tenang).
Kampanye dilakukan dalam bentuk pertemuan terbatas, tatap muka/dialog/ rapat umum, pemasangan alat peraga kampanye di tempat umum dan sebagainya
Pada Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 kampanye berlangsung mulai tanggal 7 Februari 2013 sampai dengan 20 Februari 2013.
3.3.2 Tahapan Masa Tenang

3 (tiga) hari sebelum Pemungutan dan Penghitungan suara merupakan masa tenang, dan seluruh alat peraga kampanye harus dibersihkan serta Pasangan Calon tidak dibenarkan untuk melaksanakan kampanye dalam bentuk apapun. Pada Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013, tanggal 21-23 Februari 2013 merupakan masa tenang.

3.4         Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara Serta Penetapan Hasil

3.4.1 Tahapan Pemungutan Suara

Beberapa hari menjelang Pemungutan dan Penghitungan suara, Logistik Pemilu untuk Pemungutan Suara khususnya di Kecamatan Leuwisari telah didistribusikan oleh Tiap-tiap PPS ke Tiap TPS 1 (satu) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara.  Pendistribusian perlengkapan pemungutan suara di Kecamatan Leuwisari berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak ada kekurangan logistik yang diterima oleh TPS.
Pemungutan dan penghitungan suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh KPUD Provinsi Jawa Barat yaitu tanggal 24 Februari 2013. Pemungutan Suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dimulai pukul 07.00 WIB sampai pukul 12.00 WIB
3.4.2 Tahapan Penghitungan Suara

Penghitungan suara di setiap TPS pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 dilaksanakan mulai pukul 13.00 sampai selesai.
Jumlah TPS di wilayah Kecamatan Leuwisari pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013  berjumlah 61 TPS yang tersebar di 7 (tujuh) desa.Hasil rekapitulasi suara dari TPS dikirim ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk selanjutnya dikirim ke Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) untuk dilakukan rekapitulasi perolehan suara di tingkat kecamatan.
Tabel 3.1 Data Jumlah TPS
NO
DESA
JUMLAH TPS
KET
1
ARJASARI
12

2
CIAWANG
10

3
MANDALAGIRI
9

4
CIGADOG
7

5
JAYAMUKTI
9

6
LINGGAWANGI
7

7
LINGGAMULYA
7

Jumlah
61


3.4.3 Tahapan Penetapan Hasil

Pelaksanaan Rekapitulasi hasil Penghitungan suara di TPS dilaksanakan pada tanggal 24 Februari 2013, dan Rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat PPS dilaksanakan tanggal 25-26 Februari 2013. Adapun pelaksanaan Rekapitulasi hasil Penghitungan suara di PPK dilaksanakan pada  hari Rabu,27 Februari 2013 yang bertempat di Aula Kantor Kecamatan Leuwisari.
.BAB IV
PENGAWASAN TAHAPAN PEMILIHAN
GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR JAWA BARAT
TAHUN 2013

4.1         Tahapan pemutakhiran Data Pemilih
Pada Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 Penyerahan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat kepada KPU Provinsi Jawa Barat dilaksanakan tanggal 27 September 2012. Pemutakhiran DP4 berlangsung selama 1 (satu) bulan yaitu mulai dari tanggal 5 Nopember 2012 sampai dengan 4 Desember 2012.
Tabel 4.1 Daftar DP4 Kecamatan Leuwisari
NO
DESA
DP4
JUMLAH
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
1
ARJASARI
2859
2832
5691
2
CIAWANG
2431
2467
4998
3
MANDALAGIRI
1986
2105
4091
4.
CIGADOG
1663
1644
3307
5.
JAYAMUKTI
2103
2139
4242
6,
LINGGAWANGI
1767
1784
3551
7.
LINGGAMULYA
1896
1509
3405
JUMLAH
14705
14580
29285

Pengawasan Pemutakhiran Data Pemilih dilakukan oleh Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) sesuai wilayah kerjanya masing-masing. Kami (Panwas Kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan) melakukan pengawasan terhadap Pemutakhiran Data Pemilih oleh Petugas Pemutakhiran Daftar Pemilih (PPDP) dengan cara mendampingi Petugas PPDP pada saat melakukan pemutakhiran data pemilih.
Dari hasil pengawasan di lapangan masih ditemukan hal-hal sebagai berikut :
a.         Ditemukan Data Pemilih yang sudah meninggal dunia
b.        Ditemukan Data Pemilih Ganda
c.         Masih terdapat warga masyarakat yang sudah mempunyai hak pilih tapi belum terdaftar.
          Dalam hal ini kami memberikan rekomendasi baik kepada PPK maupun PPS agar Warga Masyarakat yang terlewat untuk segera dapat dimasukan pada Daftar Pemilih.
Pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 jumlah Daftar Pemilih Tetap di wilayah kecamatan Leuwisari adalah 29487 orang.
Tabel 4.2 DPT Kecamatan Leuwisari
NO
DESA
DPT
JUMLAH
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
1.
ARJASARI
2715
          2.702
5417
2.
CIAWANG
2435
2.412
4847
3.
MANDALAGIRI
2103
2.064
4167
4.
CIGADOG
1663
1.644
3307
5.
JAYAMUKTI
2216
2.251
4467
6,
LINGGAWANGI
1776
1.793
3569
7.
LINGGAMULYA
1911
1.802
3713
JUMLAH
14.819
14.668
29.487

4.2         Tahapan Pendaftaran dan Penetapan Calon
4.2.1 Pengawasan Tahapan Pencalonan
Pada Tahap pendaftaran dan penetapan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013, Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 kecamatan Leuwisari selalu aktip melakukan pengawasan pada tahap Pendaftaran dan Penetapan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013, yang berlangsung dari tanggal 29 September 2012 sampai dengan 18 Desember 2012.
4.2.2 Pelaksanaan
Pengawasan pada tahap pendaftaran dan penetapan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 dilakukan yaitu dengan mengawasi pelaksanaan verifikasi administrasi dan faktual yang dilakukan oleh PPS terhadap dukungan calon perseorangan yang dibuktikan dengan dukungan berupa foto copy KTP/kartu identitas lainnya.
4.2.3 Hasil Yang Dicapai
Pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 KPUD Provinsi Jawa Barat menetapkan 5 (lima) pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, yang terdiri dari 4 (empat) pasangan calon yang diusulkan oleh Partai Politik/Gabungan Partai Politik dan 1 (satu) pasangan calon dari calon perseorangan/Independen.
Hasil temuan dilapangan pada saat pelaksanaan verifikasi Administrasi dan Faktual terhadap dukungan calon perseorangan diantaranya sebagai berikut :
·      Ditemukan nama pendukung yang dalam daftar dukungan tercantum tapi tidak dilengkapi dengan identitas pendukung (KTP/Kartu identitas  lainnya).
·        Ditemukan KTP/Identitas pendukung tapi nama tersebut tidak tercantum dalam daftar dukungan.
Tabel 4.3 Daftar Calon Gubernur dan Wakil Gubernur 2013
NOMOR URUT
NAMA PASANGAN CALON
KETERANGAN
1
DIKDIK ARIF MANSUR DAN CECEP N TOYIB
Calon Perseorangan
2
IRIANTO MS SAFFIUDIN DAN TATANG FARHANUL HAKIM
Calon dari Partai Politik
3
DEDE YUSUF DAN LEX LAKSAMANA
Calon dari Partai Politik
4
AHMAD HERYAWAN DAN DEDI MIZWAR
Calon dari Partai Politik
5
RIEKE DIAH PITALOKA DAN TETEN MASDUKI
Calon dari Partai Politik
4.3         Tahapan Kampanye dan Masa Tenang
4.3.1 Program Pengawasan Tahap Kampanye dan Masa Tenang
Pelaksanaan Kampanye pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 dilaksankan selama 14 (empat belas) hari yang berlangsung dari tanggal 7 Februari 2013 sampai dengan 20 Februari 2013. Bersama-sama dengan PPL, Panwaslu kecamatan Leuwisari melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan kampanye yang dilaksanakan di wilayah kecamatan Leuwisari maupun membantu pengawasan kegiatan kampanye yang berada di luar kecamatan Leuwisari. Pelaksanaan  kampanye di wilayah kecamatan Leuwisari secara umum berjalan dengan tertib, aman dan terkendali. Tidak ditemukan kegiatan kampanye yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan hasil pengawasan dilapangan, kegiatan kampanye diwilayah kecamatan Leuwisari pada umumnya dilakukan dengan cara pemasangan alat peraga kampanye (baliho, stiker, spanduk) di tempat umum, ada juga yang melakukannya dalam bentuk rapat terbatas, atau kegiatan sosial.
Sementara itu, pada masa tenang (3 hari sebelum pemungutan suara) yaitu tanggal 21 Februari sampai dengan 23 Februari 2013, berdasarkan hasil pengawasan dilapangan sama sekali tidak ditemukan kegiatan kampanye yang dilakukan oleh pasangan calon maupun oleh Tim Kampanye pasangan calon, hanya saja masih terdapat alat peraga kampanye dari tiap pasangan calon yang masih terpasang.
Pada tahap masa tenang kami bekerjasama dengan Satpol PP Kecamatan Leuwisari menertibkan/membersihkan alat peraga kampanye yang masih terpasang di wilayah kecamatan Leuwisari.



4.3.2 Pelanggaran dan Penyelesaian
Pelaksanaan kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013, di wilayah kecamatan Leuwisari berjalan dengan aman dan tertib, tidak ada temuan maupun laporan pelanggaran kampanye yang serius.
Hanya saja pada masa tenang masih terdapat alat peraga kampanye dari tiap pasangan calon yang masih terpasang, kami bekerjasama dengan Satpol PP Kecamatan Leuwisari menertibkan/membersihkan alat peraga kampanye yang masih terpasang di wilayah kecamatan Leuwisari.

4.4         Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara
4.4.1 Tahapan Rekapitulasi Penghitungan Suara
Pada tahap Rekapitulasi hasil Penghitungan suara, baik di TPS, PPS maupun di PPK kami selalu mengadakan pengawasan yang optimal. Pelaksanaan Rekapitulasi Perolehan suara pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 di tingkat PPS dilaksanakan pada tanggal 25-26 Februari 2013. Sementara pelaksanaan Rekapitulasi perolehan suara di PPK dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 27 Februari 2013 yang bertempat di Aula Kantor Kecamatan Leuwisari. Pada tahap ini tidak ada laporan/Temuan dugaan pelanggaran.
4.4.2 Tahapan Penetapan Calon Terpilih
Pengawasan pada tahap penetapan calon terpilih, Kami Panwaslu tingkat kecamatan tidak memiliki peranan yang terlalu penting, pengawasan hanya dilakukan memantau susana/kondisi yang berada di wilayah kecamatan Leuwisari pasca berlangsungnya Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 tanggal 24 Februari 2013.
.
Gambar.4.1 Kegiatan Rekapitulasi Perolehan Suara di PPK
Pada pelaksanaan kegiatan Rekapitulasi perolehan suara di PPK tersebut dihadiri oleh Muspika kecamatan Leuwisari, Panwas Kecamatan, dan juga saksi dari pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013. Semua saksi yang hadir pada kesempatan tersebut menandatangani Berita Acara Rekapitulasi Hasil Perolehan Suara di tingkat kecamatan.

Gambar.4.2 Penandatanganan Berita Acara oleh Saksi
4.4.3 Program Kegiatan Pengawasan Pemungutan dan Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil
Pada tahap ini, pangawasan difokuskan pada TPS-TPS yang diduga rawan terjadi kecurangan, karena sangat tidak mungkin PPL melakukan pengawasan yang optimal untuk setiap TPS, mengingat jumlah PPL yang sangat terbatas.
4.4.4 Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil
Di wilayah kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya terdapat 7 (tujuh) desa, dimana pada pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 terdapat 61 (enam puluh satu) buah TPS. Mengingat jumlah TPS yang begitu banyak, sementara anggota Panwaslu kecamatandan Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) sangat terbatas maka kami tidak bisa melakukan pengawasan secara optimal.
Pengawasan hanya difokuskan di TPS_TPS yang dimungkinkan terjadinya kecurangan-kecurangan dalam Pemungutan dan Penghitungan Suara.
Pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 di wilayah kecamatan Leuwisari berjalan dengan aman serta ada suasana yang kondusif. Dari hasil pengawasan dilapangan pada saat pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara  di setiap TPS yang kami temukan ternyata kehadiran jumlah pemilih di setiap TPS tidak maksimal (± 55 % s/d 65 %). Hal ini mungkin dikarenakan masyarakat sudak merasa bosan  dengan seringnya kegiatan pemilu, atau mungkin kurangnya kegiatan sosialisasi kepada masyarakat.
4.4.5 Evaluasi Kegiatan Pemungutan dan Penghitungan Suara dan Penetapan
         Hasil
Agar pengawasan Pemungutan dan Penghitungan Suara di tiap-tiap TPS lebih maksimal diharapkan untuk Pemilu yang akan datang ada penambahan jumlah anggota Pengawas Pemilu Lapangan (PPL). Karena dengan kondisi yang ada sekarang ini Kami Panwas sangat kesulitan untuk melakukan pengawasan yang lebih optimal. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan Pemilu yang lebih berkualitas.



BAB V
PELANGGARAN DAN SENGKETA

5.1         Pelanggaran
5.1.1 Pelanggaran pada Tahap Pemutakhiran Data Pemilih
Berdasarkan hasil pengawasan di lapangan, pada tahap penyusunan daftar pemilih di wilayah kecamatan Leuwisari tidak ditemukan pelanggaran administrasi terhadap peraturan perundang-undangan pemilu. Pelaksanaan pemutakhiran data pemilih oleh Petugas PPDP berjalan sesuai aturan yang berlaku.
5.1.2 Pelanggaran pada Tahap Pendaftaran dan Penetapan Calon
Tidak ada laporan maupun temuan pelanggaran pada tahap Pendaftaran dan Penetapan Calon
5.1.3 Pelanggaran pada Tahap Kampanye dan Masa Tenang
Kegiatan kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 di wilayah kecamatan Leuwisari berjalan sesuai dengan tahapan yang ditetapkan KPUD Provinsi Jawa Barat, tidak terjadi kegiatan kampanye yang melanggar perundang-undangan pemilu.
Pada pelaksanaan kampanye di pernah ada laporan dan temuan dugaan pelanggaran kampanye, namun setelah Panwaslukda kecamatan Leuwisari melakukan klarifikasi dan kajian terhadap laporan dan temuan tersebut, maka berdasarkan Pleno Panwaslu kecamatan Leuwisari menyimpulkan bahwa laporan dan temuan tersebut tidak termasuk kepada pelanggaran kampanye, sehingga tidak dapat ditindaklanjuti dengan alasan tidak cukup bukti/tidak memenuhi syarat (baik syarat formal maupun syarat material).



5.1.4 Pelanggaran pada Tahap Pemungutan dan Penghitungan Suara dan
         Penetapan Hasil
Tidak ada laporan maupun temuan pelanggaran pada pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara.
5.2         Sengketa
Tidak ada sengketa yang muncul pada pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 di wilayah kecamatan Leuwisari.






















BAB VI
KESIMPULAN

6.1    Kesimpulan
Secara umum Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun  khususnya di Kecamatan Leuwisari berjalan sesuai dengan tahapan Pemilu mulai dari tahap :
1).     Penyusunan Daftar Pemilih
2).    Pendaftaran dan Penetapan Pasangan calon
3).     Kampanye dan Dana Kampanye
4).     Masa Tenang
5).     Perlengkapan Pemungutan Suara
6).     Pemungutan dan Penghitungan
7).     Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara
Seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun2013 di wilayah kecamatan Leuwisari sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berkat kerjasama serta koordinasi yang baik antara Penyelenggara Pemilu, Panwaslukada, Partai Politik, Tim Sukses serta semua pihak yang terkait, sehingga tetap terjaga suasana yang kondusif serta menghasilkan Pemilihan Umum yang demokratis dan dapat dipertanggungjawabkan.
6.2         Rekomendasi.
FUntuk Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah  yang akan datang diharapkan KPUD maupun PPK dapat melakukan sosialisasi Pemilu yang lebih maksimal, sehingga partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum yang akan datang lebih baik lagi.
FTahapan-tahapan Pemilu yang dijadikan pedoman bagi penyelenggara Pemilu seyogyanya dilaksanakan sesuai dengan jadual dan waktu yang tepat supaya tidak mengganggu tahapan Pemilu yang lainnya.
FPanwaslu Kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan supaya dibentuk sesuai dengan jadual yang sudah ditentukan agarbisa melakukan Pengawasan secara menyeluruh.
FPenegakan hukum terhadap para pelanggar Pemilu harus ditegakkan dengan sebaik-baiknya, supaya Pemilu bisa dikatakan sukses dan berhasil serta berkualitas.