gratis download skripsi
Minggu, 14 Juni 2009
TRAFFICKING DAN PENANGGULANGANNYA MENURUT
HUKUM POSITIF INDONESIA
Lima tahun terakhir ini persoalan hak-hak
asasi manusia (HAM) semakin marak di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan
semakin meningkatnya tuntutan anggota masyarakat baik individual maupun
kolektif terhadap penegakan HAM. Terlepas dari berbagai penilaian yang
seringkali subyektif terhadap gerakan-gerakan tersebut, namun secara
kelembagaan perhatian bangsa Indonesia terhadap HAM mau tidak mau harus
ditingkatkan.
Pergantian kekuasaan dari rejim otoritarian
ke rejim demokrasi pada tahun 1998 telah memberikan angin segar terhadap
penegakan HAM di Indonesia. Pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan
untuk menopang usaha penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.
Tahun 1998 menjadi satu catatan penting
dalam sejarah Indonesia. Pada masa tersebut, gerakan masyarakat yang dimotori
oleh mahasiswa berhasil mendesak presiden Soeharto untuk mundur dari tampuk
kepresidenan. Seiring dengan itu pula, jejak kekerasan yang ditinggalkan oleh
Rejim orde baru kemudian mulai terkuak. Sebagaian besar masyarakat baru
menyadari bahwa selama ini, Indonesia dibangun dengan dasar kekerasan serta
pelanggaran terhadap HAM.
Sejak itu pula, upaya penegakan HAM terus
dilakukan oleh berbagai pihak. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan salah
satu kelompok masyarakat yang terus mengkampanyekan tentang penegakan HAM.
Selain itu, LSM yang fokus pada permasalahan HAM mulai melakukan upaya-upaya
penegakan HAM serta mendesak pemerintah untuk segera melakukan penyelesaian
berbagai kasus palanggaran HAM yang telah terjadi dalam masa orde baru. Dalam
upaya tersebut, LSM menjalin kerja sama global dengan jaringan kerja
internasional untuk mendapatkan dukungan.
Desakan yang begitu kuat dari berbagai
pihak telah membuat pemerintah mau tidak mau memberikan kekuatan lebih kepada
Komnas HAM. Pada tahun 1999, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan landasan yang
kuat tentang keberadaan, tujuan, fungsi, keanggotan, asas, kelengkapan, serta
tugas dan wewenang Komnas HAM.
Guna lebih memberikan landasan hukum pada
penegakan HAM, Pemerintah pada akhirnya telah menerbitkan Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan diterbitkannya kedua peraturan
perudang-undangan di atas, penegakan HAM di Indonesia menjadi lebih jelas
kepastian hukumnya.
Akhir-akhir ini, baik di Indonesia maupun
di negara-negara lain terjadi peningkatan pelanggaran HAM yang dirasakan sangat
serius dan dirasakan sangat mengganggu penegakan HAM. Masalah tersebut adalah
adanya atau kian maraknya kasus perdagangan perempuan dan anak atau yang lebih
dikenal dengan istilah “Trafficking”.
Trafficking adalah segala tindakan yang
mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah
dan antar negara, penindaktanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan
sementara di tempat tujuan, perempuan dan anak.
Adanya Trafficking yang sering terjadi di
dunia ini, khususnya di Indonesia menjadikan penegakan HAM di Indonesia tidak
dapat berjalan dengan maksimal dan optimal, sehingga perlu kiranya pemerintah
Indonesia mengantisipasinya. Mendasarkan uraian tersebut, maka penulis
berkeinginan untuk mengetahui upaya-upaya pemerintah Indonesia dalam penanganan
Trafficking ke dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul “TRAFFICKING DAN
PENANGGULANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA”.
H. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas,
maka dalam penelitian ini permasalahan yang akan di bahas dirumuskan sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan Trafficking menurut
hukum positif yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimanakah penanggulangan Trafficking
menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia?
3. Kendala-kendala apa yang muncul dalam
upaya penanggulangan Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia
?
I. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Trafficking
Trafficking adalah segala tindakan yang
mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah
dan antar negara, penindaktanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan
sementara di tempat tujuan, perempuan dan anak.
Trafficking dilakukan dengan cara ancaman,
penggunaan kekerasan verbal dan fisik, pendulikan, penipuan, tipu muslihat,
memanfaatkan posisi kerentaan, memberikan atau menerima pembayaran atau
keuntungan dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan
eksploitasi seksual atau adopsi ilegal.
Definisi mengenai perdagangan orang
mengalami perkembangan sampai ditetapkannya “Protocol to Prevent, Suppress and
Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the
United Nation Convention Against Transnational Organized Crime” tahun 2000.
Dalam protokol tersebut yang dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah: (a)
... the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of
persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of
abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of
vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve
the consent of a person having control over another person, for the purposes of
exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the
prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or
services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of
organs. (“... rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau
penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau
bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan,
atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian
bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk
ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya,
kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya,
adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh”).
Definisi tersebut di atas diperluas dengan
ketentuan yang berkaitan dengan anak di bawah umur (di bawah 18 tahun), bahwa:
The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of a child for
the purpose of exploitation shall be considered “trafficking in persons” even
if this does not involve any of the means set forth in subparagraph (a).
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa unsur-unsur dari perdagangan orang adalah:
1. Perbuatan: merekrut, mengangkut,
memindahkan, menyembunyikan atau menerima.
2. Sarana (cara) untuk mengendalikan
korban: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan,
penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau
pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan
dari orang yang memegang kendali atas korban.
3. Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk
prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan,
penghambaan, pengambilan organ tubuh.
Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu
diperhatikan adalah unsur tujuan, karena walaupun untuk korban anak-anak tidak
dibatasi masalah penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus untuk
eksploitasi.
2. Penegakan Hukum
Penegakan hukum terdiri dari kata penegakan
dan hukum. Penegakan berasal dari kata penegak yang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia artinya adalah yang mendirikan/ menegakkan. Penegak hukum adalah yang
menegakkan hukum.
Mardjono Reksodipuro mengatakan bahwa dalam
arti sempit penegak hukum hanya berarti polisi dan jaksa. Di Indonesia istilah
ini diperluas sehingga mencakup pula hakim dan pengacara. Jadi penegak hukum
adalah aparat yang melaksanakan atau menjalankan hukum, yaitu polisi, jaksa,
hakim, pengacara termasuk Lembaga Pemasyarakatan.
Pengertian penegakan hukum dalam bahasa
Inggris dikenal dengan istilah law enforcement dan diartikan the act of putting
something such as a law into effect, the execution of a law, (penegakan hukum
adalah suatu tindakan terhadap sesuatu/kejadian sesuai dengan hukum yang
berlaku).
Menurut Mantan Jaksa Agung, Hari Suharto,
dalam makalahnya yang disampaikan dalam seminar “Menata Materi Undang-Undang
Kepolisian” tanggal 10 - 11 Desember 1984 di PTIK Jakarta, bahwa penegakan
hukum adalah:
“suatu rangkaian kegiatan dalam rangka
usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku baik yang bersifat
penindakan maupun penegakan mencakup keseluruhan kegiatan baik teknis maupun
administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, sehingga dapat
melahirkan suasana aman, damai dan tertib demi untuk pemantapan kepastian hukum
dalam masyarakat”.
Sudarto mengatakan bahwa dalam arti luas,
hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa
yang diharuskan ataupun yang dibolehkan dan sebaliknya. Dengan demikian menarik
garis antara apa yang sesuai hukum dan apa yang melawan hukum. Hukum dapat
mengkualifikasikan sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum atau
mendiskualifikasikannya sebagai melawan hukum. Perbuatan yang sesuai dengan
hukum tidak merupakan masalah dan tidak perlu dipersoalkan; yang menjadi
masalah ialah perbuatan yang melawan hukum. Bahkan yang diperhatikan dan
digarap oleh hukum ialah justru perbuatan yang disebut terakhir ini, baik
perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun
perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie).
Perhatian dan penggarapan perbuatan itulah yang merupakan penegakan hukum.
Kalau tata hukum dilihat secara skematis,
maka dapat dibedakan adanya tiga sistem penegakan hukum, yaitu sistem penegakan
hukum perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem penegakan hukum
administrasi. Sejalan dengan itu terdapat berturut-turut sistem sanksi hukum
perdata, sistem sanksi hukum pidana dan sistem sanksi hukum administrasi (tata
usaha negara).
Ketiga sistem penegakan hukum tersebut
masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau
biasa disebut aparatur (alat) penegak hukum, yang mempunyai aturan
sendiri-sendiri.
Selanjutnya dikatakan bahwa dilihat secara
fungsional, maka sistem penegakan hukum itu merupakan suatu sistem aksi. Ada
sekian banyak aktivitas yang dilakukan oleh alat perlengkapan negara dalam
penegakan hukum. Yang dimaksud dengan “alat penegak hukum” itu biasanya
hanyalah kepolisian, setidak-tidaknya badan-badan yang mempunyai wewenang
kepolisian atau kejaksaan. Akan tetapi kalau penegakan hukum itu diartikan
secara luas, seperti yang dikemukakan di atas, maka penegakan hukum itu menjadi
tugas pula dari pembentuk undang-undang, hakim, instansi pemerintahan, aparat
eksekusi pidana. Penegakan hukum di bidang pidana ini didukung oleh alat
perlengkapan dan peraturan yang relatif lebih lengkap dari penegakan hukum di
bidang-bidang lainnya. Aparatur yang dimaksud disini ialah kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan aparat eksekusi pidana, sedang peraturan-peraturan
yang dikatakan lebih lengkap ialah antara lain ketentuan-ketentuan hukum acara
pidana, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang tentang Kepolisian,
Undang-Undang tentang Kejaksaan dan lain sebagainya.
Memang aturan-aturan dalam hukum acara
pidana memberi petunjuk apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan
fihak-fihak atau orang-orang yang terlibat di dalamnya, apabila terjadi atau
ada persangkaan terjadi perbuatan yang melawan hukum atau apa yang disebut
kejahatan dalam arti yang luas. Hukum acara seperti hakekat hukum pada umumnya,
bersifat normatif, jadi mengandung sesuatu yang seharusnya membicarakan masalah
penegakan, di sini tidak membicarakan masalah hukumnya, melainkan apa yang
dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam menghadapi masalah-masalah dalam
penegakan hukum.
Tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan
merupakan tujuan hukum pada umumnya. Begitu pula dalam hukum pidana, untuk
menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan diperlukan perangkat
perundang-undangan yaitu hukum acara pidana. Tegaknya hukum, kebenaran dan
keadilan sudah merupakan tuntutan manusiawi yang bersifat universal, setiap
orang kapanpun dan dimanapun selalu menginginkan ditegakkannya hukum, kebenaran
dan keadilan tersebut.
Sehubungan dengan penegakan hukum pidana di
atas, Harun M Husein mengatakan :
“Hukum acara pidana berfungsi mengatur
bagaimana tata cara yang harus ditempuh agar hukum pidana dapat ditegakkan,
penegakan hukum pidana itu dilakukan dengan berusaha untuk mencari dan
mendapatkan kebenaran material (kebenaran yang selengkap-lengkapnya) dan di
atas kebenaran material yang didapatkan oleh hukum acara pidana itu
ditegakkanlah kebenaran keadilan dan kepastian hukum”.
Selanjutnya, mengenai fungsi dari hukum
acara pidana dalam penegakan hukum pidana, A. Soetomo berpendapat :
“Hukum acara pidana memuat
ketentuan-ketentuan yang mengatur mekanisme proses sejak terjadinya tindak
pidana, yang selanjutnya diketahui sendiri oleh aparatur negara c.q. penyidik
ataupun dilaporkan atau diadukan kepada penyidik, baik oleh yang terkena
kejadian itu sendiri ataupun oleh orang lain, sampai selanjutnya diambil
langkah-langkah oleh penyidik, lalu hasilnya diserahkan kepada penuntut umum,
kemudian disidangkan di pengadilan negeri, sehinga mendapat putusan”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik
kejelasan bahwa tahap-tahap penegakan hukum pidana sebagaimana diatur dalam
hukum acara pidana, yaitu sebagai berikut :
a. Penyidikan (Opsporing)
Penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Tindakan ini dimaksudkan
untuk mengumpulkan bukti dengan harapan bukti itu dapat membuat terang suatu
tindak pidana yang terjadi dan menjadi titik tolak dalam usaha menemukan
tersangka (Pasal 1 Ayat (2) KUHAP). Jadi penyidik perkara pidana, seperti pencurian,
penipuan, pembunuhan dan sebagainya. Terang dalam arti bahwa unsur-unsur yang
diperlukan untuk menuntut peristiwa di muka hakim menjadi lengkap. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 6 KUHAP, penyidik adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia dan atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang.
b. Penuntutan (Vervolging)
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum
untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di pengadilan (Pasal 1 Ayat (7) KUHAP).
Penuntutan perkara pidana adalah tugas yang dilakukan oleh Kejaksaan (Pasal 137
KUHAP).
c. Peradilan (Rechspraak)
Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim
untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,
jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 Ayat (9) KUHAP). Jadi menjalankan pengadilan
perkara adalah tugas pengadilan negeri (Pasal 84 KUHAP).
d. Pelaksanaan Putusan (Executie)
Melaksanakan putusan hakim adalah
menyelenggarakan supaya segala sesuatu yang tercantum dalam putusan hakim itu
dapat segera dilaksanakan, misalnya apabila putusan itu berisi pembebasan
terdakwa, maka terdakwa harus segera dikeluarkan dari tahanan. Apabila berisi
penjatuhan pidana denda, maka denda itu juga harus segera dibayar. Demikian
pula apabila putusan merupakan penjatuhan pidana penjara, maka terpidana menjalani
pidananya dalam lembaga pemasyakatan, dan sebagainya. Pelaksanaan putusan hakim
disebut pula dengan istilah eksekusi yang merupakan tugas dari Kejaksaan (Pasal
270 KUHAP).
Dilihat sebagai suatu proses kebijakan,
penegakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui
beberapa tahap, yaitu:
a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan
hukum in absrtacto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula
disebut tahap kebijakan legislatif.
b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan
hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai
pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan
hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini
dapat pula disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.
Ketiga tahap tersebut, dilihat sebagai
usaha atau proses nasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan
tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang
merupakan perwujudan dari kebijakan nasional. Jadi tegasnya kebijakan
pembangunan harus diusahakan terwujud pada ketiga tahap kebijakan penegakan
hukum tersebut di atas. Inilah makna dan konsekuensi dari pernyataan bahwa
penegakan hukum pidana merupakan bagian integral dari kebijakan sosial seperti
diuraikan di muka. Jadi tersimpul di dalamnya pengertian social engineering by
cryminal law.
Konsekuensi demikian jelas menuntut
kemampuan yang lebih atau kemampuan plus dari setiap aparat penegak hukum
pidana, yaitu tidak hanya kemampuan di bidang yuridis, tetapi juga kesadaran,
pengetahuan dan kemampuan yang memadai di bidang kebijakan pembangunan yang
menyeluruh. Tanpa kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang memadai di bidang
pembangunan, sulit diharapkan berhasilnya pembangunan masyarakat dengan hukum
pidana. Di samping itu, karena pembangunan mengandung berbagai dimensi
(multidimensi), maka juga diperlukan berbagai pengetahuan (multidisiplin).
Agar supaya penegakan hukum pidana dapat
menunjang program-program pembangunan, maka patut diperhatikan Guiding
Principle yang dikemukakan Konggres PBB ke-7, bahwa perlu dilakukan studi dan
penelitian mengenai hubungan timbal balik antara kejahatan dan beberapa aspek
tertentu dari pembangunan. Ditegaskan dalam Guiding principle tersebut, bahwa
studi itu sejauh mungkin dilakukan dari perspektif interdisipliner dan
ditujukan untuk perumusan kebijaksanaan dan tindakan praktis. Studi demikian
dimaksudkan untuk meningkatkan sifat responsif dari kebijakan pencegahan
kejahatan dan peralihan pidana dalam rangka merubah kondisi-kondisi sosial
ekonomi, kultural dan politik.
Dengan demikian pengetahuan yang memadai
dari para penegak hukum mengenai beberapa aspek dari pembangunan dan hubungan
timbal baliknya dengan kejahatan, tidak hanya penting dalam merumuskan
kebijakan penegakan hukum pidana pada tahap formulasi, tetapi juga pada tahap
aplikasi yang lebih bersifat operasional.
Dalam hubungannya dengan tahap aplikasi ini
sangat diharapkan perhatian para penegak hukum terhadap Guiding principle dan
Konggres PBB ke-7 yang menyatakan bahwa, kebijakan pencegahan kejahatan dan
peradilan pidana harus memperhitungkan sebab-sebab sosial ekonomis (policies
for crime prevention and criminal justice should take into account the stryctural
including socio-economic causes of in justice). Ini berarti, pengetahuan dari
penegak hukum mengenai sebab-sebab ketidak adilan atau ketimpangan termasuk
sebab-sebab terjadinya kejahatan yang bersifat struktural sebagai dampak dari
kebijakan pembangunan, dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor untuk
menyatakan suatu perbuatan secara materiil tidak melawan hukum atau sebagai
satu alasan untuk memperingan pemidanaan.
J. TUJUAN PENELITIAN
Dengan mendasarkan pada perumusan masalah
tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan Trafficking
menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.
2. Untuk mengetahui penanggulangan
Trafficking menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.
3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang
muncul dalam upaya penanggulangan Trafficking menurut hukum positif yang
berlaku di Indonesia.
K. KEGUNAAN PENELITIAN
Dalam penelitian ini kegunaan yang
diharapkan adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan ke arah pengembangan atau kemajuan di bidang ilmu hukum
pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya.
2. Kegunaan Praktis.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat
memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dalam penegakan
hukum pidana khususnya dalam hal penanggulangan Trafficking di Indonesia.
L. METODE PENELITIAN
Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini
yaitu menggunakan metode sebagai berikut :
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Menurut Ronny Hanitijo
Soemitro, yuridis normatif artinya adalah suatu penelitian yang menekankan pada
ilmu hukum, tetapi di samping itu juga berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum
yang berlaku di dalam masyarakat.
2. Spesifikasi Penelitian.
Spesifikasi penelitian yang dipergunakan
adalah deskriptif analisis. Hal ini bertujuan untuk membuat suatu gambaran
tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu dekskriptif/situasi. Dalam
penelitian ini akan diuraikan atau digambarkan mengenai penanggulangan
Trafficking di Indonesia.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat maka
diperlukan data data sekunder yang teridir dari bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder ;
Bahan hukum Primer
a) Berbagai peraturan perundang-undangan
yang menyangkut Hukum Pidana dan Trafficking.
b) Berbagai peraturan perundang-undangan
yang menyangkut penanggulangan Trafficking.
Bahan hukum Sekunder, yang terdiri dari :
a) Buku-buku yang berkaitan dengan judul
skripsi.
b) Karangan ilmiah atau pendapat para ahli
yang berkaitan dengan judul skripsi.
4. Metode Pengolahan dan Penyajian Data
Data yang telah terkumpul melalui kegiatan
pengumpulan data belum memberikan arti apa-apa bagi tujuan penelitian.
Penelitian belum dapat ditarik kesimpulan bagi tujuan penelitiannya sebab data
itu masih merupakan bahan mentah, sehingga diperlukan usaha untuk mengolahnya.
Proses yang dilakukan adalah dengan
memeriksa, meneliti data yang diperoleh untuk menjamin apakah data dapat
dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan. Setelah data diolah dan dirasa
cukup maka selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian-uraian dan dimungkinkan
juga dalam bentuk tabel.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah
analisis kualitatif, yaitu setelah memperoleh data lengkap, maka selanjutnya
diperiksa kembali data yang telah diterima terutama mengenai konsistensi
jawaban dari keragaman data yang diterima. Dari data tersebut selanjutnya
dilakukan analisis mengenai faktor pendorong maupun penyebab dari timbulnya
masalah yang ada.
Diposkan oleh skripsi hukum di 00.42 Tidak
ada komentar: Link ke posting ini
PELANGGARAN PEMILU 2009 DAN MEKANISME
PENYELESAIANNYA
PELANGGARAN PEMILU 2009
DAN
MEKANISME PENYELESAIANNYA
A. Ancaman Pelanggaran Terhadap Proses
Demokratisasi
Secara umum demokrasi diartikan sebagai
pemerintahan yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Salah satu
prinsip demokrasi yang penting adalah adanya Pemilu yang bebas sebagai perwujudan
nyata kedaulatan rakyat atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kenyataan menunjukkan bahwa membumikan ide yang mulia tersebut tidaklah semudah
mengucapkannya. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pemilu
benar-benar menghasilkan pemerintahan yang demokratis secara substantif dan
bukan sekedar prosesi ritual. Prasyarat tersebut antara lain adalah :
tersedianya aturan main yang jelas dan adil bagi semua peserta, adanya
penyelenggara yang independen dan tidak diskriminatif, pelaksanaan aturan yang
konsisten, dan adanya sanksi yang adil kepada semua pihak.
Tahapan penyelenggaraan pemilu 2009 telah
diawali dengan permasalahan hukum seperti penyerahan data kependudukan atau
Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) oleh Pemerintah kepada KPU yang
tidak lengkap dan proses pembentukan struktur KPU di daerah yang tidak sesuai
jadwal, keterlambatan pembuatan beberapa aturan, kesalahan pengumuman DCT dan
pengumuman DPT yang belum final. Selain itu, sengketa mengenai hasil perolehan
suara dalam Pilkada Maluku Utara telah menyeret KPU ke dalam sengketa
kewenangan. KPU bersengketa dengan KPU Propinsi Malut dan berlanjut dengan
Pemerintah – dalam hal ini Departemen Dalam Negeri. Beberapa pelanggaran
tersebut muncul karena peraturan perundang-undangan yang ada masih belum
lengkap, multi tafsir, bahkan ada yang tidak sinkron. Adanya persoalan
menyangkut aturan ini berkibat pada penanganan pelanggaran yang inkonsisten
atau justru mendorong pembiaran atas pelanggaran karena peraturan yang ada
tidak cukup menjangkau.
Demi untuk mewujudkan penyelenggaraan
pemilu yang berkualitas dan memiliki integritas tinggi maka perlu dilakukan
penyempurnaan terhadap aturan yang telah ada melalui penambahan aturan,
penegasan maksud dan sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan yang ada
salah satu diantaranya adalah melalui pembuatan instrumen-instrumen komplain
atas terjadinya pelanggaran pemilu yang lengkap, mudah diakses, terbuka, dan
adil. Lebih penting lagi adalah memastikan bahwa aturan main yang ditetapkan
tersebut dijalankan secara konsisten.
Tersedianya aturan yang konkrit dan
implementatif penting untuk menjamin kepastian dan keadilan hukum sehingga
pemilu memiliki landasan legalitas dan legitimasi yang kuat sehingga
pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilu tetap mendapatkan dukungan
masyarakat luas. Untuk itu maka segala pelanggaran yang terjadi dalam proses
pelaksanaan pemilu harus diselesaikan secara adil, terbuka dan konsisten.
B. Pelanggaran Pemilu 2009
Terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan
pemilu 2009 sudah tidak terhindarkan. Pelanggaran dapat terjadi karena adanya
unsur kesengajaan maupun karena kelalaian. Pelanggaran pemilu dapat dilakukan
oleh banyak pihak bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi untuk
menjadi pelaku pelanggaran pemilu. Sebagai upaya antisipasi, UU 10 Tahun 2008
tentang Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) mengaturnya pada
setiap tahapan dalam bentuk kewajiban, dan larangan dengan tambahan ancaman
atau sanksi.
Potensi pelaku pelanggaran pemilu dalam UU
pemilu antara lain :
1. Penyelenggara Pemilu yang meliputi
anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu
Propinsi, Panwaslu Kabupaten Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan
petugas pelaksana lapangan lainnya;
2. Peserta pemilu yaitu pengurus partai
politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD, tim kampanye;
3. Pejabat tertentu seperti PNS, anggota
TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia,
Perangkat Desa, dan badan lain lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara;
4. Profesi Media cetak/elektronik,
pelaksana pengadaan barang, distributor;
5. Pemantau dalam negeri maupun asing;
6. Masyarakat Pemilih, pelaksana
survey/hitungan cepat, dan umum yang disebut sebagai “setiap orang”.
Meski banyak sekali bentuk pelanggaran yang
dapat terjadi dalam pemilu, tetapi secara garis besar UU Pemilu membaginya
berdasarkan kategori jenis pelanggaran pemilu menjadi: (1) pelanggaran
administrasi pemilu; (2) pelanggaran pidana pemilu; dan (3) perselisihan hasil
pemilu.
1. Pelanggaran Administrasi
Pasal 248 UU Pemilu mendefinisikan
perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran administrasi adalah pelanggaran
terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu
dan ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua
jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana,
termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi.
Contoh pelanggaran administratif tersebut
misalnya ; tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu,
menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk
berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye, pemantau pemilu
melanggar kewajiban dan larangan.
2. Tindak Pidana Pemilu
Pasal 252 UU Pemilu mengatur tentang tindak
pidana pemilu sebagai pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana.
Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dalam UU Pemilu diancam dengan sanksi
pidana. Sebagai contoh tindak pidana pemilu antara lain adalah sengaja
menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara
dan merubah hasil suara. Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses
penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada
yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
3. Perselisihan Hasil Pemilu
Yang dimaksud dengan perselisihan hasil
pemilu menurut pasal 258 UU Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta
pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional.
Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan
penghitungan perolehan hasil suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi
peserta pemilu.
Sesuai dengan amanat Konstitusi yang
dijabarkan dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka
perselisihan mengenai hasil perolehan suara diselesaikan melalui peradilan
konstitusi di MK.
Satu jenis pelanggaran yang menurut UU No.
22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu (UU KPU) menjadi salah satu
kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menyelesaikannya adalah pelanggaran
pemilu yang bersifat sengketa. Sengketa adalah perbenturan dua kepentingan,
kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban
hukum (konflik) yang dalam konteks pemilu dapat terjadi antara peserta dengan
penyelenggara maupun antara peserta dengan peserta. Pada pemilu 2004, tata cara
penyelesaian terhadap jenis pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri
(pasal 129 UU 12/2003). Terhadap sengketa pemilu ini yaitu perselisihan pemilu
selain yang menyangkut perolehan hasil suara, UU 10/2008 tidak mengatur
mekanisme penyelesaiannya.
Sengketa juga dapat terjadi antara KPU
dengan peserta pemilu atau pihak lain yang timbul akibat dikeluarkannya suatu
Peraturan dan Keputusan KPU. Kebijakan tersebut, karena menyangkut banyak
pihak, dapat dinilai merugikan kepentingan pihak lain seperti peserta pemilu
(parpol dan perorangan), media/pers, lembaga pemantau, pemilih maupun
masyarakat. Berbeda dengan UU 12/2003, yang menegaskan bahwa Keputusan KPU
bersifat final dan mengikat, dalam UU KPU dan UU Pemilu tidak ada ketentuan
yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Dengan
demikian maka Keputusan KPU yang dianggap merugikan terbuka kemungkinan untuk
dirubah. Persoalannya, UU Pemilu juga tidak memberikan “ruang khusus” untuk
menyelesaikan ketidakpuasan tersebut.
Contoh kasus yang telah nyata ada adalah 1)
sengketa antara calon peserta pemilu dengan KPU menyangkut Keputusan KPU
tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Keputusan KPU tersebut
dianggap merugikan salah satu atau beberapa calon peserta pemilu. 2) sengketa
antara partai politik peserta pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai
pendaftaran calon legislatif. Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap
tidak sesuai dengan atau tanpa seijin yang bersangkutan.
C. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran
Meski jenis pelanggaran bermacam-macam,
tetapi tata cara penyelesaian yang diatur dalam UU hanya mengenai pelanggaran pidana.
Pelanggaran administrasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan KPU dan selisih
hasil perolehan suara telah diatur dalam UU MK.
ALUR PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU
BATAS WAKTU PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU
1. Mekanisme Pelaporan
Penyelesaian pelanggaran pemilu diatur
dalam UU Pemilu BAB XX. Secara umum, pelanggaran diselesaikan melalui Bawaslu
dan Panwaslu sesuai dengan tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki
kewenangan melakukan pengawasan terhadap setiap tahapan pelaksanaan pemilu.
Dalam proses pengawasan tersebut, Bawaslu dapat menerima laporan, melakukan
kajian atas laporan dan temuan adanya dugaan pelanggaran, dan meneruskan temuan
dan laporan dimaksud kepada institusi yang berwenang.
Selain berdasarkan temuan Bawaslu, pelanggaran
dapat dilaporkan oleh anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih, pemantau
pemilu dan peserta pemilu kepada Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu
Kabupaten/Kota paling lambat 3 hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu.
Bawaslu memiliki waktu selama 3 hari untuk melakukan kajian atas laporan atau
temuan terjadinya pelanggaran.
Apabila Bawaslu menganggap laporan belum
cukup lengkap dan memerlukan informasi tambahan, maka Bawaslu dapat meminta
keterangan kepada pelapor dengan perpanjangan waktu selama 5 hari.
Berdasarkan kajian tersebut, Bawaslu dapat
mengambil kesimpulan apakah temuan dan laporan merupakan tindak pelanggaran
pemilu atau bukan. Dalam hal laporan atau temuan tersebut dianggap sebagai
pelanggaran, maka Bawaslu membedakannya menjadi 1) pelanggaran pemilu yang
bersifat administratif dan 2) pelanggaran yang mengandung unsur pidana. Bawaslu
meneruskan hasil kajian tersebut kepada instansi yang berwenang untuk
diselesaikan.
Aturan mengenai tata cara pelaporan
pelanggaran pemilu diatur dalam ketentuan pasal 247 UU 10/2008 yang diperkuat
dalam Peraturan Bawaslu No.05 /2008.
PENANGANAN LAPORAN DI BAWASLU
2. Mekanisme penyelesaian pelanggaran
administrasi
Pelanggaran pemilu yang bersifat
administrasi menjadi kewenangan KPU untuk menyelesaikannya. UU membatasi waktu
bagi KPU untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi tersebut dalam waktu 7
hari sejak diterimanya dugaan laporan pelanggaran dari Bawaslu. Sesuai dengan
sifatnya, maka sanksi terhadap pelanggaran administrasi hendaknya berupa sanksi
administrasi. Sanksi tersebut dapat berbentuk teguran, pembatalan kegiatan,
penonaktifan dan pemberhentian bagi pelaksana pemilu. Aturan lebih lanjut
tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi dibuat dalam peraturan
KPU. Peraturan KPU mengenai hal tersebut sampai saat ini belum ada.
Meski kewenangan menyelesaikan pelanggaran
administrasi menjadi domain KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Pemilu pasal 248-251, tetapi UU Pemilu
juga memberikan tugas dan wewenang kepada Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu
Propinsi dan Bawaslu untuk menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran
terhadap ketentuan kampanye yang tidak mengandung unsur pidana (lihat UU
10/2008 pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2).
Terhadap pelanggaran yang menyangkut
masalah perilaku yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu seperti anggota KPU,
KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan jajaran sekretariatnya, maka Peraturan
KPU tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diberlakukan. Hal yang sama
juga berlaku bagi anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota,
dan jajaran sekretariatnya, yang terikat dengan Kode Etik Pengawas Pemilu.
PENANGANAN PELANGGARAN ADMINISTRASI PEMILU
3. Mekanisme penyelesaian pelanggaran
pidana pemilu
3.1 Proses Penyidikan
Sebenarnya penanganan tindak pidana pemilu
tidak berbeda dengan penanganan tindak pidana pada umumnya yaitu melalui
kepolisian kepada kejaksaan dan bermuara di pengadilan. Secara umum perbuatan
tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu juga terdapat dalam KUHP. Tata cara
penyelesaian juga mengacu kepada KUHAP. Dengan asas lex specialist derogat lex
generali maka aturan dalam UU Pemilu lebih utama. Apabila terdapat aturan yang
sama maka ketentuan yang diatur KUHP dan KUHAP menjadi tidak berlaku.
Mengacu kepada pasal 247 angka (9) UU
Pemilu, temuan dan laporan tentang dugaan pelanggaran pemilu yang mengandung
unsur pidana, setelah dilakukan kajian dan didukung dengan data permulaan yang
cukup, diteruskan oleh Bawaslu kepada penyidik Kepolisian. Proses penyidikan
dilakukan oleh penyidik polri dalam jangka waktu selama-lamanya 14 hari
terhitung sejak diterimanya laporan dari Bawaslu. Kepolisian mengartikan 14
hari tersebut termasuk hari libur. Hal ini mengacu kepada KUHAP yang
mengartikan hari adalah 1 x 24 jam dan 1 bulan adalah 30 hari. Guna mengatasi
kendala waktu dan kesulitan penanganan pada hari libur, pihak kepolisian telah
membentuk tim kerja yang akan menangani tindak pidana pemilu. Setiap tim
beranggotakan antara 4-5 orang.
TIM PENYIDIK TINDAK PIDANA PEMILU POLRI
BARESKRIM 7 TIM (4 Dalalm Negeri + 3 Luar
Negeri)
POLDA 5 TIM
POLWIL 3 TIM
POLRES 10 TIM
Dengan adanya tim kerja tersebut maka
penyidikan akan dilakukan bersama-sama. Setelah menerima laporan pelanggaran
dari Bawaslu, penyidik segera melakukan penelitian terhadap 1) kelengkapan
administrasi laporan yang meliputi : keabsahan laporan (format, stempel,
tanggal, penomoran, penanda tangan, cap/stempel), kompetensi Bawaslu terhadap
jenis pelanggaran, dan kejelasan penulisan; dan 2) materi/laporan yang natara
lain : kejelasan indentitas (nama dan alamat) pelapor, saksi dan tersangka,
tempat kejadian perkara, uraian kejadian/pelanggaran, waktu laporan.
Berdasarkan indentitas tersebut, penyidik
melakukan pemanggilan terhadap saksi dalam waktu 3 hari dengan kemungkinan
untuk memeriksa saksi sebelum 3 hari tersebut yang dapat dilakukan di tempat
tinggal saksi. 14 hari sejak diterimanya lapaoran dari Bawaslu, pihak penyidik
harus menyampaikan hasil penyidikan beserta berkas perkara kepada penuntut umum
(PU).
WAKTU PENYIDIKAN
3.2 Proses Penuntutan
UU Pemilu tidak mengatur secara khusus
tentang penuntut umum dalam penanganan pidana pemilu. Melalui Surat Keputusan
(September 2008) Jaksa Agung telah menunjuk jaksa khusus pemilu di seluruh
Indonesia (31 Kejaksaan Tinggi, 272 kejaksaan Negeri, dan 91 Cabang Kejaksaan
Negeri). Masing-masing Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri ditugaskan
2 orang jaksa khusus untuk menangani pidana pemilu tanpa menangani kasus lain
di luar pidana pemilu. Di tingkat Kejaksaan Agung ditugaskan 12 orang jaksa
yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) untuk menangani perkara
pemilu di pusat dan Luar Negeri. Penugasan ini dituangkan dalam Keputusan Jaksa
Agung No. 125/2008.
Jika hasil penyidikan dianggap belum
lengkap, maka dalam waktu paling lama 3 hari penuntut umum mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik kepolisian disertai dengan petunjuk untuk melengkapi
berkas bersangkutan. Perbaikan berkas oleh penyidik maksimal 3 hari untuk
kemudian dikembalikan kepada PU.
Maksimal 5 hari sejak berkas diterima, PU
melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. Karena sejak awal penanganan
kasus di kepolisian pihak kejaksaan sudah dilibatkan untuk mengawal proses
penyidikan maka duduk perkara sudah dapat diketahui sejak Bawaslu melimpahkan
perkara ke penyidik. Dengan demikian maka PU dapat mempersiapkan rencana awal
penuntutan/matrik yang memuat unsur-unsur tindak pidana dan fakta-fakta
perbuatan. Pada saat tersangka dan barang bukti dikirim/diterima dari
kepolisian maka surat dakwaan sudah dapat disusun pada hari itu juga. Karena
itu masalah limitasi waktu tidak menjadi kendala.
Untuk memudahkan proses pemeriksaan
terhadap adanya dugaan pelanggaran pidana pemilu, Bawaslu, Kepolisian dan
Kejaksaan telah membuat kesepahaman bersama dan telah membentuk sentra
penegakan hukum terpadu (Gakumdu). Adanya Gakumdu memungkinkan pemeriksaan
perkara pendahuluan melalui gelar perkara.
3.3 Proses Persidangan
Tindak lanjut dari penanganan dugaan
pelanggaran pidana pemilu oleh Kejaksaan adalah pengadilan dalam yuridiksi
peradilan umum. Mengingat bahwa pemilu berjalan cepat, maka proses penanganan
pelanggaran menggunakan proses perkara yang cepat (speed tryal). Hakim dalam
memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana pemilu menggunakan KUHAP
sebagai pedoman beracara kecuali yang diatur secara berbeda dalam UU Pemilu.
Perbedaan tersebut terutama menyangkut masalah waktu yang lebih singkat dan
upaya hukum yang hanya sampai banding di Pengadilan Tinggi.
7 hari sejak berkas perkara diterima
Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana pemilu.
Batasan waktu ini akan berimbas kepada beberapa prosedur yang harus dilalui
seperti pemanggilan saksi dan pemeriksaan khususnya di daerah yang secara
geografis banyak kendala. Untuk itu maka UU memerintahkan agar penanganan
pidana pemilu di pengadilan ditangani oleh hakim khusus yang diatur lebih
lanjut melalui Peraturan MA. PERMA No. 03/2008 menegaskan bahwa Hakim khusus
sebagaimana dimaksud berjumlah antara 3 – 5 orang hakim dengan kriteria telah
bekerja selama 3 tahun. MA juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. 07/A/2008
yang memerintahkan kepada Pengadilan Tinggi untuk segera mempersiapkan/menunjuk
hakim khusus yang menangani tindak pidana pemilu.
Dalam hal terjadi penolakan terhadap
putusan PN tersebut, para pihak memiliki kesempatan untuk melakukan banding ke
Pengadilan Tinggi. Permohonan banding terhadap putusan tersebut diajukan paling
lama 3 hari setelah putusan dibacakan. PN melimpahkan berkas perkara permohonan
banding kepada PT paling lama 3 hari sejak permohonan banding diterima.
PT memiliki kesempatan untuk memeriksa dan
memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud paling lama 7 hari setelah
permohonan banding diterima. Putusan banding tersebut merupakan putusan yang
bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum lain.
3.4 Proses Pelaksanaan Putusan
3 hari setelah putusan pengadilan
dibacakan, PN/PT harus telah menyampaikan putusan tersebut kepada PU. Putusan
sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan paling lambat 3 hari setelah putusan
diterima jaksa.
Jika perkara pelanggaran pidana pemilu
menurut UU Pemilu dipandang dapat mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu
maka putusan pengadilan atas perkara tersebut harus sudah selesai paling lama 5
hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional. Khusus terhadap
putusan yang berpengaruh terhadap perolehan suara ini, KPU, KPU Propinsi dan
KPU Kabupaten/Kota dan peserta harus sudah menerima salinan putusan pengadilan
pada hari putusan dibacakan. KPU berkewajiban untuk menindaklanjuti putusan
sebagaimana dimaksud.
Demikian pengecualian hukum beracara untuk
menyelesaikan tindak pidana pemilu menurut UU 10/2008 yang diatur berbeda
dengan KUHAP. Sesuai dengan sifatnya yang cepat, maka proses penyelesaian
pelanggaran pidana pemilu paling lama 53 hari sejak terjadinya pelanggaran
sampai dengan pelaksanaan putusan oleh jaksa. Pengaturan ini jauh lebih cepat
jika dibandingkan dengan UU 12/2003 yang memakan waktu 121 hari.
PROSES PENUNTUTAN & PERSIDANGAN
4. Perselisihan Hasil Perolehan Suara
Sesuai dengan Konstitusi yang dijabarkan
dalam ketentuan UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, perselisahan tentang
hasil perolehan suara pemilu diselesaikan melalui MK. Tata cara penyelesaian
perselisihan perolehan hasil suara pemilu 2009 telah diatur dalam PMK No.
14/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR,
DPD, dan DPRD.
Permohonan diajukan oleh peserta pemilu
paling lambat 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil
pemilu secara nasional. Pengajuan permohonan disertai dengan alat bukti
pendukung seperti sertifikat hasil penghitungan suara, sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan setiap jenjang, berita acara penghitungan beserta berkas
pernyataan keberatan peserta, serta dokumen tertulis lainnya.
Apabila kelengkapan dan syarat permohonan
dianggap tidak cukup, panitera MK memberitahukan kepada pemohon untuk
diperbaiki dalam tenggat 1 x 24 jam. Apabila dalam waktu tersebut perbaikan
kelengkapan dan syarat tidak dilakukan, maka permohonan tidak dapat
diregistrasi.
3 hari kerja sejak permohonan tercatat
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi panitera mengirimkan permohonan kepada
KPU. Dalam permohonan tersebut disertakan juga permintaan keterangan tertulis
KPU yang dilengkapi dengan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang
diperselisihkan. Keterangan tertulis tersebut haraus sudah diterima MK paling
lambat 1 hari sebelum hari persidangan.
Mahkamah menetapkan hari sidang pertama
dala mwaktu 7 hari kerja sejak permohonan diregistrasi. Penetapan hari sidang
pertama diberitahukan kepada pemohon dan KPU paling lambat 3 hari sebelum hari
persidangan.
Pemeriksaan permohonan dibagi menjadi : 1)
pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi
permohonan. Panel Hakim yang terdiri atas 3 orang hakim konstitusi wajib
memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan
apabila terdapat kekurangan paling lambat 1 x 24 jam. 2) pemeriksaan
persidangan yang dilakukan untuk memeriksa kewenangan MK, kedudukan pemohon,
pokok permohonan, keterangan KPU dan alat bukti oleh Panel Hakim dan/atau Pleno
Hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Putusan MK dijatuhkan paling lambat 30 hari
kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi.
Putusan MK bersifat final dan selanjtunya disampaikan kepada pemohon, KPU dan
Presiden serta dapat disampaikan kepada pihak terkait. KPU, KPU Propinsi dan
KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti Putusan tersebut.
D. Beberapa Permasalahan
a) Waktu Terjadinya Pelanggaran. Laporan
pelanggaran pemilu oleh peserta pemilu, pemantau dan pemilih harus disampaikan
kepada Bawaslu paling lama 3 hari sejak terjadinya pelanggaran. Dalam konteks
hukum pidana, waktu kejadian perkara (tempos delicti) terhitung sejak suatu
tindak pidana atau kejadian dilakukan oleh si pelaku dan bukan pada saat
selesainya suatu perbuatan atau timbulnya dampak/akibat hukum. Ketentuan ini
secara sengaja telah menutup celah bagi proses hukum terhadap pelanggaran
pemilu yang tidak terjadi di ruang terbuka. Sebagai contoh pemberian atau
penerimaan dana kampanye yang melebihi jumlah yang telah ditentukan tetapi
dilakukan melalui transfer rekening antar bank pada hari jumat malam. Karena
membutuhkan proses administrasi dan terkendala hari libur maka dana baru
diterima setelah 3 hari. Secara konseptual terjadinya pelanggaran adalah hari
jumat sehingga pelanggaran tidak dapat diproses.
b) Penanganan laporan. Peraturan Bawaslu
No. 05 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaporan Pelanggaran Pemilu DPR, DPD, dan
DPRD tidak memberikan rincian lebih jauh dibandingkan dengan apa yang telah
diatur dalam UU Pemilu. Beberapa format laporan sebagai lampiran dari Peraturan
dimaksud lebih menunjukkan bahwa Peraturan mengarah kepada petunjuk teknis dan
pedoman Bawaslu tentang penerimaan laporan pelanggaran pemilu. Bawaslu perlu
mengatur lebih detail tentang tata cara penanganan laporan/temuan pelanggaran
terkait dengan dokumen bukti indentitas, informasi/keterangan yang cukup, jenis
alat bukti minimal, materi pelanggaran, dan standar laporan dan berkas yang
akan diteruskan kepada penyidik.
c) Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran
Administrasi. Sampai saat ini KPU belum menerbitkan Peraturan tentang Tata Cara
Penyelesaian Pelanggaran Administrasi yang diamanatkan UU 10/2008. Belum adanya
aturan mengenai masalah ini akan mengakibatkan penanganan pelanggaran
administrasi yang berbeda antara kasus satu dengan yang lain bergantung kepada
kemauan KPU sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan dapat mencederai rasa
keadilan. Karena itu KPU harus segera membuat aturan tersebut sesegera mungkin
sebagai pedoman bagi semua pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan
penyelenggaraan pemilu. Peraturan tentang tata cara penyelesaian pelanggaran
administrasi setidaknya mengatur mengenai kategorisasi tingkat pelanggaran,
pemanggilan pelaku, pembuktian, adanya kesempatan pelaku untuk membela diri,
jenis sanksi yang dapat dijatuhkan berdasar tingkat pelanggaran atau kesalahan,
proses pelaksanaan sanksi, dan ketersediaan waktu yang cukup dan pasti.
d) Penegasan wewenang dan tanggung jawab
penyelesaian pelanggaran administrasi. Terjadi kerancuan pengaturan dalam
ketentuan UU Pemilu antara pasal 248-251 dengan pasal 113 ayat (2), pasal 118
ayat (2), dan 123 ayat (2) serta UU KPU pasal 78 ayat (1) huruf c. Beberapa
ketentuan yang bertolak belakang ini menyebabkan ketidakpastian proses
penanganan pelanggaran pemilu yang tidak mengandung unsur pidana. Dikuatirkan
KPU dan Bawaslu saling melepaskan tanggung jawab untuk menangani pelanggaran
tersebut. Perlu ada kesepakatan antara KPU dan Bawaslu mengenai pembagian tugas
dan wewenang penyelesaian pelanggaran administrasi. Wewenang Panwaslu
Kabupaten/Kota untuk menangani pelanggaran administrasi pada tahap kampanye
apakah merupakan suatu pengecualian, atau disepakati untuk dikesampingkan
karena bertentangan dengan asas kepastian dan keadilan. Kalau dianggap
pengecualian, maka bagaimana tata cara penyelesaiannya.
e) Pengertian ”hari”. UU Pemilu tidak
meberikan definisi dan penjelasan mengenai “hari” untuk menangani pelanggaran
pemilu. Yang dimaksud apakah hanya hari kerja atau termasuk hari libur dan yang
diliburkan (cuti bersama). Akibatnya terjadi perbedaan pemahaman antar instansi
penegak hukum pemilu. Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah bersepakat bahwa
yang dimaksud dengan hari adalah 1 x 24 jam (termasuk di dalamnya hari libur)
tetapi MA dan MK menegaskan bahwa hari adalah hari kerja. KPU, meski beberapa
tahapan penyelenggaraan pemilu juga dibatasi dengan hari, tidak mengatur
mengenai hal tersebut. Tidak adanya pengertian yang sama mengenai masalah ini
akan berpotensi mengganggu proses penanganan pelanggaran khususnya menyangkut
batas waktu (daluarsa).
f) Tindakan terhadap TNI. UU 12/2003 pasal
132 dengan tegas menyatakan bahwa tindakan kepolisian terhadap pejabat negara
seperti anggota DPR, DPD, DPRD, dan PNS harus dengan ijin khusus sebagaiman
diatur dalam UU 13/1970 tidak berlaku. Ketentuan ini tidak terdapat dalam UU
10/2008 sehingga keputusan Kepolisian dan Kejaksaan untuk memeriksa anggota
legislatif dan PNS tanpa ijin tersebut memiliki resiko hukum tersendiri. Selain
itu, UU Pemilu juga tidak mengatur keterlibatan POM TNI untuk memeriksa kasus
yang menyangkut anggota TNI sementara penyidik Kepolisian merasa tidak memiliki
wewenang untuk memeriksa anggota TNI.
g) Gakkumdu. Pembuatan nota kesepahaman
antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan dan kesepakatan pembentukan Sentra
Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) belum menjawab kebutuhan terhadap kecepatan
penanganan perkara. Pasal 12 MOU menyangkut proses pengembalian berkas perkara
dari PU kepada Penyidik untuk diperbaiki dimungkinkan terjadi 2 kali
masing-masing 3 hari. Kesepakatan ini dapat dianggap bertentangan ketentuan
pasal 253 UU Pemilu yang memberikan kesempatan pengembalian/perbaikan berkas
dari PU ke Penyidik hanya satu kali (3 hari). Pengulangan ini akan mengakibatkan
perkara yang sampai ke PU telah melampaui tenggat waktu dari yang telah
ditentukan dalam UU Pemilu.
h) Banding. Proses penanganan banding atas
putusan PN dilakukan dalam waktu 7 hari yang terhitung “sejak permohonan
banding diterima”. Sementara proses pelimpahan berkas perkara banding dari PN
ke PT dapat dilakukan paling lama 3 hari yang dihitung sejak “permohonan
banding diterima”. Adanya titik hitung yang sama untuk dua persoalan yang
berkelanjutan mengakibatkan waktu pemeriksaan di tingkat banding berkurang
menjadi 4 hari. Dengan pemeriksaan yang sangat singkat dikhawatirkan PT tidak
cukup waktu untuk menangani perkara.
i) Jumlah aparat. Khusus untuk menangani
perkara pemilu Kejaksaan telah menugaskan 2 orang jaksa sementara PN dan PT
harus menyediakan hakim khusus 3 – 5 orang sebagaimana diatur dalam Perma No.
03 tahun 2008 dan SEMA 07/A/2008. Jumlah aparat tersebut dapat menyebabkan
proses penanganan perkara terbengkalai apabila terjadi penumpukan perkara pada
tahapan tertentu karena batasan waktu yang singkat dalam penanganannya termasuk
apabila pelanggaran terjadi di wilayah yang memiliki kendala geografis.
j) Jenis Pidana dan Hukum Acara
Pemeriksaan. KUHP membedakan tindak pidana sebagai pelanggaran (tindak pidana
yang ancaman hukumannya kurang dari 12 bulan ) dan kejahatan (ancaman
hukumannya 12 bulan ke atas). Dalam KUHAP pelanggaran menggunakan hukum acara
singkat dan kejahatan dengan hukum acara biasa. tetapi UU 10/2008 tidak
membedakannya. Tidak ada penjelasan acara apa yang akan digunakan untuk
mengadili, apakah pelimpahan dengan menggunakan acara pemeriksaan singkat atau
dengan pemeriksaan biasa. Karena menyangkut tanggung jawab dari perkara
inklusif perkara dan barang bukti. Apabila acara pemeriksaan singkat maka meski
berkas perkara telah dilimpahkan tetapi tanggungjawab tersangka tetap ada pada
jaksa sampai proses persidangan. Tetapi apabila menggunakan acara pemeriksaan
biasa, maka sejak pelimpahan berkas tanggung jawab terhadap barang bukti dan
tersangka menjadi tanggung jawab pengadilan. Selain itu sanksi pidana pemilu
berbentuk komulatif dengan rentang perbedaan yang cukup tinggi sehingga dapat
memunculkan disparitas putusan.
k) Pelaksanaan putusan. UU memerintahkan 3
hari sejak putusan PN/PT dijatuhkan maka harus segera dilaksanakan oleh jaksa
selaku eksekutor. Permasalahannya untuk melakukan eksekusi mengharuskan jaksa
memperoleh salinan putusan dari pegadilan. Kalau dalam waktu 3 hari salinan
putusan belum disampaikan apakah eksekusi tetap dapat dilaksanakan? Karena
terhadap tersangka jaksa tidak dapat melakukan penahanan seperti pasal 21
KUHAP. Selain itu perlu juga ditegaskan mengenai bentuk salinan putusan
dimaksud, apakah salinan putusan yang diketik, kutipan atau petikan putusan?
l) Sengketa Putusan KPU. UU KPU dan UU
Pemilu tidak menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat.
Padahal Keputusan KPU berpotensi menimbulkan sengketa. Namun begitu UU juga
tidak mengatur mekanisme untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Sementara
mekanisme gugatan melalui PTUN sulit dilakukan. Pasal 2 huruf g UU PTUN (UU
5/1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9/2004) menegaskan ”tidak termasuk ke
dalam pengertian Keputusuan TUN adalah Keputusan KPU baik di Pusat maupun di
daerah mengenai hasil pemilu”. Sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit
dalam ketentuan pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilu, tetapi SEMA No.
8/2005 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pilkada mengartikan hasil pemilu
”meliputi juga keputusan-keputusan lain yang terkait dengan pemilu”. Selain itu
dalam berbagai Yurisprudensi MA, telah digariskan bahwa keputusan yang
berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak
menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Untuk mengisi
kekosongan hukum dan menghindari penafsiran menyimpang tersebut maka SEMA No.
8/2005 sebaiknya dicabut.
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU
Alternatif (I) Alternatif (II) Alternatif
(III) Alternatif (IV)
Gugatan, permintaan pihak yang merasa
dirugikan kepada PTUN untuk membatalkan suatu Keputusan Konsiliasi,
mempertemukan pihak-pihak yg bersengketa untuk mencapai suatu kesepakatan
Mediasi, memberi tawaran alternatif kepada pihak-pihak yang bersengketa tetapi
tidak mengikat Arbitrase, pembuatan satu keputusan untuk menyelesaikan
persengketaan yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang bersengketa
E. Rekomendasi
Secara umum UU Pemilu telah memberikan
pedoman untuk menyelesaikan pelanggaran yang terjadi. Pengaturan penyelesaian
pelanggaran pemilu dengan batasan waktu yang singkat bertujuan untuk mendorong
penyelesaian kasus yang disesuaikan dengan tahapan pelaksanaan pemilu sehingga
ada jaminan bahwa pemilu diselenggarakan secara bersih. Persoalannya beberapa
ketentuan tidak cukup mampu untuk menindak terjadinya pelanggaran pemilu
apalagi mencegahnya. Hal ini karena ketentuan UU Pemilu belum lengkap,
multitafsir dan beberapa diantaranya kontradiksi. Upaya mengatasi permasalahan
tersebut dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan tertentu sebagaimana
diamanatkan UU Pemilu, kesepakatan bersama antara KPU - Bawaslu dan lembaga
penegak hukum mengenai tata cara penanganan pelanggaran, serta meningkatkan
kapasitas aparat di masing-masing lembaga mengenai aturan perundang-undangan
pemilu.
Penanganan pelanggaran secara jujur dan
adil merupakan bukti adanya perlindungan kedaulatan rakyat dari
tindakan-tindakan yang dapat mencederai proses dan hasil pemilu. Adalah
kewajiban bagi pengawas, penyelenggara dan aparat penegak hukum untuk
memastikan bahwa semua pelanggaran pemilu yang terjadi dapat diselesaikan
secara adil dan konsisten.
PERBANDINGAN
TATA CARA PENYELESAIAN PELANGGARAN PIDANA
PEMILU
MENURUT UU 12/2003 DAN UU 10/2008
TAHAPAN UU 10/2008 UU 12/2003
Pasal Waktu Pasal Waktu
Laporan kepada Bawaslu tentang pelanggaran
pemilu 247 ayat (4) 3 hari 127 ayat (4) 7 hari
Tindak lanjut laporan oleh bawaslu 247 ayat
(6) 3 hari 128 ayat (2) 7 hari
Bawaslu memerlukan keterangan tambahan 247
ayat (7) 5 hari 128 ayat (3) 14 hari
Penyidikan kepolisian 253 ayat (1) 14 hari
131 ayat (2) 30 hari
Pelimpahan berkas ke JPU 131 ayat (3) 7
hari
Pengembalian berkas kepada penyidik
kepolisian 253 ayat (2) 3 hari 138 ayat (1) UU 8/1981 7 hari
Penyampaian kembali berkas perkara ke JPU
253 ayat (3) 3 hari 110 ayat (4) UU 8/ 1981 14 hari
Pelimpahan berkas perkara oleh JPU ke PN
253 ayat (4) 5 hari 131 ayat (4) 14 hari
Pemeriksaan, persidangan dan lahir putusan
PN 255 ayat (1) 7 hari 133 ayat (4) 21 hari
Permohonan banding 255 ayat (2) 3 hari 233
ayat (2) UU 8/1981 7 hari
Pelimpahan berkas perkara permohonan
banding oleh PN 255 ayat (3) 3 hari 236 ayat (1) UU 8/1981 14 hari
Pemeriksaan, persidangan dan lahir putusan
PT 255 ayat (4) 7 hari 133 ayat (4) 14 hari
Penyampaian hasil putusan PN dan PT ke JPU
256 ayat (1) 3 hari - -
Pelaksanaan hasil putusan PN dan PT 256
ayat (2) 3 hari - -
Diposkan oleh skripsi hukum di 00.36 Tidak
ada komentar: Link ke posting ini
Label: Pemilu 2009
TRAFFICKING DAN PENANGGULANGANNYA MENURUT HUKUM PO...
PELANGGARAN PEMILU 2009 DAN MEKANISME PENYELES...
SKRIPSI
KAJIAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN DAN
HUBUNGAN TATA KERJA ANTARA KPU DAN BAWASLU DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMILU
YANG DEMOKRATIS
JURIDICAL STUDY ON STATUS AND RELATIONSHIPS
WORKING PROCEDURES BETWEEN ELECTION COMMISION AND MONITORING ELECTION COMMISION
ON THE IMPLEMENTATION
OF DEMOCRATIC ELECTION
DANDY HARUNSYAH BERNADY
NIM : 070710101036
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM
i
2013
MOTTO
Orang yang bisa berpikir tapi tidak tahu
bagaiaman cara mengungkapkan pikirannya, adalah sama saja dengan orang yang
tidak bisa berpikir.1
1 Diambil dari Buku â€Å“Jangan Mau Jadi
Paku, Jadilah Palu†Karya terbaik Tama Sinulingga Penerbit Harvest Private Publishing,
Jakarta2007
ii
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : DANDI HARUNSYAH BERNADY
NIM : 070710101036
Menyatakan bahwa karya ilmiah yang berjudul
â€Å“KAJIAN YURIDIS
TENTANG KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN TATA KERJA
ANTARA KPU DAN BAWASLU DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMILU YANG DEMOKRATIS†adalah benar-benar
karya sendiri kecuali jika disebutkan sumbernya dan belum pernah diajukan pada
instansi manapun serta bukan hasil jiplakan. Saya bertanggung jawab atas
keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung
tinggi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan
sebenar-benarnya tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta
bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata dikemudian hari pernyataan ini
tidak benar.
Jember, 19 Juni 2013
Yang menyatakan
DANDY HARUNSYAH BERNADY
NIM : 070710101036
iii
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan Skripsi ini kepada:
1.Kedua orang tuaku tercinta, H. Tatang
Karimullah Bernady dan Hj. Fauziah Agusti Rini yang memberikan kasih sayang
tulus, keikhlasan, do̢۪a, serta motivasi dalam menjalani kehidupan ini.
2.Almamater yang kubanggakan Fakultas Hukum
Universitas Jember;
3.Bapak/Ibu Guru dan Dosen pengajar yang
senantiasa memberikan ilmu denagan tulus, sabar, dan penuh tanggung jawab yang
aku hormati;
iv
KAJIAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN DAN
HUBUNGAN TATA KERJA ANTARA KPU DAN BAWASLU DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMILU
YANG DEMOKRATIS
JURIDICAL STUDY ON STATUS AND RELATIONSHIPS
WORKING PROCEDURES BETWEEN KPU AND BAWASLU ON THE IMPLEMENTATION OF DEMOCRATIC
ELECTION
DANDY HARUNSYAH BERNADY
NIM : 070710101036
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM 2013
v
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL .... JUNI 2013
Oleh :
Pembimbing
Dr. WIDODO EKATJAHJANA, S.H., M.Hum.
NIP. 197105011993031001
Pembantu Pembimbing
IWAN RACHMAD SOETIJONO, S.H., M.H
NIP. 1970041101998021001
vi
PENGESAHAN
Skripsi dengan judul :
KAJIAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN DAN
HUBUNGAN TATA KERJA ANTARA KPU DAN BAWASLU DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMILU
YANG DEMOKRATIS
JURIDICAL STUDY ON STATUS AND RELATIONSHIPS
WORKING PROCEDURES BETWEEN KPU AND BAWASLU ON THE IMPLEMENTATIONOF DEMOCRATIC
ELECTION
Oleh :
DANDY HARUNSYAH BERNADY
NIM : 070710101036
Mengesahkan :
Kementerian Pendidikan dan Kebudayan
Universitas Jember
Fakultas Hukum
Dekan,
Dr. WIDODO EKATJAHJANA, S.H., M.Hum.
NIP. 197105011993031001
vii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Dipertahankan dihadapan panitia penguji
pada :
Hari
: Rabu
Tanggal
: 18
Bulan
: September
Tahun
: 2013
Diterima oleh panitia penguji Fakultas
Hukum Universitas Jember
Panitia Penguji
Ketua
Sekretaris
ASMARA BUDI DYAH DARMA SUTJI, S.H
GAUTAMA BUDHI ARUNDATI, S.H., LLM.
NIP.195007101980022001
NIP. 197509302002121006
Anggota Penguji
Dr. WIDODO EKATJAHJANA, S.H., M.Hum.
....................................
NIP. 197105011993031001
IWAN RACMAT SOETIJONO, S.H., M.H.
....................................
NIP. 1970041019980021001
viii
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama penulis panjatkan puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini diajukan guna
melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat- syarat untuk menyelesaikan program
studi ilmu hukum. Skripsi ini berjudul berjudul â€Å“KAJIAN YURIDIS TENTANG
KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN TATA KERJA ANTARA KPU DAN BAWASLU DALAM RANGKA
PENYELENGGARAAN PEMILU YANG DEMOKRATISâ€
Skripsi ini berhasil diselesaikan berkat
bimbingan, petunjuk dan pengarahan dari pembimbing dan pembantu pembimbing,
yang dimana skripsi ini adalah sebuah karya dengan hasil kerja keras, semangat,
motivasi, keyakinan untuk meraih cita-cita dan harapan, serta segala bantuan
berbagai pihak yang dengan tulus ikhlas memberikan bantuan kepada penulis. Oleh
karena itu pada kesempatan ini pula penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.Bapak Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H.,
M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember dan sekaligus pembimbing
yang telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk dan pengarahan dalam penulisan
skripsi ini;
2.Bapak Iwan Rachmad SoetijonoS.H.,M.H.
pembimbing kedua yang telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk dan
pengarahan dalam penulisan skripsi ini pada ujian pendadaran dalam
mempertahankan skripsi ini;
3.Ibu Asmara Budi Dyah Darma Sutji,
S.H.,M.H. Ketua Panitia Penguji pada ujian pendadaran dalam mempertahankan
skripsi ini;
4.Bapak Gautama S.H.,L.LM, Sekretaris
Panitia Penguji pada ujian pendadaran dalam mempertahankan skripsi ini;
5.Bapak Firman Floranta Adonara, S.H.,M.H.
yang telah memberikan beberapa saran dan sugestinya kepada penulis sehingga
penulis dapat mengaplikasikan sugesti dan saran tersebut;
6.Bapak Hardiman, S.H., selaku DPA (Dosen
Pembimbing Akademik), yang telah memberikan masukan, bimbingan, konsultasi dan
motivasi selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Jember;
ix
7.Bapak Bhim Prakoso, S.H.,M.M.,Sp.N.,M.H.
yang telah banyak memberikan penulis ide dan gagasan segar sehingga penulis
dapat banyak mendapatkan ide.
8.Staf Karyawan PT IAP, Hani, Hari, Bayu
Donata, Nedi Oktaviani, Restu, Idris;
9.Keluarga besar dan saudara-saudara dari
penulis: Dodik Setyawan Bernady, S.E., Dewi Rosania, S.E., drg. Kiki Mia
Kumalasari, Laksda TNI AL. I Putu Yuli Adiyana, I Putu Suastiana, Ariani;
10.Kawan-kawan seperjuangan di Universitas
Jember terutama kawan-kawan semua angkatan di Fakultas Hukum Universitas Jember
khususnya angkatan 2007 baik Reguler maupun Non-Reguler, yang telah membagi ilmu
pengetahuan, membagi suka duka, inspirasi, dukungan, semangat kekeluargaan dan
do̢۪a;
11.Teman-teman Seperjuangan Kampus FH Unej
: Prandy Arief, Moch Arief, Rio Prihatnolo, S.H., Sonya Rose Tin, Ferdy Salim,
dll;
12.Semua pihak yang tidak dapat disebut
satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan dalam penulisan skripsi ini;
dan,
13.Teman-Teman â€Å“Jibut Community†yang memberi semangat
dan membantu proses finshing skripsi ini.
14.Special thank̢۪s to dr. Ni Made Debia
Asista yang telah dengan iklas memberikan cinta dan kasih sayangnya yang
membuat penulis bersemangat belajar dan menyelesaiakan skripsi ini demi
mewujudkan mimpi, cita-cita, dan harapan penulis;
Tiada balas jasa yang dapat penulis berikan
kecuali harapan semoga amal kebaaikannya mendapat imbalan dari Tuhan YME dan
semoga segala bantuan dan kebaikan yang telah diberikan dapat memberikan arti
yang berguna bagi kita semua.
Akhirnya harapan penulis adalah semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua demi menegakkan keadilan dan
kebenaran berdasarkan hukum.
Jember, 26 Juni 2013
Penulis
x
RINGKASAN
Pemilihan Umum adalah salah satu pranata
yang paling representatif atas berjalannya proses demokrasi. Tidak pernah ada
demokrasi tanpa pemilihan umum. Oleh sebab itu, di setiapnegara yang menganut
demokrasi, pemilihan umum yang lebih dikenal dengan Pemilu menjadi sangat
penting dan selalu menentukan proses sejarah politik di negara masing-masing.
Berdasarkan hal tersebut diatas, perlu disadari bahwa Pemilu merupakan salah satu
peristiwa penting dalam dinamika politik di suatu negara. Arti pentingnya
penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan secara berkala untuk merealisasikan hak
warga negara dalam mengambil bagian atau berpartisipasi dalam urusan publik.
Hak itu sendiri merupakan bagian dari hak asasi warga negara yang sangat
prinsipil. Adapun salah satu bentuk dari partisipasi tersebut adalah
melaksanakan hak untuk memilih dan dipilih dalam sebuah pemilu yang bebas dan
adil (free and fair election). Ada beberapa syarat bagi pemilu yang bebas (free
election). Pertama, pemilu harus mencerminkan kehendak rakyat. Kedua, dalam
pemilu setiap warga negara mendapatkan jaminan atas kebebasannya. Ketiga, ada
jaminan bagi hak- hak lain yang menjadi prasyarat pemilu. Keempat, pemungutan
suara harus berlangsung secara rahasia. Kelima, pemilu harus memfasilitasi
sepenuhnya ekspresi kehendak politik rakyat. Sedangkan syarat-syarat bagi
pemilu yang adil (fair election). Pertama, hak suara setiap orang adalah
setara, universal dan non-diskriminatif. Kedua, pemilu yang adil juga
memberikan jaminan hukum dan teknis untuk menjaga agar proses pemilu bebas dari
bias, penipuan atau manipulasi. Berdasarkan hal tersebut untuk mewujudkan
pemilu yang bebas dan adil, perlu diperhatikan tiga pihak yang saling terkait.
Salah satu mekanisme penting dalam pelaksanaan pemilu adalah penyelesaian
pelanggaran pemilu dan perselisihan hasil pemilu. Mekanisme ini diperlukan
untuk mengoreksi jika terjadi pelanggaran atau kesalahan. Mekanisme ini juga
memberikan sanksi pada pelaku pelanggaran sehingga proses pemilu benar-benar
dilaksanakan secara demokratis, sehingga hasilnya mencerminkan kehendak rakyat.
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum anggota DPR, DPRD dan DPD, menetukan adanya dua jenis
pelanggaran pemilu, yaitu pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana
pemilu. Pelanggaran administrasi adalah pelanggaran atas ketentuan
undang-undang pemilu yang bukan merupakan ketentuan pidana pemilu dan ketentuan
lain yang diatur oleh KPU. Sedngkan Lembaga Pengawas Pemilu yang melkasnakan
Pengawasan Pemilu adalah Bawaslu. Bawaslu sangat berperan penting atas bentuk
pengawasan terhadap berbagai kecurangan dalam Pemilu dan sebagai Lembaga Negara
Bawaslu tidak bertanggung jawab terhadap KPU sebagai sebuah Lembaga Negara yang
menjadi salah satu penyelenggara Pemilu. Adapun permasalahan dalam skripsi ini
adalah:
xi
1.Bagaimana Kedudukan dan Kewenangan
Bawaslu Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003?
2.Apakah Bawaslu dalam kaitannya sebagai
Lembaga Pengawas Pemilu Bertanggung Jawab terhadap KPU?
Tujuan dari penulisan ini terbagi menjadi 2
(dua), yaitu: tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dalam penulisan
skripsi ini yaitu: untuk memenuhi syarat yang diperlukan guna meraih gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember, Sedangkan tujuan
khususnya yaitu untuk mengetahui dan mengkaji permasalahan yang diangkat dalam
skripsi ini.
Tipe penulisan dalam skripsi ini adalah yuridis
normatif sedangkan pendekatan masalah yaitu dengan mengunakan Undang-Undang dan
konseptual. Metode pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah sumber bahan
hukum primer, sumber bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum serta analisa
bahan hukum. Pada bab pembahasan, akan membahas mengenai 2 (dua) hal yang
terdapat dalam rumusan masalah.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, Kedudukan
memiliki pengertian keberadaan atau posisi sesuatu dalam sebuah sistem atau
mekanisme tertentu. Kedudukan pengawas pemilu mengandung pengertian posisi atau
keberadaan pengawas pemilu sebagai bagian dari lembaga penyelenggara pemilu.
Kedudukan lembaga pengawas pemilu harus diposisikan sebagaibagian dari lembaga
penyelenggara pemilu, sehingga fungsi pengawasan merupakan bagian dari
penyelenggaran pemilu. Pengawasan dilakukan agar pelaksanaan tahapan-tahapan
pemilu berjalan sesuai dengan aturan perundang- undangan dan jadwal. Fungsi
pengawasan pemilu mestinya melekat atau berjalan seiring dengan pelaksanaan
pemilu. Hanya saja, karena banyak pihak yang belum percaya bahwa KPU/KPUD mampu
menjalankan pengawasan secara efektif, maka fungsi itu diberikan kepada lembaga
tersendiri. Jadi, pengawas pemilu adalah bagian dari penyelenggara pemilu yang
secara khusus bertugas mengawasi pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu agar pemilu
berjalan sesuai dengan peraturan dan jadwal.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang telah
dibentuk melalui proses rekrutmen yang transparan dan independen berdasarkan
Undang-Undang jelas memiliki peran besar untuk mengawal Pemilu yang demokratis
jujur dan adil. Persoalan utama sekarang ada pada Bawaslu itu sendiri, untuk
mengelola kualias diri, baik melalui proses perumusan dan pembuatan regulasi
pengawasan, semangat sumber daya insaninya dan kemampuannya untuk menggali
sekaligus menggairahkan potensi-potensi yang ada pada rakyat untuk menjadi
pemilih yang kritis.Dalam setiap penyelenggaran Pemilu terutama pada Pemilu
2004 dan terulang pula pada Pemilu 2009, Pengawas
xii
Pemilu memiliki lingkup kewenangan yang
terbatas. Sejumlah pihak menilai, pengawas Pemilu dikatakan hanya sebagai
pelopor dan tukang pos. Betapapun begitu, satu hal yang perlu dicatat disini
adalah demikian kuatnya segenap anggota pengawas Pemilu dalam menempatkan
dirinya untuk lebih efektif lagi dalam menempatkan dirinya untuk lebih efektif
lagi dalam menjalankan tugas, wewenang, dan kewajiban dalam mengawasi
tahapan-tahapan Pemilu, sebagaimana kerjasanma yang dibangun dengan
kelompok-kelompok masyarakat seperti organisasi masyarakat sipil yang berbasis
pada public interest dalam Pemilu. Bawaslu dalam posisi seperti ini merupakan
Lembaga sebagai Mitra kerja dari KPU dan tidak bertanggung Jawab terhadap KPU
meskipun Bawaslu sebagai perekomendasi pelaporan kepada KPU adanya
kecurangan-kecurangan yang terjadi selama Pemilihan Umum berlangsung.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN
...................................................................
i
HALAMAN SAMPUL
DALAM...................................................................
ii
HALAMAN MOTO
......................................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN
.......................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
....................................................................
v
HALAMAN PERSYARATAN GELAR
......................................................
vi
HALAMAN PERSETUJUAN
......................................................................
vii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
viii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI
......................................
ix
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH
...................................................
x
HALAMAN RINGKASAN
...........................................................................
xiii
DAFTAR ISI
..................................................................................................
xv
BAB 1
PENDAHULUAN...............................................................................
1
1.1. Latar Belakang
................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah...........................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian
............................................................................
6
1.3.1. Tujuan
Umum........................................................................
6
1.3.2. Tujuan
Khusus.......................................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian
..........................................................................
7
1.5. Metode Penulisan............................................................................
7
1.5.1. Tipe
Penelitian.......................................................................
7
1.5.2. Pendekatan Masalah ..............................................................
8
1.5.3. Sumber Bahan Hukum
.........................................................
9
1.5.3.1. Bahan Hukum Primer
................................................
9
1.5.3.2. Bahan Hukum
Sekunder.............................................
10
1.5.3.3. Bahan
Non-Hukum.....................................................
10
1.6. Analisis Bahan Hukum
...................................................................
10
xiv
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
.....................................................................
12
2.1.Komisi Pemilihan
Umum.................................................................
12
2.1.1 Pengertian Komisi Pemilihan Umum
.....................................
12
2.1.2 Sejarah Pembentukan dan Kewenangan
KPU ........................
14
2.2.Pengertian
Bawaslu..........................................................................
19
2.3.Partai Politik.....................................................................................
19
2.3.1. Pengertian Partai
Politik........................................................
19
2.4.Pengertian Konsep
Demokrasi……..................................................
22
2.5.Pengertian Pemilu
.............................................................................
25
2.5.1. Penyelenggaraan Pemilu Yang
Demokratis...........................
28
BAB 3 PEMBAHASAN .................................................................................
30
3.1. Sejarah Pengawasan
Pemilu............................................................
30
3.2.Hubungan Tata Kerja antara KPU dan
Bawaslu..............................
33
3.2.1. Bawaslu Sebagai Lembaga Yang
Melaksanakan Pengawasan
Pemilu
..................................................................................
33
3.2.2. Bawaslu Hanya Sebagai Mitra Kerja
dari KPU...................
37
3.3. Bawaslu Tidak Bertanggung Jawab Kepada
KPU ........................
39
3.3.1 Bawaslu Sebagai Lembaga Negara Yang
Independen ..........
39
BAB 4
PENUTUP...........................................................................................
45
4.1. Kesimpulan
.....................................................................................
45
4.2.
Saran-saran......................................................................................
45
xv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang berbentuk
Republik. Republik berasal dari bahasa Latin, disebut Res Publica, artinya
kepentingan umum, ialah negara dengan pemerintahan rakyat yang dikepalai oleh
seorang Presiden sebagai kepala Negara. Sebagai seorang Kepala Negara maka
pengisian jabatan Presiden adalah dengan menggunakan sistem Pemilihan Umum yang
demokratis. Pelaksanaan Pemilihan Umum ini menandakan bahwa pesta demokrasi
berjalan secara baik di negeri ini. Meknisme ini merupakan sarana rakyat untuk
memilih seorang pemimpin dengan menduduki suatu jabatan masa tertentu misalnya
dengan masa jabatan 5 tahun. Biasanya Presiden dapat dipilih kembali setelah
berakhir masa jabatannya atau pada umumnya hanya diperkenankan menjabat selama
dua kali periode berturut-turut. Melalui mekanisme Pemilihan Umum yang lazimnya
disebut sebagai Pemilu diselenggarakan secara langsung untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden.
Pemilihan Umum adalah sarana manifesto
kedaulatan rakyat dengan kata lain rakyatlah yang yang berdaulat dan mewakilkan
kekuasaan kedaulatannya itu yang disebut pemerintah. Sumber kewenangan berada
di tangan rakyat. Rakyat mempunyai hak untuk memilih siapa yang akan menjadi
pemimpin dari suatu negara. Pemilihan Umum dilaksanakan setiap 5 tahun sekali
dengan sistematika yaitu Pemilihan Presiden beserta wakilnya, Pemilihan Anggota
DPR dan DPD yang nantinya mereka akan duduk di parlemen. Dalam pemilihan
seringkali kita mendengar adalah asas pemilu yaitu asas Luber dan Jurdil yang
artinya Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia serta Jujur dan Adil. Asas ini
seringkali mengiringi ketika Pemilihan Umum maupun Pemilihan Umum Kepala Daerah
berlangsung akan tetapi apakah kita sudah mengetahui sejauh mana Pemilihan yang
kita lakukan itu berkualitas?.
1
2
Pemilihan Umum adalah salah satu pranata
yang paling representatif atas berjalannya proses demokrasi. Tidak pernah ada
demokrasi tanpa pemilihan umum. Oleh sebab itu, di setiapnegara yang menganut
demokrasi, pemilihan umum yang lebih dikenal dengan Pemilu menjadi sangat
penting dan selalu menentukan proses sejarah politik di negara masing-masing.
Ada beberapa indikator suatu Pemilu memenuhi prinsip-prinsip demokrasi, yaitu:
a.Inclusiveness, artinya setiap orang yang
sudah dewasa harus diikutkan dalam Pemilu.
b.Equal Vote, artinya setiap suara
mempunyai hak dan nilai yang sama.
c.Effective Participation, artinya setiap
orang mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan pilihannya.
d.Enlightened Understanding, artinya dalam
rangka mengekspresikan pilihan politiknya secara akurat, setiap orag mempunyai
pemahaman dan kemampuan yang kuat untuk memutuskan pilihannya.
e.Final Control of Agenda, artinya pemilu
dianggap demokratis apabila terdapat ruang untuk mengontrol atau mengawasi
jalannya pemilu.1
Berdasarkan hal tersebut diatas, perlu
disadari bahwa Pemilu merupakan salah satu peristiwa penting dalam dinamika
politik di suatu negara. Arti pentingnya penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan
secara berkala untuk merealisasikan hak warga negara dalam mengambil bagian atau
berpartisipasi dalam urusan publik. Hak itu sendiri merupakan bagian dari hak
asasi warga negara yang sangat prinsipil. Adapun salah satu bentuk dari
partisipasi tersebut adalah melaksanakan hak untuk memilih dan dipilih dalam
sebuah pemilu yang
1 Nur Hidayat Sardini, Restorasi
Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia, Fajar Media Press, Yogyakarta, 2011, hlm
34
3
bebas dan adil (free and fair election).
Ada beberapa syarat bagi pemilu yang bebas (free election). Pertama, pemilu
harus mencerminkan kehendak rakyat. Kedua, dalam pemilu setiap warga negara
mendapatkan jaminan atas kebebasannya. Ketiga, ada jaminan bagi hak-hak lain
yang menjadi prasyarat pemilu. Keempat, pemungutan suara harus berlangsung
secara rahasia. Kelima, pemilu harus memfasilitasi sepenuhnya ekspresi kehendak
politik rakyat. Sedangkan syarat-syarat bagi pemilu yang adil (fair election).
Pertama, hak suara setiap orang adalah setara, universal dan non-diskriminatif.
Kedua, pemilu yang adil juga memberikan jaminan hukum dan teknis untuk menjaga
agar proses pemilu bebas dari bias, penipuan atau manipulasi. Berdasarkan hal
tersebut untuk mewujudkan pemilu yang bebas dan adil, perlu diperhatikan tiga
pihak yang saling terkait. Keterkaitannya satu sama lain turut menentukan bisa
tidaknya Pemilu diselenggarakan melalui berbagai tahapan, mulai dari pendataan
calon pemilih hingga pelantikan anggota lembaga yang dipilih. Setiap tahapan
harus dilaksanakan sesuai dengan asas Langsung, Umum, Bebas, rahasia, Jujur dan
Adil. Untuk menjamin pelaksanaan pemilu sesuai dengan asas-asas konstitusional,
dibentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur norma dan prosedur
pelaksanaan pemilu.
Pemilu yang bebas dan adil diwujudkan.
Pihak pertama adalah negara sebagai penyelenggara pemilu yang sekaligus
pemegang tanggungjawab dalam pengawasan keseluruhan atas penyelenggara pemilu.
Dalam konteks ini, negara diwujudkan melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan
Pengawas Pemilu yang keduanya mendapatkan dana public untuk melaksanakan
tugasnya. Pihak kedua adalah peserta pemilu, yaitu warga negara yang punya hak
untuk dipilih dan maju sebagai kandidat, serta partai politik. Sedangkan pihak
ketiga adalah pemilih itu sendiri, yaitu warga negara yang mempunyai hak untuk
memilih. Dengan demikian pemilu itu sendiri pada dasarnya merupakan proses
interaksi antara penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan pemilih.
Khusus mengenai lembaga penyelenggara
Pemilu, standar Internasional Pemilu demokratis menegaskan perlu adanya jaminan
hukum, bahwa Lembaga
4
tersebut bisa bekerja independen.
Independensi penyelenggara Pemilu merupakan persoalan penting karena
mesin-mesin penyelenggara Pemilu membuat dan melaksanakan keputusan yang dapat
mempengaruhi hasil Pemilu. Oleh karena itu lembaga tersebut harus bekerja dalam
kerangka waktu yang cukup, mempunyai sumber daya yang mumpuni, dan tersedia
dana yang memadai. Undang-Undang Pemilu harus mengatur ukuran, komposisi dan
masa kerja anggota penyelenggara Pemilu. Juga Undang-Undang harus membuat
ketentuan tentang mekanisme untuk memproses, memutuskan dan menangani keluhan,
masalah dan pelanggaran dalam penyelenggaraan Pemilu secara tepat waktu,
efektif dan eï¬sien. Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu dimaksudkan untuk
menjawab masalah-masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu 2004 yang
berkaitan dengan kedudukan KPU/KPUD serta Pengawas Pemilu selaku penyidik
pelanggaran pemilu yang dinilai tidak efektif menjalankan fungsinya, sehingga
gagal menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran pemilu. Panwas pemilu 2004 dicap
sebagai lembaga â€Å“tidak bergigiâ€, hal itu terkait dengan banyaknya kasus pelanggaran administrasi
yang tidak diselesaikan oleh KPU/KPUD. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, kedudukan pengawas pemilu diperkuat agar
dapat memberikan kontrol yang efektif dalam penyelenggaraan pemilu. Lembaga
Pengawas Pemilu yang semula bersifat sementara (kepanitiaan) dikembangkan
menjadi lembaga tetap (badan), Sehingga Pengawas Pemilu ditingkatkan statusnya
menjadi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Salah satu mekanisme penting dalam
pelaksanaan pemilu adalah penyelesaian pelanggaran pemilu dan perselisihan
hasil pemilu. Mekanisme ini diperlukan untuk mengoreksi jika terjadi
pelanggaran atau kesalahan. Mekanisme ini juga memberikan sanksi pada pelaku
pelanggaran sehingga proses pemilu benar-benar dilaksanakan secara demokratis,
sehingga hasilnya mencerminkan kehendak rakyat. Undnag-Undnag Nomor 10 tahun
2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPRD dan DPD, menetukan adanya dua
jenis pelanggaran
5
pemilu, yaitu pelanggaran administrasi dan
pelanggaran pidana pemilu. Pelanggaran administrasi adalah pelanggaran atas
ketentuan undang-undang pemilu yang bukan merupakan ketentuan pidana pemilu dan
ketentuan lain yang diatur oleh KPU.
Bawaslu dan Panwaslu disetiap tingkatan
memiliki peran sentral dalam penanganan pelanggaran administrasi dengan
melakukan pengawasan dan menerima laporan dari masyarakat. Apabila menemukan
terjadinya pelanggaran administrasi, Bawaslu atau Panwaslu melaporkan kepada
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Pelanggaran tersebut harus diputus
oleh KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota dalam waktu tujuh hari sejak
diterimanya laporan dari Bawaslu atau Panwaslu.
Sedangkan pelanggaran pidana pemilu adalah
pelanggaran terhadap keentuan pidana pemilu yang diatur dalam undang-undang
pemilu. Apabila sebagai pengawas, Bawaslu atau Panwaslu menemukan atau menerima
laporan adanya dugaan pelanggaran pemilu, temuan itu disampaikan kepada
penyidik kepolisian. Selanjutnya, penyidik melakukan proses penyidikan dan
melimpahkan kepada penuntut. Penuntut umum akan melimpahkan berkas perkara
kepada pengadilan negeri. Disanalah tersebut diadili dan diputuskan oleh hakim
khusus. Undang-undang menentukan, proses pengadilan pidana pemilu hanya terdiri
dari dua tingkat, yaitu tingkat pertama di pengadilan negeri dan tingkat
banding di pengadilan tinggi. Putusan pengadilan tinggi merupakan putusan
terakhir dan mengikat. Karena itu kesiapan dan kerjasama dari lembaga-lembaga
terkait, yaitu KPU, Bawaslu/Panwaslu, Kepolisian, Kejakasaan, dan Pengadilan,
sangat dibutuhkan demikian pula halnya dengan kerjasama dari peserta pemilu dan
seluruh masyarakat.
Adapun berdasarkan latar belakang diatas,
penulis tertarik untuk mengkaji status dan kedudukan Bawaslu dan KPU dalam
sebuah skripsi dengan judul
â€Å“KAJIAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN DAN
HUBUNGAN TATA
6
KERJA ANTARA KPU DAN BAWASLU DALAM RANGKA
PENYELENGGARAAN PEMILU YANG DEMOKRATISâ€
1.2Rumusan Masalah
Ada 2 (dua) Permasalahan yang akan dibagi
dalam skripsi ini yaitu:
1.Bagaimana Kedudukan dan Kewenangan
Bawaslu Menurut undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, Undang-Undang 22 Tahun 2007,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003?
2.Apakah Bawaslu dalam kaitannya sebagai
Lembaga Pengawas Pemilu Bertanggung Jawab terhadap KPU?
1.3. Tujuan Penelitian
Agar dalam penulisan skripsi ini dapat
memperoleh suatu sasaran yang jelas dan tepat, maka perlu ditetapkan suatu
tujuan penulisan. Adapun tujuan penulisan disini dapat dibagi menjadi 2 (dua)
yaitu tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus.
1.3.1Tujuan Umum
Tujuan umum yang ingin dicapai adalah :
1.Untuk memenuhi serta melengkapi salah
satu pokok persyaratan akademis gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jember.
2.Sebagai upaya untuk menerapkan ilmu
penegetahuan yang penulis peroleh selama mengikuti perkuliahan di Fakultas
Hukum Universitas Jember.
3.Sebagai sumbangan pemikiran ilmiah di
bidang ilmu hukum yang diaharapkan dapat berguna bagi almamater, mahasiswa
Fakultas Hukum dan Masyarakat umum.
7
1.3.2Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah :
1.Untuk mengetahui dan memahami bagaimana
kedudukan dan Kewenangan Bawaslu menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003,
Undang-Undang 22 Tahun 2007, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003?
2.Untuk mengkaji apakah Bawaslu itu
bertnggung jawab terhadap KPU?
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dalam skripsi ini adalah
:
1.Sebagai referensi bagi para penstudi atau
peminat kajian Ilmu Hukum, Hukum Pemilu, Serta bagaimana Penyelenggaran Pemilu
secara Demokratis.
2.Sebagai bahan masukan bagi para pengambil
kebijakan untuk merumuskan, menyusun, dan merevisi berbagai kebijakan tentang
Sistem Pemilihan Umum sehingga dapat menyelenggarakan Pemilihan Umum yang
demokratis dan berkualitas.
1.5.Metode Penulisan
1.5.1 Tipe Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu proses
untuk menemukan aturan hukum maupun prinsip-prinsip hukum guna menjawab
permasalahan- permasalahan hukum yang dihadapi. Dalam penelitian ini, tipe tipe
penelitian yang dipergunakan adalah yuridis normativ (legal research). Tipe
penulisan ini merupakan penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berlaku. Tipe
penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkaji berbagai aturan
hukum yang bersifat formil seperti undang-undang, peraturan-peraturan serta
literature yang berisi
8
konsep teoretis yang kemudian dihubungkan
dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.2
Karena penulis menggunakan penelitian
normatif maka penulis juga menggunakan penelitian terhadap asas-asas hukum
dilakukan terhadap kaidah- kaidah hukum, yang merupakan patokan-patokan
berperilaku atau bersikap pantas.3
1.5.2. Pendekatan Masalah
Penulisan skripsi ini utamanya menggunakan
pendekatan Undang-Undang (Statute Approach), yaitu dengan menelaah semua
Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani. Dalam kegiatan praktis pendekatan ini membuka kesempatan untuk
mempelajari konsisten dan kesesuaian antara Undang-Undang dengan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 atau antar regulasi. Disamping itu juga
menggunakan pendekatan konseptual (Conseptual Approach), yang beranjak dari
pandangan- pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu huku.
Dengan pendekatan demikian penelitian akan
menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum yang relevan
dengan isu hukum yang dihadapi.4 Disamping kedua pendekatan itu, dalam penelitian
ini digunakan pendekatan asas-asas hukum (Legal Principle Approach). Legal
pendekatan ini digunakan untuk menggali asas-asas hukum yang berkembang dalam
masyarakat atau praktek penyelenggaraan ketatanegaraan. Disamping itu pula
penulisan skripsi ini menggunakan juga pendekatan sejarah (Historical
Approach). Karena mengingat bahwa Komisi Pemilihan Umum itu pada mulanya tidak
ada.
2 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,
Kencana, Jakarta, 2008, hlm l29
3Soerjono Soekanto, dkk., Penelitian Hukum
Normatif; Suatu tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta,1985, hlm 70
4Ibid, hlm.93-95
9
1.5.3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum merupakan sarana untuk
menganalisa atau memecahkan suatu masalah yang ada dalam suatu penelitian.
Bahan hukum yang diperoleh diharapkan dapat menunjang penulisan skripsi. Sumber
bahan hukum dalam penulisan skripsi ini ada dua macam:, yaitu:
1.5.3.1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum
yang bersifat autoriatif artinya mempunyai otoritas seperti perundang-undangan,
catatan-catatan atau risalah-risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim.5
Menurut Soetandyo Wigjosubroto yang
dimaksud dengan bahan hukum primer adalah semua aturan hukum yang dibentuk dan
atau badan-badan pemerintahan, yang demi tegaknya akan diupayakan akan
berdasarkan daya paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat negara.6
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini terdiri dari:
1.Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2.Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum;
3.Undang-Undang Nomor 15 tahun 2012 Tentang
Penyelanggara Pemilihan Umum;
4.Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 49 tahun 2008.
5Ibid, 141
6Soetandyo Wigjosubroto, Metode Penelitian
Hukum: Apa dan Bagaimana, tth, hlm.26
10
1.5.3.2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder menurut Soetandyo
Wigjosubroto adalah juga seluruh informasi tentang hukum yang berlaku atau yang
pernah berlaku di suatu Negara.7
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan.8 Bahan hukum sekunder yang dipergunakan
dalam skripsi ini adalah buku-buku literatur, jurnal-jurnal hukum dan
tulisan-tulisan tentang hukum.
1.5.3.3. Bahan Non Hukum
Bahan non hukum merupakan sumber hukum non
hukum yang digunakan untuk melengkapi sumber-sumber bahan hukum primer dan
sekunder yang masih dirasa kurang oleh penulis dalam menjawab rumusan masalah
yang ada dalam penulisan skripsi tersebut.9
1.6. Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh, dianalisis dan
Ratio Legis dari Undang- Undang yang berhubungan dengan isu hukum yang dihadapi.
Ratio Legis dapat diartikan sebagai alasan mengapa ada ketentuan.10
Selanjutnya hasil analisis tersebut
diinterpretasikan dengan menggunakan cara berfikir deduktif yaitu suatu cara
mengambil kesimpulan yang berangkat dari pembahasan yang bersifat umum menuju
pembahasan yang bersifat khusus.
Langkah-langkah yang digunakan dalam
melakukan penelitian hukum sebagai berikut:
7Ibid, hlm. 27
8Peter Mahmud Marzuki, Penelitian..op cit,
hlm 141
9Ibid, hlm.163
10Ibid, hlm..140
11
1.Mengidentifikasi fakta dan mengeliminir
hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan.
2.Pengumpulan bahan-bahan hukum dan
bahan-bahan non hukum yang sekiranya dipandang mempunyai relevansi dengan
permasalahan.
3.Melakukan telaah atas isu hukum yang
diajukan berdasarkan bahan- bahan hukum yang telah dikumpulkan.
4.Menarik kesimpulan dalam bentuk
argumentasi yang menjawab hukum.
5.Memberikan preskripsi atau hal yang
sebenarnya harus dilakukan berdasarkan argument yang telah dibangin dalam kesimpulan.11
11 Ibid, hlm.171
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komisi Pemilihan Umum
2.1.1 Pengertian Komisi Pemilihan Umum
Komisi Pemilihan Umum atau KPU tidak dapat
disejajarkan kedudukannya dengan Lembaga-Lembaga (tinggi) negara lain yang
kewenangannya ditentukan dan diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan,
nama Komisi Pemilihan Umum itu sendiri tidaklah ditentukan oleh Undnag-Undang
Dasar 1945, melainkan oleh Undang-Undang tentang Pemilu. Kedudukan KPU sebagai
lembaga negara dapat dianggap sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain yang
dibentuk oleh atau dengan Undang-Undang.
Akan tetapi, karena keberadaan lembaga
penyelenggara pemilihan umum disebut tegas dalam pasal 22 E Undang-Undang Dasar
1945, kedudukannya sebagai penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap
dan mandiri, mau tidak mau menjadi sangat penting artinya, dan keberadaanya
dijamin dan dilindungi secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Inilah salah satu contoh lembaga negara yang dikatakan penting secara konsitusional
atau lembaga negara yang memiliki apa yang disebut secara constitutional
importance, terlepas dari apakah ia diatur eksplisit atau tidak dalam
Undang-Undang Dasar.
Jika lembaga penyelenggara pemilu itu tidak
bersifat nasional, tetap, dan mandiri, maka lembaga tersebut bukanlah lembaga
sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Dasar 1945. Atau jika, disamping
lembaga penyelenggara pemilu yang memnuhi syarat-syarat konstitusi itu diadakan
lagi lembaga lain yang bersifat tandingan, hanya karena para politisi yang
mengendalikan proses pembentukan Undang-Undang (misalnya) tidak menyukai
independensi lembaga penyelenggara yang sudah ada, maka kedudukan
konstituisonal lembaga penyelenggara pemilu itu jelas dilindungi oleh
Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu, meskipun derajat kelembagaannya sama
dengan lembaga-lembaga
12
13
negara lainnya yang dibentuk oleh
Undang-Undang, pembahasan mengenai lembaga KPU ini juga perlu disinggung dalam
bab ini.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah nama
yang diberikan oleh Undang-Undang tentang pemilihan umum untuk lembaga
penyelenggara pemilihan umum (Pemilu). Dalam Pasal 22 E Undang-Undang Dasar
1945 sendiri, nama lembaga penyelenggara Pemilu itu tidak diharuskan bernama
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Itu sebabnya dalam rumusan Pasal 22 E
Undang-Undang Dasar 1945 itu, perkataan Komisi Pemilihan Umum ditulis huruf
kecil. Artinya, komisi pemilihan umum yang disebut dalam Pasal 22 E itu
bukanlah nama, melainkan perkataan umum untuk menyebut lembaga penyelenggara
pemilu itu. Dengan demikian, sebenarnya, Undang-Undang dapat saja memberi nama
kepada lembaga penyelenggara pemilu itu, misalnya, dengan sebutan Badan
Pemilihan Umum atau Komisi Pemilihan Pusat dan Komisi Pemilihan Daerah, dan
sebagainya.
Namun demikian, oleh karena itu sejak
sebelum Perubahan Undang- Undang Dasar 1945, lembaga penyelenggara pemilu itu
sendiri sejak dulu sudah dikenal dengan nama Komisi Pemilihan Umum, lembaga ini
juga tetap dipertahnkan dengan nama yang sama yaitu Komisi Pemilihan Umum.
Karena itulah lembaga penyelenggara pemilu yang sekarang bernama Komisi
Pemilihan Umum sebagai Komisi yang bersifat nasional, tetap dan mandiri sesuai
dengan ketentuan Pasal 22 E ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945.
Di masa yang akan datang, seperti yang
telah dikemukakan diatas dapat saja dikembangkan gagasan bahwa komisi
penyelenggara di tingkat pusat dan daerah. Misalnya, ada Komisi Pemilihan Pusat
untuk menyelenggarakan pemilihan umum nasional, dan komisi pemilihan daerah
untuk meyelenggarakan pemilihan umum di daerah. Akan tetapi sejauh menyangkut
ketentuan mengenai pemilihan umum dan komisi penyelenggara pemilihan umum
menurut Pasal 22 E Undang-Undang Dasar 1945, jelas ditegaskan bahwa komisi
penyelenggara itu harus bersifat nasional. KPU menurut Undang-Undnag No. 12
Tahun 2003
14
tentang Pemilu adalah pelaksana dan
sekaligus pengawas pelaksanaan pemilu. Seharusnya, KPU adalah penyelenggara.
Dalam konsep penyelenggaraan itu tercakup pengertian pelaksanaan dan
pengawasan. Oleh karena itu, KPU sebagai penyelenggara cukup menjalankan fungsi
sebagai policy maker dan regulator. Sedangkan untuk pelaksanaan Pemilu, KPU
membentuk Panitia Pelaksana Pemilu, dan untuk pengawasan oleh KPU dapat
dibentuk Panitia Pengawas Pemilu. Baik Panitia Pelaksana maupun Panitia
Pengawas bersifat ad hoc. Dalam menjalankan tugasnya itu, Komisi Pemilihan Umum
menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat.
2.1.2 Sejarah Pembentukan dan Kewenangan
KPU
Ketentuan mengenai Pemilu diatur dalam Pasal
22 E Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi sebagai berikut:
1.Pemilihan Umum dilaksanakan secara
langsung, Umum, Bebas, rahasia, Jujur dan Adil setiap lima tahun sekali.
2.Pemilihan Umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan
Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3.Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
adalah Partai Politik;
4.Peserta Pemilihan Umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan;
5.Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu
Komisi Pemilihan Umum yang bersifat Nasional, Tetap dan Mandiri.
6.Ketentuan lebih lanjut diatur dengan
Undang-Undang.
Ketentuan lebih lanjut dari amanat Pasal 22
E Undang-Undang Dasar 1945 diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD.
15
Menurut ketentuan umum Pasal I angka 3
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 ditegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umu yang
selanjutnya disebut KPU adalah lembaga yang bersifat Nasional, Tetap, dan
Mandiri, untuk menyelenggarakan Pemilu. Dalam Pasal 15 ditegaskan Pemilu
diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bersifat Nasional, Tetap dan
Mandiri. KPU bertanggungjawab atas penyelenggaraan Pemilu. Dalam melaksanakan
tugasnya, KPU menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan Pemilu pada
Presiden dan DPR.
Tugas dan Wewenang Komisi Pemilihan Umum
adalah:
1.Merencanakan penyelenggaran pemilu;
2.Menetapakan organisasi dan tata cara
semua tahapan pelaksanaan pemilu;
3.Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan
mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilu;
4.Menetapkan peserta pemilu;
5.Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi
dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
6.Menetapkan waktu, tanggal, tata cara,
pelaksanaan kampanyedan pemungutan suara;
7.Menetapkan hasil pemilu dan mengumumkan
calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota;
8.Melakukan evaluasi dan pelaporan
pelaksanaan pemilu;
9.Melaksanakan tugas dan kewenangan lain
yang diatur Undang-Undang.
Secara Rahasia mungkin, KPU yang ada
sekarang merupakan KPU keempat yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak
reformasi 1945. KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun
1999 yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan
Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007)
dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang
berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman
Wahid (Gus
16
Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU ketiga
(2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7 orang
anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan
birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung
dilantik Presiden karena masalah hukum.
Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum
2009, image KPU harus diubah sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan
mampu memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya
Pemilu yang jujur dan adil tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya
wakil rakyat yang lebih berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat.
Sebagai anggota KPU, integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting,
selain menjadi motor penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata
masyarakat karena didukung oleh personal yang jujur dan adil.
Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya
penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR
untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas
penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan
non-partisan.
Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI
menyusun dan bersama pemerintah mensyahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007
Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu
terdapat dalam Pasal 22-E Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23
Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara
Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa
wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum
mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan
KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun
dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri
17
menegaskan KPU dalam menyelenggarakan
Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun.
Perubahan penting dalam undang-undang Nomor
22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, meliputi pengaturan mengenai
lembaga penyelenggara Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kemudian
disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif. Dalam
undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara
pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu. KPU
dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan
perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan
umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan Presiden kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi
PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan
Umum yang bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam
pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal
terwujudnya Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil. Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan
kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik
Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan
dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU
Provinsi, dan Bawaslu.
Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003
Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan
diundangkannya
18
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan
jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidak mengubah secara mendasar
pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan
melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu
Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu,
komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun
terhitung sejak pengucapan sumpah/janji. Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada
asas : mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib penyelenggara Pemilu;
kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas;
akuntabilitas; efisiensi dan efektivitas.
Cara pemilihan calon anggota KPU-menurut
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu-adalah Presiden
membentuk Panitia Tim Seleksi calon anggota KPU tanggal 25 Mei 2007 yang
terdiri dari lima orang yang membantu Presiden menetapkan calon anggota KPU
yang kemudian diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengikuti fit and
proper test. Sesuai dengan bunyi Pasal 13 ayat (3) Undang-undang N0 22 Tahun
2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, Tim Seleksi Calon Anggota KPU pada tanggal 9
Juli 2007 telah menerima 545 orang pendaftar yang berminat menjadi calon
anggota KPU. Dari 545 orang pendaftar, 270 orang lolos seleksi administratif
untuk mengikuti tes tertulis. Dari 270 orang calon yang lolos tes
administratif, 45 orang bakal calon anggota KPU lolos tes tertulis dan rekam
jejak yang diumumkan tanggal 31 Juli 2007.11
11 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5673
daikses tanggal 13 Mei 2013 Pukul 18. 30 WIb
19
2.2 Pengertian Bawaslu
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)
adalah badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bawaslu ditetapkan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Pasal 70 tentang Pemilihan Umum. Jumlah
anggota Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang. Keanggotaan Bawaslu terdiri atas
kalangan professional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan
tidak menjadi anggota partai politik. Dalam melaksanakan tugasnya anggota
Bawaslu didukung oleh Sekretariat Bawaslu. Sekretariat Bawaslu dipimpin oleh
Kepala Sekretariat. Sekretariat Bawaslu dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2008.
2.3 Partai Politik
2.3.1 Pengertian Partai Politik
Partai Politik (parpol) sebagai kekuatan
politik adalah suatu gejala baru bagi semua negara di dunia, dalam arti,
umurnya tidak setua umur masyarakat manusia.12 Usianya tidak lebih dari 100
tahun. Istilah partai politik baru muncul pada abad kesembilan belas ketika
semakin berkembangnya lembaga-lembaga perwakilan, meningkatnya frekuensi
pemilihan umum, dan meluasnya hak rakyat dalam mengambil begian dalam pemilihan
umum. Partai Politik pertama lahir di negara-negara Eropa Barat. Semakin
meluasnya gagasan yang menyatakan rakyat merupakan faktor penting yang perlu
diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik
lahir sebagai Katalisator politik dan berkembang menjadi penghubung antara
rakyat dan pemerintah. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional
dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan
politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik
12 Abdilla Fauzi Achmad, Tata Kelola
Bernegara dalam Perspektif Politik, Golden Terayon Press, Jakarta, 2012, hlm
371
20
Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.13
Partai politik adalah institusi inti rezim
demokratik. Banyak studi diarahkan kepada perilaku partai politik. Sejauh mana
partai dapat berfungsi secara demokratis dan memenuhi impian publik dalam
menuju demokrasi dan kesejahteraan. Studi mengagumkan dilakukan Scully dan
Mainwaring pada tahun 1995 yang berusaha mengukur kinerja partai politik di
negara-negara Amerika Latin dalam periode transisi pasca-rezim otoritarian.
Ketika pengamatan kepada perilaku dan kinerja partai politik menunjukkan hasil
beragam, maka upaya menukik langsung ke tubuh internal partai dan mengurai
pernak-pernik politik internal untuk dapat memahami mengapa suatu partai
berperilaku politik tertentu menjadi objek kajian amat populer dalam ilmu
politik.14
Menurut Sri Soemantri M, partai politik
sebagai infra struktur politik dapat dikatakan sebagai pilar demokrasi, karena
ia memainkan peranan yang penting sebagai penghubung antara the state
(pemerintahan negara) dengan the citizens (warga negaranya). Partai politik,
dalam pandangan positif merupakan pilar atau tiang yang perlu dan bahkan sangat
penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of
institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Derajat
pelembagaan partai politik itu sangat menentukan kualitas demokratisasi
kehidupan politik suatu negara. Akan tetapi dalam pandangan negatif (skeptis),
menyatakan bahwa partai politik tidak lebih daripada sekedar kendaraan politik
bagi sekelompok elit politik yang berkuasa dan sekedar sebagai sarana bagi
mereka untuk memuaskan â€Å“birahi kekuasannya†sendiri.15
Carl J Friedrich, mendefinisikan partai
politik merupakan a pollitical party is a group of human beings, stably
organized with the objective of giving to members of party through such control
ideal and benefits and advantages
(sekelompok manusia yang terorganisasi
secara stabil dengan tujuan merebut dan mempertahankan kekuasaaan partainya,
berdasarkan pengawasan terhadap
13Makalah Suko, Sistem Multi Partai...op.
cit., hlm. 2
14Bima Arya Sugiarto, Anti Partai, Gramata
Publishing, Depok, 2010, hlm. 9
15Ibid
21
pemerintahan bagi pimpinan partainya dan
pengawasan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaat yang bersifat
idiil maupun materiil). 16
Raymond Garfield dalam Political Scince
dalam Abdilla Fauzi memberikan batasan bahwa partai politik terdiri dari
sekelompok warganegara yang sedikit banyak terorganisasi, yang bertindak
sebagai suatu kesatuanpolitik dan dengan kekuasaan untuk memilih bertujuan
mengawasi pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum. (A Political party
consists of a group of citizens, more or less organized, who act a political
uni and who, bye the useof their voting power, aim to control the gonvernment and
carry out their general policees)17
Batasan Partai Politik menurut George B. De
Huszar dan Thomas H Stevanson, adalah sekelompok orang yang terorganisasi untuk
ikut serta mengendalikan pemerintahan, agar dapat melaksanakan programnya dan
menempatkan anggotanya dalam jabatan. 18
Partai Politik adalah organisasi yang
bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara
sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.19
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 31
tahun 2002, disahkan di Jakarta tanggal 27 Desember 2002 yang dimaksud dengan
Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok
warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan
negara melalui pemilihan umum.
16Soelisyati, Ismail Gani, Pengntar Ilmu
Politik , Gahlia Indonesia, Jakarta, 1987, hlm 111-112
17Ibid
18Ibid
19Makalah Suko Wiyono, Sistem Multi Partai
dengan Sistem Presidensiil di Indonesia, Disampaikan pada Asosiasi Pengajar HTN
dan HAN Jawa Timur pada tanggal 27-29 Desember 2009 di Hotel Panorama Jember,
hlm. 1
22
Dari berbagai definisi partai politik,
secara umum dapat disimpulkan bahwa partai politik adalah institusi
(kelembagaan) sosial yang terorganisasi, tempat keberadaan orang-orang atau
golongan-golongan yang sepandangan (sealiran politik), berusaha untuk
memperoleh serta menggunakan dan mempertahankan kekuasaan politik supaya dapat
mempengaruhi kebijakan umum (mengikat masyarakat) dalam kehidupan kenegaraan.
2.4 Pengertian Konsep Demokrasi
Konsep demokrasi semula lahir dari
pemikiran mengenai hubungan negara dan hukum di Yunani Kuno dan dipraktikkan
dalam hidup bernegara antara abad ke-4 Sebelum Masehi sampai abad ke-6 Masehi.
Pada waktu itu dilihat dari pelaksanaannya demokrasi yang dipraktekan bersifat
langsung (direct democracy), yang artinya hak rakyat untuk membuat
keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga
negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. dari pengertian istilah
demokrasi berasal dari bahasa yunani (demos = rakyat; kratos = pemerintahan)
adalah suatu sistem pemerintahan: rakyat diikutsertakan dalam pemerintahan
negara. Menurut perkembangan sekarang, demokrasi tidak hanya meliputi bidang
pemerintahan/politik saja, tetapi juga bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Prinsip dasar Demokrasi merupakan gagasan
mengandaikan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam
pengertian yang lebih partisipatif demokrasi itu bahkan disebut kekuasaan dari,
oleh, untuk dan bersama rakyat. Artinya kekuasaan itu pada pokoknya diakui
berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menyelenggarakan
kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya
juga diperuntukkan untuk rakyat itu sendiri bahkan negara yang baik diidealkan
pula agar diselenggarakan barsama-sama dengan rakyat dengan melibatkan
masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.20
20 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan
Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi pers, Jakarta, 2005 hlm 241
23
Meskipun suatu negara mempunyai suatu
kepala Negara maupun kepala pemerintahan atau apa saja, sebagai suatu simbol
dari negarnya akan tetapi peran serta rakyat merupakan sesuatu kekuatan
kedaulatan yang menyebabkan rakyat mempunyai pengaruh besar ikut andil dalam
menentukan sistem ketatanegaraan bangsanya.
Demokrasi memberikan pemahaman bahwa sumber
dari kekuasaan adalah rakyat. Dengan pemahaman seperti itu, rakyat akan
melahirkan sebuah aturan yang akan menguntungkan dan melindungi hak-haknya.
Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya sebab
dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi
dijamin oleh negara. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian yang diberikan
untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat
kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak sama. Sekedar
untuk menunjukkan betapa rakyat diletakkan pada posisi penting dalam prinsip
demokrasi.
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara
memberi pengertian pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam
masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai
kebijaksanaan negara, oleh karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan
rakyat21. Jadi negara demokarsi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan
kehendak dan kemauan rakyat, atau jika ditinjau dari sudut organisasi ia
berarti suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau
asas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.22
Dalam kaitan itu patut pula dikemukakan
bahwa Henry B. Mayo memberikan pengertian sebagai berikut.
â€Å“A democratic political system is one in
which public are made on a majority basis, by representatives subject to
effective popular control at
21 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi
di Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik dan
Kehidupan, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm
19
22Ibid
24
periodic elections which are conducted on
the principle of political equality and under conditions of political freedom.
23
Kendati dari berbagai pengertian itu
terlihat bahwa rakyat diletakkan pada posisi sentral â€Å“rakyat berkuasa†(government or role by
the people) tetapi di praktikkan oleh UNESCO disimpulkan bahwa ide demokrasi
itu dianggap ambigu atau mempunyai arti ganda, sekurang-kurangnya ada ambiguity
atau ketidak tentuan mengenai keadaan kultural serta historik yang mempengaruhi
istilah, ide dan praktek demokrasi.
Para ahli berpendapat bahwa prinsip-prinsip
hidup bernegara seperti terumuskan di dalam Pancasila (termasuk prinsip
kerakyatan/demokrasinya) telah lama dipraktikan dalam kehidupan nenek moyang
bangsa Indonesia. 24
Matulada mengemukakan bahwa dalam kehidupan
masyarakat Nusantara dikenal adanya kelompok-kelompok masyarakat yang disebut
â€Å“kaum†atau Anang (Bugis) atau Marga (Batak) yang anggota-anggotanya
terikat satu sama lain oleh hubungan kekerabatan yang ketat. Dalam masyarakat
kaum ini tidak terdapat tingkatan-tingkatan yang berdasarkan asal keturunan
yang membedakan seseorang dari orang lainnya, dan ini menjadi corak kerakyatan
dalam kehidupan masyarakat kaum zaman purba nusantara. Berkaitan dengan itu,
Mattulada menuliskan :
â€Å“Kalau demokrasi itu adalah bentuk
pemerintahan sesuatu persekutuan yang berpemerintahan sendiri dalam hal mana
sebagian besar warganya turut mengambil bagian, maka dalam persekutuan kaum
ini, walaupun masih sederhana, ciri tersebut sudah ditemukan.â€
Tabiat demokrasi masyarakat nusantara
seperti dikemukakan di atas adalah tabiat atau corak hidup masyarakat
tradisional dari berbagai kelompok sebelum adanya konsep â€Å“bangsa†Indonesia. Konsep
tentang bangsa Indonesia baru lahir pada awal abad 20 ketika pergerakan
kemerdekaan bangsa dan tuntutan mendirikan Negara Indonesia di atas wilayah
jajahan Hindia Belanda bergelora. Awal abad 20 inilah konsep bangsa dalam
Indonesia modern mulai muncul yang
23Ibid
24Ibid
25
secara resmi (versi formal) ditandai dengan
berdirinya Budi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908. Dalam konsep bangsa Indonesia
inilah dicakup suku bangsa-suku bangsa yang sebelumnya berjuang secara lokal
dengan identitas bangsa yang masih terikat dengan suku atau wilayah
masing-masing. Puncak pernyataan identitas bangsa Indonesia terjadi pada tahun
1928 ketika pada tanggal 28 Oktober terjadi Sumpah Pemuda yang berikrar untuk
berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu: Indonesia.25
2.5. Pengertian Pemilu
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diekspresikan melalui pemilihan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil oleh rakyat terhadap
wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat baik di tingkat
pusat maupun daerah. Pemilu juga merupakan salah satu indikator
terselenggaranya sebuah pemerintahan negara yang demokratis. Pemilu sekaligus
dipakai oleh pemilih sebagai sarana untuk melakukan penilaian terhadap
calon-calon wakil rakyat yang mencalonkan diri untuk duduk dalam lembaga
perwakilan akyat. Sebagaimana lazimnya kegiatan pemilu ini dilakukan sekali
dalam rentang waktu lima tahun sekali.26
Pemilihan umum adalah suatu proses yang
para pemilihnya memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik
tertentu. Jabatan-jabatan tersebut dalam bentukannya beraneka macam, mulai dari
jabatan Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota di berbagai tingkat
pemerintahan, sampai Kepala Desa, dan wakil rakyat untuk para anggota
legislatif. Dalam pemilihan umum, para pemilih juga disebut konstituen, dan
kepada merekalah para peserta pemilihan umum menawarkan janji-janji dan
program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang
telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Apalagi pemilihan umum 2009
yang memilih secara langsung, baik anggota legislatif, yang terdiri atas anggota
DPR, DPRD dan DPD
25Ibid, hlm 33
26Supriyadi, Korelasi Sistem Pemilu Dengan
Kinerja Dewan, disampaikan pada Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur pada
tanggal 27-29 Desember 2009 di Hotel Panorama Jember, hlm. 1
26
serta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dinilai banyak pihak sebagai terobosan baru dalam iklim berdemokrasi sepanjang
sejarah politik di Indonesia setelah pemilu 2004 yang dikenal demokratis
dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.27
Salah satu ciri negara demokrasi adalah
melaksanakan pemilihan umum (pemilu) untuk membentuk pemerintahan atau mengisi
jabatan-jabatan kenegaraan atau pemerintahan. A.S.S. Tambunan mengemukakan,
pemilihan umum merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang pada
hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan daripada hak-hak politik rakyat
sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada rakyat
wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan.28
Pemilu adalah sarana demokrasi yang
daripadanya dapat ditentukan siapa berhak menduduki kursi di lembaga politik
negara, legislatif dan atau eksekutif. Melalui Pemilu rakyat memilih figur yang
dipercaya untuk duduk di lembaga eksekutif dan atau legislatif. Dalam pemilu
rakyat yang telah memenuhi persyaratan memilih secara bebas dan rahasia dengan
aspirasinya. Tentu tidaklah mungkin seluruh aspirasi dapat ditampung. Dari
sekian banyak pilihan aspirasi maka suara terbanyak pemilih dinyatakan sebagai
pemenang karena ia mewakili kehendak rakyat yang terbanyak pula. Aspek
terpenting dalam demokrasi adalah mengakui dan menghormati suara mayoritas.
Namun demikian teramat penting untuk dipahami bahwa arti mayoritas, dalam
demokrasi bukan lahir dari asumsi atau sekedar klaim kuantitas yang bersifat
konstanta. Klaim mayoritas tanpa pemilu atas nama suku, agama, ras atau
golongan (buruh, tani, nelayan dll) jelas bukan demokrasi melainkan tirani.
Setiap kontestan pemilu (baik partai maupun
perseorangan atau independen) sudah memiliki ideologi yang didalamnya
mengandung visi/atau
27Sukamto Satoto, Sistem Pemilu umum,
Jurnal Konstitusi (P3KP) Fakultas Hukum Universitas Jambi Volume II Nomor 1,
Juni 2009, Membangun Konstitusionalitas Indonesia, Membangun Budaya Sadar
Berkonstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Jakarta, 2009, hlm. 18-19.
28Widodo Ekatjahjana, Bunga Rampai Masalah
Hukum Pemilu Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember. hlm 2
27
program dasar pemerintahan. Aspirasi apapun
yang yang dipertarungkan kesemuanya bermuara pada satu cita-cita yakni untuk
menuju dan mencapai masyarakat yang sejahtera. Kendati sama dalam tujuan dan
namun belum tentu sama dengan pendekatan. Masing-masing kontestan memiliki
sudut pandang yang berbeda yang karenanya menjadi menarik. Kendati sama dalam
hal tujuan tetapi belum sama dengan hal pendekatan. Pemilu adalah arena uji
publik atas visi dan program yang ditawarkan oleh siapapun baik partai maupun
individu. Dengan sistm semacam itu maka tidak bisa tidak harus diakui bahwa
demokrasi adalah satu-satunya sistem yang membuka ruang bagi lahir dan
tumbuhnya aneka ragam visi dan misi maupun ideologi, kesemuanya memiliki
kemungkinan yang sama untuk berkembang dengan bebas, sejauh ideologi tersebut
bukan merupakan paham yang bercita-cita untuk membungkam atau melenyapkan paham
lainnya. Dalam demokrasi, paham atau ideologi yang berlandaskan keyakinan
agama, kesukuan, ras, agama memiliki hak berdiri dan sah berkompetisi dalam
pemilu. Pemilu merupakan wujud implementasi kedaulatan rakyat.
Pemilihan umum sebagai salah satu sarana
untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi, paling tidak mesti didasari oleh
beberapa hal, yaitu:
(1)adanya peraturan perundang-undangan yang
memadai sebagai landasan bagi penyelenggaraan pemilihan umum yang demokrasi,
fair, jujur dan adil;
(2)pemilu diselenggarakan dengan
prinsip-prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil;
(3)pemilu diselenggarakan oleh lembaga
penyelenggara pemilihan umum yang berwenang, bersifat independen, tidak memihak
atau netral, transparan, adil dan bertanggungjawab;
(4)adanya lembaga pengawas dan/atau lembaga
pemantau yang dibentuk secara independen, yang berfungsi untuk melakukan
pengawasan atau kontrol terhadap penyelenggaraan pemilihan umum agar dapat
berlangsung secara demokratis, jujur dan legal (sah) berdasarkan hukum dan
keadilan;
28
(5)adanya lembaga peradilan yang independen
dan tidak memihak, yang khusus dibentuk untuk mengenai masalah pelanggaran,
kecurangan dan tindakan-tindakan lainnya yang melanggar nilai-nilai demokrasi,
kejujuran, norma-norma hukum dan keadilan, termasuk memutuskan keabsahan hasil
pemilihan umum yang diselenggarakan;
(6)adanya lembaga penegak hukum yang khusus
bertugas untuk mengawal dan menegakkan norma-norma hukum pemilu agar ditaati
oleh peserta, penyelenggara pemilu, pengawas atau pemantau pemilu
dan masyarakat luas lainnya.29
Arbi Sanit mengemukakan, bahwa pemilu pada
dasarnya memiliki 4 (empat) fungsi utama, yaitu: (1) pembentukan legitimasi
penguasa dan pemerintah; (2) pembentukan perwakilan politik rakyat; (3)
sirkulasi elit penguasa; (4) pendidikan politik. Dilandasi dari keempat fungsi
utama pemilu tersebut, maka sudah semestinya penyelenggaraan pemilu itu agar
berlangsung secara baik, teratur adil, dan tertib harus bertumpu pada aturan
hukum yang menjadi landasannya. Aturan hukum yang menjdi landasan bagi seluruh
rangkaian penyelenggaraan pemilu inilah yang disebut dengan hukum pemilu.30
2.5.1 Penyelenggaran Pemilu yang Demokratis
Pemilu yang demokratis dapat dilihat dari
dua sisi, yaitu sisi proses dan sisi hasilnya. Dari proses, pemilu dapat
dikatakan berkualitas apabila pemilu tersebut berlangsung demokratis, jujur dan
adil, serta aman, tertib dan lancar. Dari sisi proses pemilu 2004, baik pemilu
legislatif maupun pemilu Presiden/Wakil Presiden, dapat dikatakan berkualitas,
karena telah berlangsung secara demokratis, jujur dan adil, serta aman, tertib
dan lancar. Hal ini hanya mendapatkan pengakuan secara nasional, malahan
pengakuan masyarakat Internasional.
Jimmy Carter, Direktur The Carter Center,
menyatakan:
â€Å“Kami mengucapkan selamat kepada rakyat
dan para pemimpn Indonesia atas pelaksanaan Pemilu 2004 Hingga saat ini
delegasi kami memberikan
29Ibid, hlm. 5
30Ibid, hlm. 50
29
penilaian yang positif atas Pemilu
tersebut. Kami sangat senang suasana damai yang terjadi selama pemilu
legislative Indonesia pada April, hingga berlanjut pada pemilu Presidenâ€31
Demikian juga Glynn Ford, Ketua Pemantau
Uni Eropa, menyatakan:
â€Å“Pemilu Indonesia adalah yang terkompleks
di dunia, dimana ada tiga kali pemilihan. Sebagai Negara Muslim terbesar di
dunia dan Negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia mempunyai peran
penting bagi masyarakat Uni Eropa dan dunia.â€32
Dasar penyelenggaraan pemilu yang ideal
bagi suatu negara paling tidak bertumpu pada 3 (tiga) nilai dasar, yaitu : (1)
Negara Hukum; (2) Demokrasi; dan
(3) Nasionalisme. Dasar negara hukum
menurunkan beberapa prinsip yang dapat dipakai dalam menyelenggarakan pemilu,
diantaranya:
(1)peraturan perundang-undangan yang baik,
adil dan demokrasi;
(2)perlindungan hukum yang memadai atas
terlaksananya hak memilih dan dipilih berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
(3)pengawasan dan penerapan sanksi hukum
yang memadai;
(4)peradilan pemilu yang independen dan
tidak memihak;
(5)legitimasi dan keabsahan hasil pemilu.
31Makalah Rozali Abdullah, Sistem Pemilu
Legislatif Dan Pemilu Presiden Ditinjau Dari Sudut Pandang Demokrasi, Jurnal
Knstitusi (P3KP) Fakultas Hukum Universitas Jambi Volume II Nomor 1, Juni 2009
: Membangun Konstitusionalitas Indonesia, Membangun Budaya hlm. 13
32Ibid
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Pengawasan Pemilu
Dilihat dari perjalanan sejarah, posisi dan
fungsi pengawas pemilu berkembang dari lembaga pengawas pemilu yang dimunculkan
pada pemilu 1982 hingga pemilu 2004.
1. Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu di
Masa Orde Baru.
Pada awalnya terbentuknya Pengawas Pemilu
pada Pemilu Orde Baru, atau yang dinamakan Panitia Pengawas Pelaksanaan
Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) dikarenakan banyaknya terjadi pelanggaran dan
kecurangan Pemilu yang terjadi pada tahun 1977, kemudian pemerintah dan DPR
yang didominasi oleh Golkar dan ABRI memiliki gagasan memperbaiki undang-
undang Pemilu yang bertujuan meningkatkan kualitas pemilu berikutnya, yaitu
Pemilu 1982.
Panwaslak Pemilu diposisikan sebagai bagian
dari Lembaga Pemilihan Umum (zaman orde baru) atau KPU (zaman pasca orde baru).
Pada zaman orde baru. Panwaslak bekerja dalam kerangka Lembaga Pemilihan Umum
sehingga harus tunduk kepada kebijakan-kebijakan Lembaga Pemilihan Umum. Dari
hal keanggotaan Panwaslak Pemilu, pemerintah melibatkan partai dalam hal
kepanitiaan Pemilu dan pembentukan Panwaslak Pemilu tersebut diterima oleh DPR
yang diformat ke dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum,
Anggota-Anggota Badan permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 dan Undang-Undang No.2 Tahun
1980.
Ketentuan-ketentuan Tentang Panwaslak
Pemilu dalam UU No.2 Tahun 1980 tidak menjelaskan ruang lingkup tugas
Pengawasan Pemilu, tugas dan kewenangan Pengawas Pemilu, mekanisme dan prosedur
penanganan dan pelanggaran, serta pengisian anggota dan penentuan pimpinan
Panwaslak Pemilu.
30
31
Soal-soal seperti ini diserahkan kepada
Peraturan Pemerintah. Namun Peraturan Pemerintah pun tidak mengatur secara
rinci hal-hal tersebut, kecuali dalam soal pengisian anggota Panwaslak Pemilu
dan Penentuan pimpinannya. Kemudian pada 7 januari 1985, dilakukan perubahan
kembali dengan diberlakukannya Undang-Undang No.1 Tahun 1985 tentang Pemilihan
Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.
Perubahan itu sifatnya hanya redaksional,
sebatas penyesuaian dengan perkembangan hukum. Secara subtansial tidak ada yang
berubah dengan posisi, fungsi, susunan dan struktur organisasi LPU maupun
Struktur Panwaslak Pemilu dan jajarannya. Dua â€Å“Mesin†pemenangan Golkar itu
terus dipertahankan hingga Pemilu 1997. Pemilu terakhir Orde Baru. Karena
keterlibatan anggota partai yang didominasi oleh aparat pemerintah, yang tidak
lain adalah para pendukung Golkar. Yang terjadi adalah sebaliknya, fungsi
Pengawasan Panwaslak Pemilu dilakukan untuk mengatur dan mengendalikan
kepentingan pemenangan Golkar. Sebagai bagian dari â€Å“mesin†pemenangan Golkar.33
2. Panitia Pengawas Pemilu di Tahun 1999.
Meskipun pembentukan Panwaslak Pemilu pada
zaman Orde Baru ditujukan untuk mendukung â€Å“mesin†pemenangan Golkar , namun keberadaan
Pengawas Pemilu tetap dipertahankan pada Pemilu 1999. Sebab, tujuan pembentukan
Pengawas Pemilu sebetulnya sangat strategis, yakni menjaga agar proses pemilu
berlangsung sesuai dengan prinsip Pemilu yang Luber dan Jurdil. Oleh karena
itu, dengan struktur, fungsi dan mekanisme kerja yang baru, Pengawas Pemilu
tetap diaktifkan untuk Pemilu 1999. Namanya pun diubah dari Panitia pengawas
Pelaksana Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) menjadi Panitia Pengawas Pemilihan
Umum (Panwaslu).
Undang-Undang No.3 Tahun 1999 mengatur
bahwa Panwaslu dibentuk di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan
kecamatan. Sedangkan hubungan
33 Didik Supriyanto, 2007, Menjaga
Independensi Penyelenggaraan Pemilu, Jakarta, Perludem, hlm 175
32
antara Panwaslu diberbagai tingkatan itu
bersifat koordinatif dan informatif, bukan hirarkis dan subordinatif.
Undang-undang juga mengatur anggota Panwaslu pusat, Panwaslu Provinsi, Panwaslu
Kabupaten/Kota terdiri atas unsur hakim, perguruan tinggi, dan masyarakat.
Sedangkan anggota Panwaslu Kecamatan terdiri dari unsur perguruan tinggi dan
masyarakat. Selanjutnya disebutkan, susunan Panwaslu ditetapkan oleh Ketua
Mahkamah Agung (MA) untuk pusat, Ketua Pengadilan Tinggi (PT) untuk Provinsi,
Ketua Pengadilan Negeri (PN) untuk Kabupaten/Kota dan Kecamatan.
Adapun tugas dan kewajiban Panwaslu adalah:
1.Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan
Pemilu.
2.Menyelesaikan sengketa atas perselisihan
yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu.
3.Menindaklanjuti temuan, sengketa dan
perselisihan yang tidak dapat diselesaikan untuk dilaporkan kepada instansi
penegak hukum.
Dalam laporan pertanggungjawabannya,
Panwaslu untuk Pemilu 1999 menyimpulkan bahwa lembaga tersebut tidak efektif
dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum peraturan Pemilu. Setidaknya
ada 4 faktor yang menyebabkan ketidakefektifan Panwas Pemilu 1999 dalam menjalankan
fungsinya sebagai penegak hukum peraturan Pemilu: pertama, tugas dan wewenang
Pemilu tidak memadai, kedua, sumber daya manusia (SDM) kurang siap, ketiga,
software dan hardware kurang memadai, keempat, terbatasnya akses informasi.
Dari keempat faktor ini yang menyebabkan ketidak efektifan Panwas Pemilu 1999
tersebut menjadi bahan masukan untuk memperkuat posisi dan fungsi Panwas Pemilu
sebagaimana dituangkan kedalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 dan Undang-Undang
No.23 Tahun 2003 yang mengatur Pemilu Legislatif 2004 dan Pemilu Presiden 2004.
34
34 Didik Supriyanto, Ibid, hlm 49
33
3. Panitia Pengawas Pemilu di Tahun 2004
Undang-Undang No.12 Tahun 2003 menegaskan,
â€Å“untuk melakukan pengawasan Pemilu, dibentuk Panitia Pengawas Pemilu, Panitia
Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia
Pengawas Pemilu Kecamatan.†Adapun mekanisme pembentukannya: Panitia Pengawas (Panwas) Pemilu
dibentuk oleh KPU; Panwas Pemilu Provinsi dibentuk oleh Panwas Pemilu; Panwas
Pemilu Kabupaten/Kota dibentuk oleh Panwas Pemilu Provinsi; Panwas Pemilu
Kecamatan dibentuk oleh Panwas Pemilu Kabupaten/Kota.
Tugas dan wewenang Pengawas Pemilu menurut
Undang-Undang No.12 Tahun 2003, yaitu:
a)Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan
Pemilu.
b)Menerima laporan pelanggaran peraturan
perundang-undangan Pemilu.
c)Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam
penyelenggaraan Pemilu.
d)Meneruskan temuan dan laporan yang tidak
dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang.
Susunan organisasi Panwas Pemilu, Panwas
Pemilu Provinsi, Panwas Pemilu Kabupaten/Kota dan Panwas Pemilu Kecamatan
terdiri dari seorang ketua dan merangkap anggota, dan dibantu seorang wakil
ketua merangkap anggota. Selanjutnya UU No.12 Tahun 2003 mengatur: anggota
Panwas Pemilu sebanyak- banyaknya 9 orang, Panwas Pemilu Provinsi
sebanyak-banyaknya 7 orang, Panwas Pemilu Kabupaten/Kota sebanyak-banyaknya 7
orang, Panwas Pemilu Kecamatan sebanyak-banyaknya 5 orang. Para panitia
pengawas ini berasal dari unsur kepolisian negara, kejaksaan, perguruan tinggi
tokoh masyarakat dan pers.
3.2.Hubungan Tata Kerja antara KPU dan
Bawaslu
3.2.1 Bawaslu sebagai Lembaga yang
Melaksanakan Pengawasan Pemilu
Menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu)
tanpa melibatkan peran Pengawas Pemilu sama saja membiarkan terjadinya
penyelundupan pelanggaran dan kesalahan dalam sistem demokrasi. Bila kita lihat
dalam proses pelaksanaan pemilu sebelumnya, Pemilu 1955, tidak mengenal
pengawas pemil. Baru pada
34
Pemilu 1982, kita baru mengenal lembaga
pengawasan. Pembentukan lembaga pengawas Pemilu tahun 1982 lebih banyak
dilatarbelakangi oleh banyaknya protes atas kecurangan yang dilakukan oleh
Pemilu 1971. Masyarakat sudah jenuh dengan bentuk kecurangan dan pelanggaran
yang secara masif dilakukan pada setiat tahap pelaksanaan Pemilu. Protes
masyarakat atas berbagai kecurangan dan pelanggaran pun direspon positif oleh
DPR, yang manakala pada waktu didominasi oleh Golkar dan militer. DPR pun
berinisiatif untuk membuat Undang-Undang yang bertujuan memperbaiki kualitas
Pemilu, sehingga Pemilu dapat diakui integritas proses dan hasil-hasilnya.
Pemilu tahun 2009 telah berlangsung secara
aman dan damai, dengan segala kekurangan yang menyertainya. Aman dan damainya
Pemilu adalah salah satu aspek penilaian dari sisi non-elektorasi Pemilu, namun
dari sisi elektorasi maka menjadi tugas pokok dan fungsi dari Pengawas Pemilu.
Situasi aman dan damai tidaklah cukup karena yang demikian itu tugas dan pokok
dan fungsi dari lembaga non-elektorasi seperti perangkat keamanan negara. Namun
sebagaimana tugas, wewenang dan kewajiban pengawas Pemilu, peran dan fungsinya
adalah untuk menjamin kualitas (quality assurance) dari Penyelenggaraan Pemilu.
Dengan kata lain boleh saja Lembaga lain menyatakan Pemilu sukses, sudah barang
pasti dari kepentingan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilu.
Sekurang-kurangnya kualitas penyelenggaraan
Pemilu dapat diukur dari sejumlah indikator dibawah ini, sehingga kita bisa
menilai apakah pelaksanaan Pemilu 2009 telah berlangsung secara lebih
berkualitas. Indikator tersebut dipetik dari tujuan Pemilu itu sendiri.
Pertama, tujuan dari Pemilu itu sendiri adalah membentuk pemerintahan yang
demokratis kuat dan memiliki dan mendapat dukungan yang sebesar-besarnya dari
rakyat (legitimate). Kedua, kualitasnya suatu Pemilu diukur dari derajat
kompetisi yang sehat, partisipatif, keterwakilan yang tinggi antara pemilih
dengan yang dipilih dan dengan mekanisme akuntabilitas yang jelas. Ketiga,
Pemilu dapat diukur secara berkualitas bila jadwal dan tahapan Pemilu
berlangsung secara tepat waktusebagaimana yang
35
telah direncanakan sebelumnya. Keempat,
apabila Pemilu dilaksanakan sesuai dengan asas Langsung, Umum Bebas dan Rahasia
serta Jujur dan Adil (Luber dan Jurdil) serta dipatuhinya ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai Pemilu.35 Menurut penilaian Freedom House (1996),
suatu negara demokratis apabila memenuhi kriteria antara lain dari
terselenggaranya Pemilu yang kurang lebih Luber dan Jurdil.
Dalam rangka mewujudkan sistem Pemilu yang
berkualitas demokratis, maka diperlukan instrumen demokrasi lain sebagai
penopang berjalannya proses demokratisasi kepemimpinan bangsa. Pada
Undang-Undang No. 22 tahun 2007 dikatakan, Bawaslu dibentuk guna mendampingi
lembaga Penyelenggara Pemilu yaitu KPU agar berlaku sesuai dengan yang
diharapkan dan dapat berjalan secara efektif.
Pada Pemilu 2004, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang No. 23 tahun 2003, pengawas
Pemilu mempunyai tiga fungsi (tugas dan wewenang), yaitu: Pertama, mengawasi
pelakasanaan setiap tahapan pemilu; Kedua, mengenai kasus-kasus pelanggaran
administrasi Pemilu dan tindak Pidana Pemilu; dan Ketiga, menyelesaikan
sengketa dalam penyelenggaraan Pemilu atau sengketa nonhasil Pemilu.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang
mengawasi setiap tahapan Pemilu, apa yang dilakukan pengawas Pemilu sebetulnya
tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan pemantau Pemilu atau pengamat
Pemilu, yakni sama- sama mengkritik, mengimbau dan memprotes apabila terdapat
hal-hal yang menyimpang dari undang-undang namun terkait dengan dengan
penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran Pemilu, maka pengawas Pemilu menjadi
satu- satunya lembaga yang berhak menerima laporan dari masyarakat. Pengawas
Pemilu kemudian melakukan kajian terhadap laporan atau temuan dugaan
pelanggaran Pemilu untuk memastikan apakah hal tersebut benar-benar
35 Ukuran demokratisnya sebuah negara,
Freedom House (1996) menyusun empat indikator penting: (1) Free and fair
elections; (2) Open, Accountable and responsive gonvernment; (3) To promote and
sustainability of Human Civil Rights; dan (4) A Society of self confident
citizens.
36
mengandung pelanggaran administrasi,
pengawas Pemilu merekomendasikannya kepada KPU/KPUD agar diselesaikan;
sedangkan bila laporan tersebut mengandung unsur pelanggaran pidana pengawas
Pemilu meneruskannya ke penyidik kepolisian. 36
Dengan struktur, fungsi dan mekanisme kerja
yang baru, pengawas Pemilu tetap diaktifkan untuk Pemilu 1999. Namanya pun
diubah dari panitia Pengawas Pelaksana Pemilu (Panwaslak Pemilu) menjadi
panitia Pengawas Pemilu baru dilaksanakan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun
2003. Dalam undang-undang ini menegaskan bahwa, untuk melaksanakan pengawasan
Pemilu dibentuk Panitia Pengawas Pemilu, panitia Pengawas Pemilu Provinsi,
Panitia Pengawas Pemilu Kaupaten/Kota dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.
Peran dan kedudukan lembaga pengawas dalam
sejarah Pemilu di Indonesia baru mengalami perubahan signifikan pasca-Pemilu
2004. Posisi lembaga pengawas yang sebelumnya tidak permanen pada pelaksanaan
pemilu 2009. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat lembaga ini dalam melakukan
pengawasan secara berkelanjutan. Pengawasan yang efektif dan permanen pada
setiap tahapan pelaksanaan Pemilu dengan sendirinya akan mewujudkan tujuan
Pemilu yang berkualitas. Tujuan Pemilu itu sendiri adalah untuk memilih para
wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat, juga
dalam rangka membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh
dukungan yang sebesar-besarnya (legitimasi) dari rakyat sebagaimana diamanatkan
dalam Pembukaan UUD 1945.
Keberdaan lembaga Pengawas Pemilu harus
diposisikan sebagai bagian dari lembaga Penyelenggara Pemilu. Lembaga
Penyelenggara Pemilu bertanggung jawab atas semua proses dan hasil Pemilu,
sehingga fungsi pengawasan sebetulnya merupakan bagian dari penyelenggaraan
Pemilu. Pengawasan dilakukan agar pelaksanaan tahapan-tahapan Pemilu berjalan
sesuai
36 Ramlan Surbakti dkk, Perekayasaan Sistem
Pemilihan Umum: Untuk Pembangunan Tata politik Demokratis, Penerbit, Kemitraan
bagi Pembaruan Tata pemerintahan di Indonesia, Jakarta, 2008 hlm 266.
37
dengan aturan perundang-undangan dan jadwal
yang semestinya sudah direncanakan.
Fungsi pengawasan pemilu mestinya melekat
atau berjalan seiring dengan pelaksanaan Pemilu. Hanya saja, karena banyak
pihak yang belum percaya bahwa KPU/KPUD mampu menjalankan fungsi pengawasan
secara efektif, maka fungsi pengawasan itu diberikan kepada lembaga itu
sendiri. Jadi, pengawas Pemilu adalah bagian dari penyelenggara Pemilu yang
secara khusus bertugas mengawasi pelaksanaan tahapan-tahapan Pemilu agar pemilu
berjalan sesuai dengan peraturan dan jadwal.
3.2.2 Bawaslu Hanya Sebagai Mitra Kerja
dari KPU
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang telah
dibentuk melalui proses rekrutmen yang transparan dan independen berdasarkan
Undang-Undang jelas memiliki peran besar untuk mengawal Pemilu yang demokratis
jujur dan adil. Persoalan utama sekarang ada pada Bawaslu itu sendiri, untuk
mengelola kualias diri, baik melalui proses perumusan dan pembuatan regulasi
pengawasan, semangat sumber daya insaninya dan kemampuannya untuk menggali
sekaligus menggairahkan potensi-potensi yang ada pada rakyat untuk menjadi
pemilih yang kritis.
Dalam setiap penyelenggaran Pemilu terutama
pada Pemilu 2004 dan terulang pula pada Pemilu 2009, Pengawas Pemilu memiliki
lingkuo kewenangan yang terbatas. Sejumlah pihak menilai, pengawas Pemilu
dikatakan hanya sebagai pelopor dan tukang pos. Betapapun begitu, satu hal yang
perlu dicatat disini adalah demikian kuatnya segenap anggota pengawas Pemilu
dalam menempatkan dirinya untuk lebih efektif lagi dalam menempatkan dirinya
untuk lebih efektif lagi dalam menjalankan tugas, wewenang, dan kewajiban dalam
mengawasi tahapan-tahapan Pemilu, sebagaimana kerjasanma yang dibangun dengan
kelompok-kelompok masyarakat seperti organisasi masyarakat sipil yang berbasis
pada public interest dalam Pemilu.
38
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat ini
sudah jauh lebh baik, bak kewenangan, kemandirian dan jumlahnya yang lebih
luas, karena sudah memiliki Pengawas Lapangan di tiap-tiap desa. Harapan rakyat
sudah sangat jelas melalui peningkatkan kerja dan karenanya tidaklah salah jika
semua pihak memiliki beberapa asas yang memungkinkan lembaga ini bisa
diharapkan untuk mewujudkan Pemilu yang berkualitas dan bermartabat. Beberapa
asas tersebut diantaranya: asas kemitraan, dan asas legalitas. Tentu saja,
kedua asas ini merupakan bukti eksistensi dan argumentasi lembaga dalam
menjalankan fungsi dan tugasnya.
Asas kemitraan sangat penting untuk menjadi
perhatian bersama, baik Bawaslu maupun interset grup Pemilu, yakni
lembaga-lembaga pemantau merupakan bagian dari masyarakat pemilih yang memiliki
kesadaran kritis, dan dengan kapasitas keswadayaannya, dapat membangun semangat
kritis di tengah- tengah masyarakat. Dalam konteks ini, batasan-batasan
terhadap lembaga- lembaga pemantau, terutama kriteria bagi suatu akreditasi,
mesti secara jujur jernih dan adil dirumuskan. Persoalan utamanya sering
berkait dengan kehendak untuk pengamanan para penyelenggara pemilu. Oleh sebab
itu akreditasi terhadap lembaga-lembaga pemantau harus diperlonggar, terutama
keharusan untuk terlebih dahulu melaporkan pemantauannya kepada penyelenggara.
Kebebasan merupakan suatu substansi yang tidak dapat dihilangkan, jika
masyarakat diharapkan jadi pengawas dalam Pemilu.
Dengan posisinya yang strategis dalam
tujuan mewujudkan Pemilu yang bersih, jujur dan adil, keberadaan lembaga
pengawas Pemilu ini merupakan sebuah institusi yang meiliki kewenangan untuk
melakukan pengawasan selama berlangsungnya proses Pemilu. Pengawasan sendiri
dilakukan oleh panwaslu tidak hanya kepada kontestan, dalam hal ini partai
politik peserta Pemilu, tetapi juga pada penyelenggara Pemilu, yaitu Komisi
Pemilihan Umum (KPU), jika sampai institusi ini tidak ada, tentunya fungsi
pengawasan tidak akan berjalan dengan maksimal. Selain itu, tidak adanya
Panwaslu juga akan berdampak pada hasil Pemilu yang nantinya kurang memenuhi
unsur legitimasi.
39
3.3. Bawaslu tidak Bertanggung Jawab kepada
KPU
3.3.1 Bawaslu Sebagai Lembaga Negara yang
Independen
Bawaslu dibentuk melalui Undang-Undang No.
22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Selanjutnya undang-undang
ini dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. 37 adapun
hasil analisis menunjukkan bahwa:
1.Independensi Bawaslu â€Å“tidak†dinyatakan oleh
Pembentuk Undang- Undang No. 15 Tahun 2011. Satu-satunya legitimasi yuridis
yang secara tidak langsung menjamin independensi Bawaslu adalah Pasal 22 E ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan
bahwa: â€Å“Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.†Dengan demikian, Bawaslu untuk kategori ini
tidak terpenuhi.
2.Bawaslu independen, dalam artian bebas
dari pengaruh kehendak, ataupun kontrol dari cabang kekuasaan eksekutif, dan
tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan tersebut. Hal ini, meskipun tidak
diatur dalam Undang- Undang No. 15 Tahun 2011, namun nampak dari pola pengisian
jabatannya, dan original intent dari pembentuk undang-undang.
3.Pemberhentian dan pengangkatan anggota
Bawaslu menggunakan mekanisme yang diatur khusus, bukan semata-mata berdasarkan
kehendak presiden (poliical appointee).
4.Kepemimpinan bawaslu bersifat kolektif
kolegial, jumlah anggotaatau
komisioner bersifat ganjil (5) dan
keputusan diambil secara mayoritas
37 Tidak banyak perubahan berarti tentang
Bawaslu yang diatur dalam UU ini. Perubahan yang patut dicatat adalah proses
pengangkatan anggota Bawaslu yang tidak lagi melinatkan KPU. Yang Pasti,
Bawaslu merupakan â€Å“Lembaga penyelenggara Pemilu†dengan tugas mengawasi penyelenggaraan
Pemilu diseluruh wilayah NKRI.
40
suara. Hal ini tercermin dalam Pasal 72
ayat (2) huruf a yang menentukan bahwa, â€Å“jumlah anggota Bawaslu sebanyak 5
(lima) orang.â€
5.Kepemimpinan Bawaslu tidak dikuasai atau
tidak mayoritas berasal dari partai politik tertentu. Pasal 85 huruf (i) tidak
memberikan empat bagi anggota partai politik untuk menjabat sebagai anggota
Bawaslu.
6.Masa jabatan Anggota Bawaslu definitif,
dan habis secara bersamaan. Hal ini tercermin dalam Pasal 72 ayat (9) yang
menyatakan: â€Å“Masa keanggotaan Bawaslu dan Bawaslu Provinsi adalah lima (5)
tahun terhitung sejak pengucapan sumpah atau janji. Dengan demikian untuk
kategori ini Bawaslu hanya memnuhi karakteristik masa jabatan pimpinan
definitif, namun tidak menggunakan penggantian secara bertahap (staggered
terms).
7.Keanggotaan Bawaslu tidak ditujukan untuk
menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat nonpartisan. Pasal 85 tidak
menentukan keanggotaan Bawaslu untuk menjaga keseimbangan perwakilan yang
bersifat nonpartisan.
Adapun tugas dan fungsi Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 entang
penyelenggaraan Pemilihan Umum mulai dari Pasal 70-84 secara jelas yaitu:
1.Mengawasi setiap tahapan penyelenggaraan
Pemilu yang meliputi:
a)Pemutakhiran data pemilih berdasarkan
data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih
tetap;
b)Penetapan peserta pemilu;
c)Pencalonan yang berkaitan dengan
persyaratan dan tata cara pencalonan anggota DPR/DPD/DPRD, pasangan calon
presiden dan wakil presiden, dan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah,
41
d)Proses penetapan calon anggota
DPR/DPD/DPRD, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pasangan calon
Kepala Daerah;
e)Pelaksanaan kampanye;
f)Perlengkapan Pemilu dan Pendistribusiannya;
g)Pelaksanaan pemungutan suara dan
penghitungan suara, berita acara penghitungan suara hasil di TPS;
h)Pergerakan surat suara, berita acara
perhitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara dari tingkat TPS
ampai ke PPK;
i)Proses rekapitulasi suara di PPK, KPU
Kabupaten/Kota, KPU Provinsi dan KPU;
j)Pelaksanaan penghitungan dan pemungutan
suara ulang, Pemilu susulan;
k)Proses penetapan hasil Pemilu.
2.Menerima laporan dugaan pelanggaran
terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu;
3.Menyampaikan hasil temuan dan laporan
kepada KPU untuk ditindak lanjuti;
4.Meneruskan temuan dan laporan yang bukan
menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;
5.Menetapkan standar pengawasan tahapan
penyelenggaraan Pemilu sebagai pedoman kerja bagi pengawas Pemilu di setiap
tingkatan;
6.Mengawasi pelaksanaan penetapan daerah
pemilihan dan jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan berdasarkan peraturan
perundnag-undangan;
42
7.Mengawasi pelaksanaan tindak lanjut
rekomendasi pengenaan sanksi kepada anggota KPU, KPU Provinsi, Sekretariat
Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, Sekretaris KPU kabupaten/Kota
dan pegawai Sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan pelanggaran
Pemilu yang sedang berlangsung;
8.Mengawasi Pelaksanaan sosialisasi
penyelanggara Pemilu;
9.Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang
ditetapkan oleh undang- undang.
Tugas dan Wewenang Bawaslu ini menjadi
lebih luas bila dibandingkan dengan Pengawas Pemilu sebelumnya yang diatur
dalam ketentuan Pasal 120 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Dalam peraturan
tersebut, tugas dan wewenangnya hanya dirangkum menjadi empat poin diantaranya:
a.Mengawasi semua tahapan penyelenggaran
Pemilu;
b.Menerima laporan pelanggaran peraturan
perundang-undangan Pemilu;
c.Menyelesaikan sengketa yang timbul dari
dalam Penyelenggaran Pemilu;
d.Meneruskan temuan dan laporan yang tidak
dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenag.
Selain itu, perbedaan yang spesifik antara
Bawaslu dengan Panwaslu, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun
2007 terdapat dalam soal kewenangan. Dalam undang-undang ini, Bawaslu diberikan
kewenangan untuk memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menonaktifkan
sementara atau memberikan sanksi administratif kepada pesera Pemilu yang
melakukan pelanggaran. Rekomendasi Bawaslu yang diajukan kepada KPU mengenai
adanya sejumlah anggota DPD dan Calon legislatif yang tidak menyerahkan daftar
laporan dana awal kampanye, sehingga Bawaslu memutuskan agar KPU mencoret
43
anggota tersebut dari daftar kepesertaan
Pemilu. KPU pun sebagai pihak penyelenggara melakukan pencoretan terhadap
nama-nama yang direkomendasikan oleh Bawaslu karena adanya tindak pelanggaran
yang telah dilakukannya.
Selain itu di dalam Undnag-Undang Nomor 22
Tahun 2007 juga memberikan rekomendasi kepada bawaslu untuk menyerahkan dan
melaporkan unsur pelanggaran tindak pidana kepada pihak yang berwenang, yaitu
pihak kepolisian. Salah satu kasus yang yang mengindikasikan adanya pelimpahan
wewenang ini dari Bawaslu kepada pihak kepolisian adalah ketika Bawaslu banyak
menerima laporan dari berbagai panwas Pemilu, baik di tingkat Provinsi,
Kabupaten/Kota yang menemukan adanya indikasi politik uang (money politics).
Melakukan politik uang dalam Pemilu merupakan salah satu pelanggaran tindak
pidana, dan Bawaslu tidak berhak mengusut tuntas permasalahan tersebut. Oleh
sebab itu, Bawaslu pun harus bekerja sama dengan pihak-pihak yang berwenang seperti
kepolisian dan kejaksaan.
Selain memberikan tugas dan wewenang,
undang-undang ini juga mengisyaratkan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi
oleh Bawaslu sebagai salah satu Penyelenggara Pemilu yang diatur dalam Pasal
75. Beberapa kewajiban tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1.Bersikap tidak diskriminatif dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya;
2.Melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan tugas pengawas Pemilu pada semua tingkatan;
3.Menerima dan menindaklanjuti laporan yang
berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan mengenai Pemilu;
4.Menyampaikan laporan hasil pengawasan
kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan KPU sesuai dengan tahapan Pemilu
secara periodik atau berdasarkan kebutuhan;
44
5.Melaksanakan kewajiban lain yang
diberikan oleh peraturan Perundang- Undangan.
Berdasarkan analisis diatas, tampak jelas
bahwa Bawaslu hanya memenuhi karakteristik syarat teoritis (2,3,4,5,6 dengan
catatan tidak menggunakan staggered terms). Kendati independensi Bawaslu tidak
secara eksplisit diatur dalam undang-undang, dan nampaknya dibentuk sebagai
supporting organ terhadap Komisi Pemilihan Umum, Bawaslu merupakan komisi
negara independen. Hal ini dikarenakan, Bawaslu tidak secara struktural
dikendalikan oleh KPU, dan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak
bertanggung jawab kepada KPU, melainkan memberikan laporan pengawasan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. 38Bawaslu merupakan komisi negara
independen yang unik, dikarenakan satu-satunya mempunyai fungsi monitoring atau
pengawasan dan menunjang komisi negara independen yang lainnya (KPU).
38 Hal ini tertuang dalam Putusan Mahkamah
Konstiusi Nomor 11/PUU-VII/2010, tanggal 7 Maret 2010 terkait uji materi
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilu, menguatkan
kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menyeleksi dan menetapkan
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Dengan demikian, perekrutan calon Panwas
tidak lagi melibatkan KPU seperti sebelumnya, dan Bawaslu memiliki kewenangan
penuh menyeleksi dan menetapkan calon panwaslu provinsi dan kabupaten kota.
Sedangkan di tingkat kecamatan, Panwaslu kabupaten/kota memiliki kewenangan
menetapkan panwaslu kecamatan. Menurut Mahkamah Konstitusi, sistem rekrutmen
sebelumnya di mana calon panwaslu diusulkan oleh KPU, merupakan mekanisme
rekrutmen yang akan mengakibatkan anggota-anggota pengawas pemilu menjadi
tergantung pada KPU, sehingga kemadiriannya terganggu dan mengakibatkan saling
hambat antara Bawaslu dan KPU.
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa:
a.Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, Kedudukan Lembaga Pengawas Pemilu yang
semula bersifat sementara (kepanitiaan) dikembangkan menjadi Lembaga tetap,
yaitu: Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum). Dalam hal ini kedudukan Bawaslu
tidak lagi subordinat KPU, tetapi di sejajarkan dengan KPU. Selanjutnya
Undang-Undang No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu juga memperluas
wewenang Bawaslu. Dimana Berdasarkan Undang-Undang No.12 Tahun 2003 dan
Undang-Undang No.23 Tahun 2003, Panwas Pemilu hanya memiliki wewenang mengawasi
pelaksanaan setiap tahapan pemilu, menangani pelanggaran pemilu dan
menyelesaikan sengketa pemilu. Sedangkan dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2007,
Bawaslu mempunyai satu wewenang lagi, yakni merekomendasikan pemberhentian
anggota KPU/KPUD dan panitia pemilihan yang diduga melakukan pelanggaran kode
etik dan Undang-undang Pemilu.
b.Bawaslu sebagai Lembaga Negara Independen
adalah suatu Badan dalam hal ini sebagai Pengawas Pemilu sebagai salah satu
Pemyelenggara Pemilu hanya sebagai Mitra Kerja dari KPU dan bukan sebagai
Lambaga yang menjadi lembaga dibawah KPU. Oleh sebab itu Bawaslu tidak
bertanggung jawab Kepada KPU meskipun dia sebagai perekomendasi kepada KPU
apabila terjadi kecurangan selama mulai awal hingga akhir proses penghitungan
suara Pemilihan Umum.
45
46
2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan oleh
Penulis hanya satu yaitu:
Di dalam Ketentuan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum maka harus dibentuk lagi
Undnag-undang yang baru. Kaitannya dengan Lembaga Pengawas Pemilu atau Bawaslu
yang didalamnya memuat Tugas dan Fungsi Bawaslu sebagai Komisi Negara
Independen sehingga tidak terjadi tumpang tindih fungsi dan ugas dengan lembaga
yang lain dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum. Sehingga Praktek tarik
ulur kepentingan yang seringkali terjadi dalam kecurangan- kecurangan sewaktu
Pemilihan Umum berlangsung dapat segera teratasi guna mewujudkan Pemilihan Umum
yang demokratis.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdilla Fauzi Achmad, 2012, Tata Kelola
Bernegara dalam Perspektif Politik, Golden Terayon Press, Jakarta
Bima Arya Sugiarto, 2010, Anti Partai,
Gramata Publishing, Depok.
Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada
dan Tiada, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Didik Supriyanto, 2007, Menjaga
Independensi Penyelenggara Pemilu, Perludem,
Jakarta.
Gunawan A Tauda, 2012, Komisi Negara
Independen, Genta Press, Yogyakarta
Janedri M. Gaffar, 2012, Politik Hukum
Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta
Jimly Asshiddiqie, 2010, Perkembangan dan
Konsolidasi Lembaga Negara, Sinar Grafika, Jakarta
Nur Hidayat Sardini, 2011, Restorasi
Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia, Fajar Media Press, Yogyakarta
Ni̢۪matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara,
Rajawali Press, Jakarta
Soerjono Soekanto, 1985 dkk., Penelitian
Hukum Normatif; Suatu tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta,
Universitas Jember, 2011, Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah, Jember University Press, Jember.
Widodo Ekatjahjana, 2009, Bunga Rampai
Masalah Hukum Pemilu Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Jember, Jember.
47
JURNAL
Rozali Abdullah, 2009, Sistem Pemilu
Legislatif Dan Pemilu Presiden Ditinjau Dari Sudut Pandang Demokrasi, Jurnal
Knstitusi (P3KP) Fakultas Hukum Universitas Jambi Volume II Nomor 1, Juni 2009
: Membangun Konstitusionalitas Indonesia, Membangun Budaya
Suko Wiyono, Pemilu Multi Partai Dan
Stabilitas Pemerintahan Presidensiil di Indonesia, disampaikan pada Acara
Seminar Ketatanegaraan Dan Refleksi Akhir Tahun 2009 Asosiasi Pengajar HTN Dan
HAN Jawa Timur, tanggal 27 s/d 29 Desember Di Hotel Panorama Jember.
Supriyadi, Korelasi Sistem Pemilu Dengan
Kinerja Dewan, Disampaikan Pada Acara Seminar Ketatanegaraan Dan Refleksi Akhir
Tahun 2009 Asosiasi Pengajar HTN Dan HAN Jawa Timur, tanggal 27 s/d 29 Desember
Di Hotel Panorama Jember.
PERATURAN dan UNDANG-UNDANG
1.Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2.Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum;
3.Undang-Undang Nomor 15 tahun 2012 Tentang
Penyelanggara Pemilihan Umum;
4.Peraturan Bawaslu Nomor 10 Tahun 2004;
5.Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 49 tahun 2008;
INTERNET http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5673
48
LaporanteksdeskripsiTentangwisataancol
BAB.1
1.1:LatarBelakang
merupakan inindustriterbesarataubisajaditercepatpembangunannya
di dunia. Sektorpariwisatatelahmenjadiindustri yang sangatprospektifdankompetitifwaktu
di masakini. Haltersebutdidasarkanataskenyataanbahwakemajuanteknologisertasemakintingginyatingkat
kesejahteraanmasyarakatsehinggamendorongpertumbuhanmobilitaswisatawaninternasionaldaritahunketahunmenjadisangatpesatataumeningkat.
pariwisatasebagaisektor yang
tidakdapatdipisahkandarikehidupanmanusia
terutamamenyangkutkegiatansosialdanekonomi.
Berdasarkan data WTO tahun 2001, pariwisatatelahmemberikankonteribusisesbesar
11% bagi Gross Domestic Productdiduniadenganmemperkerjakan 200 juta orang
sejaktahun1950 hingga 1998. WTO jugamengungkapkan (2000) bahwawisatawaancoladalahwahanawisataterbesar
di indonesia.
1.2: Tujuan
Tujuanwaktuitusayabersamakeluargasayauntukmenenangkanpikirandansebagaibeerlibur
di tananancolwaktusayamasihberada di kelas 2
smp,sayamelakukanrekreasipadawaktuitubesamakeluargabesarsaya
BAB.2
I.SatuSisiLaporan
Kegiatankaryawisatadilaksanakanpadawaktulibursekolah,
yaitupadatanggal20Oktober 2012 – 28Oktober 2012 (7 hari7malam) dengan
menggunakan2 armada transportasiyaitu bus dankapallaut., Selamakaryawisatalibursekolahtahun
2012ini, keluargabersama, pemanduwisata, danlainnyaakanmengunjungidaerah di ancol,
2.1tabel
NO
|
waktu
|
kegiatan
|
|
13-13.30
|
Makansiang
|
|
13.30-15
|
Jajal-jalankelilingancol
|
|
15-15.30
|
Renang di kolam
|
|
15.30-16
|
Masihberada di dalamwahana air
|
BAB 3
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Secaraumumpelaksanaanbauranpemasaranpariwisata
yang dilakukanoleh Taman Impian Jaya Ancol yang terdiridariproduk promotion,
danpricecukupefektif.
saranpariwisata yang diuji, yang memilikikontribusi paling
tinggiadalahprogramminghaltersebutdikarenakan Taman Ancolselalumembuat
programacara yang
menariksepertimenyajikanpertunjukaninternasionalseperti Police Academdll.
3.2 Salam
Selamattingaltamanimpianancolsuatusaatpastiakuakandatangkembalikehadapanmuwahaitamanrekreasiacol.
By :REGA HARDIYANTO
Kamis,
28 Maret 2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Amanat amandemen Undang-undang Dasar Negara RI tahun 1945
mengisyaratkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang – Undang. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah
salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat diwilayah propinsi atau
Kabupaten berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara
langsung oleh rakyat merupakan proses politik bagi bangsa Indonesia menuju
kehidupan politik yang lebih demokratis dan bertanggungjawab, sedangkan
Pengawasan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu yang dibentuk secara berjenjang (
Panwas Provinsi, Panwas Kabupaten , Panwas Tingkat Kecamatan, dan Pengawas
Pemilu Lapangan
). Panitia Pengawas Pemilihan Umum melakukan Pengawasan atas seluruh tahapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah, Panitia Pengawas Pemilihan Umum menerima Laporan pelanggaran
perundang-undangan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan
mengkajinya dalam waktu sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.
Panitia Pengawas pemilihan Umum meneruskan temuan dan laporan yang
merupakan pelanggaran Administratif kepada KPUD serta meneruskan temuan
dan laporan yang mengandung unsur pidana kepada penyidik.Panitia Pengawas
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menyelesaikan sengketa sesuai tahapan yang
ditentukan undang – undang.
Laporan Akhir hasil pengawasan Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 di wilayah kecamatan Leuwisari Kabupaten
Tasikmalaya ini diharapkan
bisa memberikan gambaran terhadap pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
Jawa Barat Tahun 2013 yang dilaksanakan
pada tanggal 24 Februari2013.
Secara umum dari hasil Pengawasan Panwaslukada
Kecamatan Leuwisari terhadap pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
Jawa Barat Tahun 2013 khususnya di Kecamatan Leuwisari telah berjalan sesuai
dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dapat dilihat dari hasil
yang dicapai pada Pelaksanaan Pemilu tersebut, serta suasana yang kondusif
pasca Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013
yang berjalan dengan aman dan tentram.
1.2
Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud
Berdasarkan
latar belakang diatas, Kami Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 menyusun Laporan Akhir hasil pengawasan Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 di wilayah kecamatan Leuwisari
Kabupaten Tasikmalaya. sehingga kita bisa memberikan penilaian terhadap
pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 yang
dilaksanakan pada tanggal 24Februari 2013.
1.2.2 Tujuan
Penyusunan
laporan akhir hasil pangawasan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 ini bertujuan
:
a. Sebagai bahan laporan
pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas sebagai Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 atas keseluruhan pelaksanaan tugas selama masa bakti.
b. Memberikan gambaran umum hasil
pengawasan pada setiap tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 di wilayah
kecamatan Leuwisari.
c. Sebagai bahan analisis dan evaluasi
terhadap proses pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013.
d. Sebagai tuntunan normatif peraturan
perundang-undangan tentang Pengawasan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 mengenai
laporan pertanggungjawaban.
e. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan
bagi pelaksanaan tugas Panitia Pengawas Pemilihan di masa yang akan datang.
1.3 Sistem
Penulisan Laporan
BAB
I : PENDAHULUAN
Berisikan
latar belakang penyusunan laporan akhir, maksud dan tujuan, dan sitematika isi
laporan sebagai kerangka pemikiran tiap-tiap bab.
BAB
II : GAMBARAN UMUM PANITIA
PENGAWAS
Berisikan
keberadaan Panwas Pemilihan berdasakan Perundang-undangan, Tugas dan Wewenang
Panwas, Struktur Organisasi, Program Kerja, Pembinaan dan Kerja Sama serta
Fasilitas dan Pendanaan yang dimiliki oleh Panwas.
BAB
III : TAHAPAN PILGUB DAN WAGUB
JABAR 2013
Berisikan
tahapan-tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013
diantaranya Tahap Pemutakhiran Data Pemilih, Tahap Pendaftaran dan Penetapan
Pasangan Calon, Tahap Kampanye dan masa Tenang dan Tahap Pemungutan dan Penghitungan Suara serta Penetapan
Hasil.
BAB
IV : PENGAWASAN TAHAPAN PILGUB
DAN WAGUB JABAR 2013.
Berisikan
pengawasan pada tahap Pemutakhiran Data Pemilih, Pendaftaran dan Penetapan
Calon, Kampanye dan Masa Tenang serta pengawasan terhadap Pemungutan dan
Penghitungan Suara serta Penetapan Hasil.
BAB V : PELANGGARAN
DAN SENGKETA
Berisikan
pelanggaran-pelanggran yang terjadi pada seluruh tahapan pelaksanaan Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 berikut penaganannya.Selain
itu juga berisikan sengketa yang timbul pada tahapan pelaksanaan Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 berikut penyelesainnya.
BAB
VI : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berisikan
kesimpulan dari laporan akhir hasil Pengawasan Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 disertai dengan rekomendasi.
BAB II
GAMBARAN UMUM
PANITIA PENGAWAS
2.1 Panwas Berdasarkan Perundangan
Bahwa dalam rangka mewujudkan penyelenggara pemilihan
umum yang berintegritas dan berkredibilitas serta penyelenggaraan pemilihan
umum yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan demokratis, diperlukan
pengawasan terhadap pelaksanaan Pemilihan Umum.
Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Nomor
15 Tahun 2011 menyatakan bahwa Pengawasan penyelenggaraan Pemilu
dilakukan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu
Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
Sedangkan pasal 70 Undang-undang Nomor
15 Tahun 2011 menyatakan bahwa Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu
Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan
sebelum tahapan pertama penyelenggaraan Pemilu dimulai dan berakhir paling
lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu selesai.
2.2 Tugas dan Wewenang
Adapun tugas dan wewenang Panwaslu menurut undang-undang,
sesuai tingkatannya adalah sebagai berikut :
2.2.1 Tugas dan
Wewenang Panwaslu Kecamatan
Dasar :
Sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 pasal 79 bahwa Panwaslu Kecamatan
mempunyai
tugas dan wewenang sebagai berikut:
a.
mengawasi
tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan yang meliputi:
1. pemutakhiran data pemilih
berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar
pemilih tetap.
2.
pelaksanaan
kampanye.
3. logistik Pemilu dan
pendistribusiannya.
4. pelaksanaan pemungutan dan
penghitungan suara hasil Pemilu.
5. pergerakan surat suara dari TPS
sampai ke PPK.
6. proses rekapitulasi suara yang
dilakukan oleh PPK dari seluruh TPS, dan
7. pelaksanaan penghitungan dan
pemungutan suara ulang, Pemilu susulan dan Pemilu Lanjutan.
b. menerima laporan dugaan pelanggaran
terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan oleh Penyelenggara
Pemilu sebagaimana dimaksud pada huruf a.
c. menyampaikan temuan dan laporan
kepada PPK untuk ditindaklanjuti.
d. meneruskan temuan dan laporan yang
bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang..
e. mengawasi pelaksanaan sosialisasi
penyelenggaraan Pemilu.
f. memberikan rekomendasi kepada yang
berwenang atas temuan dan laporanmengenai tindakan yang mengandung unsur tindak
pidana Pemilu; dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang lain
sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.
2.2.2 Tugas dan
Wewenang Pengawas Pemilu Lapangan (PPL)
Dasar :
Pasal 81 Undang-undang Nomor 15 Tahun
2011 menyatakan bahwa “Tugas dan wewenang Pengawas Pemilu Lapangan adalah:
a. mengawasi tahapan penyelenggaraan
Pemilu di tingkat desa/kelurahan yang meliputi:
1. pelaksanaan pemutakhiran data
pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara,
daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap.
2. pelaksanaan kampanye.
3. logistik Pemilu dan
pendistribusiannya.
4. pelaksanaan pemungutan suara dan
proses penghitungan suara di setiap TPS.
5. pengumuman hasil penghitungan suara
di setiap TPS.
6. pengumuman hasil penghitungan suara
dari TPS yang ditempelkan di sekretariat PPS.
7. pergerakan surat suara dari TPS
sampai ke PPK; dan
8. pelaksanaan penghitungan dan
pemungutan suara ulang, Pemilu lanjutan, dan Pemilu susulan.
b. menerima laporan dugaan pelanggaran
terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan oleh Penyelenggara
Pemilu sebagaimana dimaksud pada huruf a
c. meneruskan temuan dan laporan dugaan
pelanggaran terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilu sebagaimana dimaksud pada
huruf b kepada instansi yang berwenang
d. menyampaikan temuan dan laporan
kepada PPS dan KPPS untuk ditindaklanjuti
e. memberikan rekomendasi kepada yang
berwenang atas temuan dan laporan tentang adanya tindakan yang mengandung unsur
tindak pidana Pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan
f.
mengawasi
pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu; dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang lain
yang diberikan oleh Panwaslu Kecamatan.
2.3 Struktur Organisasi
|
|||||
|
|||||
|
Gambar.2.1
Struktur Organisasi Panwaslu Kecamatan
·
Ketua : 1 orang
·
Anggota : 2 orang
·
Kepala
Sekretariat :
1 orang
·
Bendahara : 1 orang
·
Pegawai Sekretariat : 2 orang
·
Pengawas
Pemilu Lapangan ( PPL ) :
7 orang
Sedangkan mempermudah kelancaran dalam melaksanakan
tugas, Panwaslukada kecamatan Leuwisari melakukan pembagian tugas diatur sebagai berikut :
F Ketua : Divisi Umum
F Anggota :
Divisi Pengawasan
F Anggota :
Divisi Pelaporan dan Penanganan Pelanggaran
F Kesekretariatan Panwaslu Kecamatan bertugas membantu
kelancaran tugas dan wewenang Panwaslu Kecamatan. Kepala Sekretariat Panwaslu
kecamatan bertanggungjawab kepada Panwaslu Kecamatan.
2.4 Program Kerja Panwas Pilgub dan Wagub Jabar Tahun 2013
Untuk mempermudah dan memperlancar dalam melaksanakan
pengawasan, Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat
Tahun 2013 kecamatan Leuwisari menyusun program kerja yang disesuaikan dengan tahapan-tahapan dalam pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 yang telah ditetapkan oleh KPUD Provinsi
Jawa Barat.
2.4.1 Visi dan
Misi
Visi dan Misi : “Terselenggaranya pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan
Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 yang demokratis dan dapat dipertanggungjawabkan “
2.4.2 Tugas dan
Wewenang
Tugas dan wewenang Panwaslu Kecamatan adalah sebagai
berikut :
a. mengawasi tahapan penyelenggaraan
Pemilu di wilayah kecamatan
b. menerima laporan dugaan pelanggaran
terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan oleh Penyelenggara
Pemilu sebagaimana dimaksud pada huruf a.
c.
menyampaikan
temuan dan laporan kepada PPK untuk ditindaklanjuti.
d. meneruskan temuan dan laporan yang
bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang..
e.
mengawasi
pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu.
f.
memberikan
rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporanmengenai tindakan yang
mengandung unsur tindak pidana Pemilu; dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang lain
sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.
2.4.3 Strategi
Pengawasan
Pengawasan pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 menggunakan
strategi :
a. pencegahan
terhadap potensi pelanggaran dengan melakukan tindakan, langkah-langkah, dan
upaya optimal mencegah secara dini terhadap potensi pelanggaran dan/atau
indikasi awal pelanggaran.
b. Penindakan
terhadap dugaan pelanggaran dengan melakukan tindakan penanganan secara cepat
dan tepat terhadap Temuan/Laporan dugaan pelanggaran.
2.4.4 Program
Pengawasan
Sebelum melaksanakan pengawasan Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013, Panwaslu Kecamatan Leuwisari melakukan :
a. Identifikasi
dan pemetaan pada setiap tahapan Pemilukada
b. Identifikasi
dan pemetaan titik rawan pda aspek lainnya misalnya pengadaan dan
pendistribusian perlengkapan Pemilukada dan sosialisasinya.
c. Menyusun
kegiatan pengawasan berdasarkan fokus pengawasan yang telah ditentukan.
2.5 Pembinaan dan Kerjasama
2.5.1 Program
Intern
Dalam
melaksanakan tugas pengawasan Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013, Panwas kecamatan Leuwisari selalu mendapat bimbingan dan pengarahan dari
Panwas Kabupaten Tasikmalaya yang dilakukan melalui kunjungan, pertemuan rutin,
rapat kerja, pemberian informasi dan kegiatan lainnya sesuai situasi dan
kondisi yang dihadapi.
2.5.2 Program
Ekstern
Disamping
itu untuk menunjang kelancaran dalam pelaksanaan tugas pengawasan, Panitia
Pengawas Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 kecamatan
Leuwisari selalu melakukan koordinasi yang baik diantaranya dengan :
a.
Panitia
Pemilihan Kecamatan (PPK) Kec.Leuwisari.
b. Unsur Muspika Kecamatan Leuwisari.
c.
Tim
Kampanye pasangan calon, Tokoh masyarakat
Gambar 2.2 Rakor dengan Muspika Kecamatan Leuwisari
2.7 Fasilitas dan
Pendanaan
Untuk menujang kelancaran tugas dan
wewenang Panwaslukada kecamatan, kami menyewa kantor sekretariat panwas yang
berlokasi di
Jalan Raya Arjasari No.25, lokasi
tersebut berdekatan dengan Kantor Polsek Leuwisari dan berdekatan pula dengan Kantor Kecamatan dan kantor Sekretariat PPK Leuwisari. Hal ini
bertujuan untuk lebih memudahkan koordinasi, baik dengan Penyelenggara Pemilu (PPK) maupun dengan Pemerintah Daerah
(Kecamatan).
Fasilitas yang dimiliki oleh Panwaslukada
kecamatan Leuwisari pada Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 sebagian menggunakan fasilitas/inventaris barang Panwas
Pilgub Jabar tahun 2008. disamping itu dilengkapi dengan sarana dan prasarana
yang merupakan hasil dari dana/anggaran
Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 , diantaranya :
a.
Kantor
sekretariat.
b. 1 (satu) unit
Laptop
c.
1 (satu)
unit Komputer.
d. 7 (tujuh) buah meja staf.
e.
7 (tujuh)
buah kursi staf.
f.
7 (tujuh) buah kursi lipat.
g. Sarana lainnya ( papan data dll )
Sementara
dana/anggaran yang diperoleh oleh Panwaslu
kecamatan Leuwisari
Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2013 bersumber dari APBD Provinsi Jawa Barat.
BAB III
TAHAPAN
PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR
JAWA BARAT
TAHUN 2013
3.1 Tahapan Pemutakhiran Data Pemilih
Dasar hukum Pelaksanaan Penyelenggaraan
Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian dirubah dengan
Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, serta Undang-undang Nomor 15 Tahun 2008 tentang
Penyelengaraan Pemilu.
Daftar pemilih yang digunakan pada
saat pelaksanaan Pemilihan Umum terakhir di daerah dan Data
Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari Pemerintah Daerah Provinsi Jawa
Barat ,
digunakan sebagai data awal daftar pemilih untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
Jawa Barat Tahun 2013.. Daftar pemilih tersebut dimutakhirkan dan divalidasi oleh PPS dengan
dibantu oleh Petugas
Pemutakhiran Daftar Pemilih (PPDP) untuk digunakan sebagai bahan penyusunan
Daftar Pemilih Sementara (DPS),
Hasil pemutakhiran DP4 tersebut disusun menjadi Daftar Pemilih Sementara (DPS), kemudian DPS tersebut diumumkan oleh PPS pada tempat yang
mudah terjangkau oleh masyarakat untuk mendapat tanggapan dari masyarakat sehingga
dapat memberikan kesempatan kepada hak pilih yang belum terdaftar sebagai
pemilih.
Daftar pemilih sementara dan daftar
pemilih tambahan yang telah diperbaiki disahkan dan diumumkan oleh PPS untuk menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Dari hasil pemutakhiran data pemilih di wilayah kecamatan Leuwisari diketahui
bahwa jumlah hak pilih berdasarkan DPT pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun
2013 adalah sebanyak 29487 hak pilih yang terdiri dari 14819 laki-laki dan 14668 perempuan.
3.2 Tahapan Pendaftaran dan Penetapan Calon
3.2.1 Tahapan Pendaftaran Pasangan
Calon
Bahwa untuk mewujudkan kepemimpinan
daerah yang demokratis yang memperhatikan prinsip persamaan dan keadilan,
penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah memberikan kesempatan yang
sama kepada setiap warga negara yang memenuhi persyaratan.
Pasangan calon Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah yang berasal dari Partai Politik/ gabungan Partai Politik
didaftarkan oleh Partai
Politik / gabungan Partai Politik kepada KPUD
selama masa pendaftaran dengan menyerahkan surat pencalonan yang ditanda
tangani oleh pimpinan Parpol atau gabungan Parpol sekaligus mendaftarkan Tim
Kampanye, sedangkan
untuk calon Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berasal dari Calon Perseorangan/Independen dapat
secara langsung mendaftar ke KPUD.
3.2.2 Penetapan Pasangan Calon
KPUD melakukan penelitian terhadap
surat pencalonan serta melakukan klarifikasi pada instansi yang berwenang
memberikan surat keterangan. Apabila dari hasil penelitian telah memenuhi
syarat yang telah ditetapkan KPUD, selanjutnya KPUD menetapkan pasangan calon
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan mengumumkannya.
Pada Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 KPUD Provinsi Jawa Barat menetapkan 5 (lima) pasangan
calon Gubernur
dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 yang memenuhi persyaratan. 1(satu)
pasang Calon dari Perseorangan dan 4 (empat) pasang calon yang diusung oleh
Partai Politik/Gabungan Partai Politik.
3.3 Kampanye dan Masa Tenang
3.3.1 Tahapan Kampanye
Kampanye merupakan bagian dari
penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013
yang diselenggarakan oleh Tim Kampanye masing-masing pasangan calon. Kampanye
merupakan salah satu upaya dari pasangan calon untuk meyakinkan para pemilih
dengan cara menyampaikan visi, misi dan program msing-masing pasangan calon
yang dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum
hari dan tanggal pemungutan suara (masa tenang).
Kampanye dilakukan dalam bentuk
pertemuan terbatas, tatap muka/dialog/ rapat umum, pemasangan alat peraga
kampanye di tempat umum dan sebagainya
Pada Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 kampanye berlangsung mulai tanggal 7 Februari
2013 sampai dengan 20 Februari 2013.
3.3.2 Tahapan Masa Tenang
3 (tiga) hari sebelum Pemungutan dan Penghitungan suara
merupakan masa tenang, dan seluruh alat peraga kampanye harus dibersihkan serta
Pasangan Calon tidak dibenarkan untuk melaksanakan kampanye dalam bentuk
apapun. Pada Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013,
tanggal 21-23 Februari 2013 merupakan masa tenang.
3.4 Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara Serta Penetapan
Hasil
3.4.1 Tahapan Pemungutan Suara
Beberapa hari menjelang Pemungutan dan
Penghitungan suara, Logistik Pemilu untuk Pemungutan Suara khususnya di Kecamatan Leuwisari
telah didistribusikan oleh Tiap-tiap PPS ke Tiap TPS 1 (satu) hari sebelum hari
dan tanggal pemungutan suara.
Pendistribusian perlengkapan pemungutan suara di Kecamatan Leuwisari
berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak ada kekurangan logistik yang diterima oleh TPS.
Pemungutan dan penghitungan suara
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 dilaksanakan sesuai
dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh KPUD Provinsi Jawa Barat yaitu tanggal
24 Februari 2013. Pemungutan Suara di Tempat
Pemungutan Suara (TPS) dimulai pukul 07.00 WIB sampai pukul 12.00 WIB
3.4.2 Tahapan Penghitungan Suara
Penghitungan suara di setiap TPS pada Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 dilaksanakan mulai pukul 13.00 sampai selesai.
Jumlah TPS di wilayah Kecamatan Leuwisari pada Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 berjumlah 61 TPS
yang tersebar di 7 (tujuh) desa.Hasil rekapitulasi suara dari TPS dikirim ke Panitia
Pemungutan Suara (PPS) untuk selanjutnya dikirim ke Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK)
untuk dilakukan rekapitulasi perolehan suara di tingkat kecamatan.
Tabel 3.1 Data Jumlah TPS
NO
|
DESA
|
JUMLAH TPS
|
KET
|
1
|
ARJASARI
|
12
|
|
2
|
CIAWANG
|
10
|
|
3
|
MANDALAGIRI
|
9
|
|
4
|
CIGADOG
|
7
|
|
5
|
JAYAMUKTI
|
9
|
|
6
|
LINGGAWANGI
|
7
|
|
7
|
LINGGAMULYA
|
7
|
|
Jumlah
|
61
|
3.4.3 Tahapan Penetapan Hasil
Pelaksanaan Rekapitulasi hasil Penghitungan suara di TPS dilaksanakan
pada tanggal 24
Februari 2013, dan Rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat PPS
dilaksanakan tanggal 25-26 Februari 2013. Adapun pelaksanaan Rekapitulasi hasil Penghitungan
suara di PPK dilaksanakan pada hari Rabu,27
Februari 2013
yang bertempat di Aula Kantor Kecamatan Leuwisari.
.BAB IV
PENGAWASAN TAHAPAN PEMILIHAN
GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR JAWA BARAT
TAHUN 2013
4.1 Tahapan pemutakhiran Data Pemilih
Pada Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 Penyerahan Data Penduduk Potensial Pemilih
Pemilu (DP4) dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat kepada KPU Provinsi Jawa Barat
dilaksanakan tanggal 27 September 2012. Pemutakhiran DP4 berlangsung selama 1
(satu) bulan yaitu mulai dari tanggal 5 Nopember 2012 sampai dengan 4 Desember
2012.
Tabel 4.1 Daftar DP4 Kecamatan
Leuwisari
NO
|
DESA
|
DP4
|
JUMLAH
|
|
LAKI-LAKI
|
PEREMPUAN
|
|||
1
|
ARJASARI
|
2859
|
2832
|
5691
|
2
|
CIAWANG
|
2431
|
2467
|
4998
|
3
|
MANDALAGIRI
|
1986
|
2105
|
4091
|
4.
|
CIGADOG
|
1663
|
1644
|
3307
|
5.
|
JAYAMUKTI
|
2103
|
2139
|
4242
|
6,
|
LINGGAWANGI
|
1767
|
1784
|
3551
|
7.
|
LINGGAMULYA
|
1896
|
1509
|
3405
|
JUMLAH
|
14705
|
14580
|
29285
|
Pengawasan Pemutakhiran Data Pemilih
dilakukan oleh Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) sesuai wilayah kerjanya
masing-masing. Kami (Panwas Kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan) melakukan
pengawasan terhadap Pemutakhiran Data Pemilih oleh Petugas Pemutakhiran Daftar
Pemilih (PPDP) dengan cara mendampingi Petugas PPDP pada saat melakukan
pemutakhiran data pemilih.
Dari hasil pengawasan di lapangan masih
ditemukan hal-hal sebagai berikut :
a.
Ditemukan Data
Pemilih yang sudah meninggal dunia
b.
Ditemukan Data
Pemilih Ganda
c.
Masih terdapat
warga masyarakat yang sudah mempunyai hak pilih tapi belum terdaftar.
Dalam
hal ini kami memberikan rekomendasi baik kepada
PPK maupun PPS agar Warga Masyarakat yang terlewat untuk segera dapat dimasukan pada Daftar Pemilih.
Pada Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 jumlah Daftar Pemilih Tetap di wilayah kecamatan
Leuwisari adalah 29487 orang.
Tabel 4.2 DPT Kecamatan Leuwisari
NO
|
DESA
|
DPT
|
JUMLAH
|
|
LAKI-LAKI
|
PEREMPUAN
|
|||
1.
|
ARJASARI
|
2715
|
2.702
|
5417
|
2.
|
CIAWANG
|
2435
|
2.412
|
4847
|
3.
|
MANDALAGIRI
|
2103
|
2.064
|
4167
|
4.
|
CIGADOG
|
1663
|
1.644
|
3307
|
5.
|
JAYAMUKTI
|
2216
|
2.251
|
4467
|
6,
|
LINGGAWANGI
|
1776
|
1.793
|
3569
|
7.
|
LINGGAMULYA
|
1911
|
1.802
|
3713
|
JUMLAH
|
14.819
|
14.668
|
29.487
|
4.2 Tahapan Pendaftaran dan Penetapan Calon
4.2.1
Pengawasan Tahapan Pencalonan
Pada Tahap pendaftaran dan penetapan pasangan calon
Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013, Panitia Pengawas Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 kecamatan Leuwisari selalu aktip melakukan
pengawasan pada tahap Pendaftaran dan Penetapan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa
Barat Tahun 2013, yang berlangsung dari tanggal 29 September 2012 sampai
dengan 18 Desember 2012.
4.2.2
Pelaksanaan
Pengawasan pada tahap pendaftaran dan penetapan pasangan calon
Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 dilakukan yaitu dengan mengawasi
pelaksanaan verifikasi administrasi dan faktual yang dilakukan oleh PPS
terhadap dukungan calon perseorangan yang dibuktikan dengan dukungan berupa
foto copy KTP/kartu identitas lainnya.
4.2.3 Hasil
Yang Dicapai
Pada Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 KPUD Provinsi Jawa Barat menetapkan 5 (lima) pasangan calon Gubernur dan Wakil
Gubernur, yang terdiri
dari 4 (empat) pasangan calon yang diusulkan oleh Partai Politik/Gabungan
Partai Politik dan 1 (satu) pasangan calon dari calon perseorangan/Independen.
Hasil temuan dilapangan pada saat
pelaksanaan verifikasi Administrasi dan Faktual terhadap dukungan calon
perseorangan diantaranya sebagai berikut :
·
Ditemukan nama
pendukung yang dalam daftar dukungan tercantum tapi tidak dilengkapi dengan
identitas pendukung (KTP/Kartu identitas
lainnya).
· Ditemukan KTP/Identitas pendukung tapi nama
tersebut tidak tercantum dalam daftar dukungan.
Tabel 4.3
Daftar Calon Gubernur dan Wakil Gubernur 2013
NOMOR URUT
|
NAMA PASANGAN
CALON
|
KETERANGAN
|
1
|
DIKDIK ARIF MANSUR DAN CECEP N TOYIB
|
Calon Perseorangan
|
2
|
IRIANTO MS SAFFIUDIN DAN TATANG
FARHANUL HAKIM
|
Calon dari Partai Politik
|
3
|
DEDE YUSUF DAN LEX LAKSAMANA
|
Calon dari Partai Politik
|
4
|
AHMAD HERYAWAN DAN DEDI MIZWAR
|
Calon dari Partai Politik
|
5
|
RIEKE DIAH PITALOKA DAN TETEN MASDUKI
|
Calon dari Partai Politik
|
4.3 Tahapan Kampanye dan Masa Tenang
4.3.1 Program
Pengawasan Tahap Kampanye dan Masa Tenang
Pelaksanaan Kampanye pada Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 dilaksankan selama 14 (empat belas)
hari yang berlangsung dari tanggal 7 Februari 2013 sampai dengan 20 Februari
2013.
Bersama-sama
dengan PPL, Panwaslu kecamatan Leuwisari melakukan pengawasan terhadap seluruh
kegiatan kampanye yang dilaksanakan di wilayah kecamatan Leuwisari maupun
membantu pengawasan kegiatan kampanye yang berada di luar kecamatan Leuwisari.
Pelaksanaan kampanye di wilayah
kecamatan Leuwisari secara umum berjalan dengan tertib, aman dan terkendali.
Tidak ditemukan kegiatan kampanye yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan hasil pengawasan dilapangan, kegiatan kampanye diwilayah kecamatan
Leuwisari pada umumnya dilakukan dengan cara pemasangan alat peraga kampanye
(baliho, stiker, spanduk) di tempat umum, ada juga yang melakukannya dalam bentuk rapat
terbatas, atau kegiatan
sosial.
Sementara itu, pada masa tenang (3 hari
sebelum pemungutan suara) yaitu tanggal 21 Februari sampai dengan 23 Februari
2013, berdasarkan hasil pengawasan dilapangan sama sekali tidak ditemukan
kegiatan kampanye yang dilakukan oleh pasangan calon maupun oleh Tim Kampanye
pasangan calon, hanya saja masih terdapat alat peraga kampanye dari tiap
pasangan calon yang masih terpasang.
Pada tahap masa tenang kami bekerjasama
dengan Satpol PP Kecamatan Leuwisari menertibkan/membersihkan alat peraga
kampanye yang masih terpasang di wilayah kecamatan Leuwisari.
4.3.2
Pelanggaran dan Penyelesaian
Pelaksanaan kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013, di wilayah kecamatan Leuwisari berjalan dengan aman dan
tertib, tidak ada temuan maupun laporan pelanggaran kampanye yang serius.
Hanya saja pada masa tenang masih
terdapat alat peraga kampanye dari tiap pasangan calon yang masih terpasang,
kami bekerjasama dengan Satpol PP Kecamatan Leuwisari menertibkan/membersihkan
alat peraga kampanye yang masih terpasang di wilayah kecamatan Leuwisari.
4.4 Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara
4.4.1 Tahapan
Rekapitulasi Penghitungan Suara
Pada tahap Rekapitulasi hasil Penghitungan
suara, baik di TPS, PPS maupun di
PPK kami selalu mengadakan pengawasan yang optimal. Pelaksanaan Rekapitulasi
Perolehan suara pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun
2013 di tingkat PPS dilaksanakan
pada tanggal 25-26
Februari 2013. Sementara pelaksanaan Rekapitulasi perolehan suara di PPK
dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 27 Februari 2013 yang bertempat di Aula Kantor
Kecamatan Leuwisari. Pada tahap ini tidak ada laporan/Temuan dugaan pelanggaran.
4.4.2 Tahapan
Penetapan Calon Terpilih
Pengawasan pada tahap penetapan calon
terpilih, Kami Panwaslu tingkat kecamatan tidak memiliki peranan yang terlalu
penting, pengawasan hanya dilakukan memantau susana/kondisi yang berada di
wilayah kecamatan Leuwisari pasca berlangsungnya Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 tanggal 24 Februari 2013.
.
Gambar.4.1 Kegiatan Rekapitulasi Perolehan Suara di PPK
Pada pelaksanaan kegiatan Rekapitulasi
perolehan suara di PPK tersebut dihadiri oleh Muspika kecamatan Leuwisari,
Panwas Kecamatan, dan juga saksi dari pasangan calon Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013. Semua saksi yang hadir pada kesempatan tersebut
menandatangani Berita Acara Rekapitulasi Hasil Perolehan Suara di tingkat
kecamatan.
Gambar.4.2 Penandatanganan Berita Acara oleh Saksi
4.4.3 Program
Kegiatan Pengawasan Pemungutan dan Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil
Pada tahap ini, pangawasan difokuskan
pada TPS-TPS yang diduga rawan terjadi kecurangan, karena sangat tidak mungkin PPL
melakukan pengawasan yang optimal untuk setiap TPS, mengingat jumlah PPL yang
sangat terbatas.
4.4.4
Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil
Di wilayah kecamatan Leuwisari
Kabupaten Tasikmalaya terdapat 7 (tujuh) desa, dimana pada pelaksanaan
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 terdapat 61 (enam puluh satu) buah TPS. Mengingat
jumlah TPS yang begitu banyak, sementara anggota Panwaslu kecamatandan
Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) sangat terbatas maka kami tidak bisa melakukan pengawasan
secara optimal.
Pengawasan hanya difokuskan di
TPS_TPS yang dimungkinkan terjadinya kecurangan-kecurangan dalam Pemungutan dan
Penghitungan Suara.
Pada
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 di wilayah kecamatan
Leuwisari berjalan dengan aman serta ada suasana yang kondusif. Dari hasil pengawasan
dilapangan pada saat pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di setiap TPS yang kami temukan ternyata
kehadiran jumlah pemilih di setiap TPS tidak maksimal (± 55 % s/d 65 %). Hal
ini mungkin dikarenakan masyarakat sudak merasa bosan dengan seringnya kegiatan pemilu, atau
mungkin kurangnya kegiatan sosialisasi kepada masyarakat.
4.4.5 Evaluasi
Kegiatan Pemungutan dan Penghitungan Suara dan Penetapan
Hasil
Agar pengawasan Pemungutan dan Penghitungan Suara di
tiap-tiap TPS lebih maksimal diharapkan untuk Pemilu yang akan datang ada
penambahan jumlah anggota Pengawas Pemilu Lapangan (PPL). Karena dengan kondisi
yang ada sekarang ini Kami Panwas sangat kesulitan untuk melakukan pengawasan
yang lebih optimal. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan Pemilu yang lebih
berkualitas.
BAB V
PELANGGARAN DAN SENGKETA
5.1 Pelanggaran
5.1.1
Pelanggaran pada Tahap Pemutakhiran Data Pemilih
Berdasarkan hasil pengawasan di
lapangan, pada tahap penyusunan daftar pemilih di wilayah kecamatan Leuwisari
tidak ditemukan pelanggaran administrasi terhadap peraturan perundang-undangan
pemilu. Pelaksanaan pemutakhiran data pemilih oleh Petugas PPDP berjalan sesuai
aturan yang berlaku.
5.1.2
Pelanggaran pada Tahap Pendaftaran dan Penetapan Calon
Tidak ada
laporan maupun temuan pelanggaran pada tahap Pendaftaran dan Penetapan Calon
5.1.3
Pelanggaran pada Tahap Kampanye dan Masa Tenang
Kegiatan kampanye Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 di wilayah kecamatan Leuwisari
berjalan sesuai dengan tahapan yang ditetapkan KPUD Provinsi Jawa Barat, tidak
terjadi kegiatan kampanye yang melanggar perundang-undangan pemilu.
Pada pelaksanaan kampanye di pernah ada
laporan dan temuan dugaan pelanggaran kampanye, namun setelah Panwaslukda
kecamatan Leuwisari melakukan klarifikasi dan kajian terhadap laporan dan
temuan tersebut, maka berdasarkan Pleno Panwaslu kecamatan Leuwisari
menyimpulkan bahwa laporan dan temuan tersebut tidak termasuk kepada
pelanggaran kampanye, sehingga tidak dapat ditindaklanjuti dengan alasan tidak
cukup bukti/tidak memenuhi syarat (baik syarat formal maupun syarat material).
5.1.4 Pelanggaran pada Tahap Pemungutan dan Penghitungan
Suara dan
Penetapan
Hasil
Tidak ada laporan maupun temuan pelanggaran pada
pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara.
5.2 Sengketa
Tidak ada sengketa yang muncul pada
pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 di
wilayah kecamatan Leuwisari.
BAB VI
KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Secara umum Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun khususnya di Kecamatan Leuwisari berjalan
sesuai dengan tahapan Pemilu mulai dari tahap :
1). Penyusunan
Daftar Pemilih
2).
Pendaftaran dan Penetapan Pasangan calon
3). Kampanye
dan Dana Kampanye
4). Masa
Tenang
5). Perlengkapan
Pemungutan Suara
6). Pemungutan
dan Penghitungan
7). Rekapitulasi
Hasil Penghitungan Suara
Seluruh tahapan penyelenggaraan
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun2013 di wilayah kecamatan
Leuwisari sesuai
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berkat kerjasama serta
koordinasi yang baik antara
Penyelenggara Pemilu, Panwaslukada, Partai Politik, Tim Sukses serta semua pihak
yang terkait, sehingga tetap terjaga suasana yang kondusif serta menghasilkan
Pemilihan Umum yang demokratis dan dapat dipertanggungjawabkan.
6.2 Rekomendasi.
FUntuk Pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah yang akan datang
diharapkan KPUD maupun PPK dapat melakukan sosialisasi Pemilu yang lebih maksimal, sehingga partisipasi
masyarakat dalam pemilihan umum yang akan datang lebih baik lagi.
FTahapan-tahapan Pemilu yang
dijadikan pedoman bagi penyelenggara Pemilu seyogyanya dilaksanakan sesuai
dengan jadual dan waktu yang tepat supaya tidak mengganggu tahapan Pemilu yang lainnya.
FPanwaslu Kecamatan dan Pengawas Pemilu
Lapangan supaya dibentuk sesuai dengan jadual yang sudah ditentukan agarbisa
melakukan Pengawasan
secara
menyeluruh.
FPenegakan hukum terhadap para
pelanggar Pemilu harus ditegakkan dengan sebaik-baiknya, supaya Pemilu bisa
dikatakan sukses dan berhasil serta berkualitas.